Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Puing-puing dan tiang bekas bangunan itu berdiri kokoh. Namun, mereka tak lagi tertancap di daratan. Semua terendam air laut. Laut yang membentang sepanjang mata memandang. Menenggelamkan panorama desa dan jalan beraspal selebar 12 meter yang 22 tahun lalu menjadi denyut nadi warganya.
Tanah yang hilang. Demikian warga setempat menyebut wilayah mereka yang terbenam di Kampung Nelayan Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang, Jawa Tengah. Di sana, selain puing bangunan, hanya ada pepohonan rimbun yang tumbuh subur menembus permukaan air Laut Jawa.
Dani Rujito, warga asli Tambakrejo yang lahir dan besar di sana sejak 1987, menjadi saksi desanya tenggelam . Menurut Dani, sejak awal dekade 2000-an, tanah kelahirannya tak lagi sama. Semua perlahan hilang dilalap pasang air laut.
Dani bercerita, puing bangunan yang terendam laut di daerahnya itu dahulu merupakan permukiman. Lokasinya bersebelahan dengan muara sungai Banjir Kanal Timur—sistem pengendali banjir Kota Semarang.
“Dulu ada jalan aspal menuju muara ini. [Kendaraan] enak lewatnya. Tapi sekitar tahun 2000, habis [terendam], nggak bisa dilewati lagi,” kata Dani saat berbincang dengan kumparan di Tambakrejo, Rabu (1/6).
Laut juga menenggelamkan pekuburan kampung—yang sengaja dibuat di tepi laut pada 1998 untuk menyiasati mahalnya tanah pemakaman di tempat lain.
Baru dua tahun digunakan, pekuburan itu terendam air laut. Mulai akhir tahun 2000, pekuburan itu perlahan lenyap dari pandangan mata. Alhasil, banyak warga memindahkan pusara keluarganya, meski Dani memilh tidak.
“[Ustaz] bilang tidak apa-apa. Ndak usah dipindah. Yang penting doanya. Jadi akhirnya kami sekeluarga mengikhlaskan. Yang penting kami tahu tempat [kuburnya],” ujar Dani.
Selama ini Dani menghafalkan lokasi makam ayahnya berpatokan pada letak pepohonan yang masih tumbuh di tengah kepungan air laut. Ia dan para peziarah lain biasa naik perahu bersama-sama untuk berdoa dan melarung bunga ke laut.
Namun, pohon yang menjadi patokan makam ayah Dani itu belakangan lenyap tertelan gelombang laut. Meski Dani dan putranya mencari-cari di mana gerangan makam itu, mereka tak juga menemukannya. Laut mengaburkan semuanya.
“Wis, pokoke cedak-cedak kene wae (ya, pokoknya dekat-dekat situ saja kalau berziarah),” kata Dani, tertawa miris.
“Tanah yang hilang” di Tambakrejo itu kini telah ditinggalkan penghuninya. Pada 2021, saat pengerjaan normalisasi Banjir Kanal Timur rampung, warga direlokasi ke rumah deret yang terletak di sisi selatan desa.
Pada tahun pertama tinggal di permukiman baru, warga tak lagi disapa banjir. Namun baru setahun berjalan, Mei 2022, air laut kembali menggenang setinggi 50 cm, berbarengan dengan datangnya rob—pasang besar yang menyebabkan luapan air laut.
Bukan Salah Air Laut
Tenggelamnya permukiman warga di Tambakrejo akibat pasang laut bukannya tak mungkin. Sebagai kota pesisir, limpasan pasang air laut ke daratan Semarang adalah persoalan klasik. Fenomena ini dikenal sebagai banjir rob.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan, ada dua sebab terjadinya banjir rob besar itu. Pertama, ketinggian pasang air laut mencapai 2,1 meter dari normalnya yang hanya 1,2 meter. Kedua, jebolnya dua tanggul laut di kawasan industri Lamicitra.
“Itu meluluhlantakkan satu kawasan di pelabuhan. Ada 18 perusahaan yang ada di situ, dan mereka harus memulangkan karyawan karena air masuk sampai setinggi dada, sekitar 1,5 meter,” kata wali kota yang akrab disapa Hendi itu di Balai Kota Semarang, Kamis (2/6).
Akibatnya, Pelabuhan Tanjung Emas lumpuh. Kontainer-kontainer berisi produk ekspor tersendat pengirimannya. Rumah warga di sekitar pelabuhan juga terendam berhari-hari.
Air laut yang menggenang di wilayah pelabuhan dan permukiman warga tak cepat surut lantaran tanggul laut tak langsung berhasil diperbaiki saat itu juga.
Meski perbaikan segera dilakukan sehari setelah tanggul jebol, 24 Mei, upaya itu gagal karena sulitnya mengumpulkan material karung pasir untuk menambal tanggul, sementara pasang air laut kembali menghantam.
“Jadi kami ulangi lagi hari berikutnya, 25 Mei, kerja dari jam 5 pagi, dan jam 10–11 selesai ditambal. Alhamdulillah, pada Jumat (27 Mei) air rob berangsur-angsur turun,” tutur Hendi.
Koordinator Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Maritim BMKG Tanjung Mas Semarang, Ganis Erutjahjo, membenarkan tinggi pasang laut pada 23 Mei itu mencapai 2,1 meter—yang tertinggi sepanjang pemantauan instansinya sejak 2002.
Meski demikian, menurut Ganis, pasang air laut tak selalu menyebabkan banjir rob. Ada faktor lain yang mendorong permukaan air laut meninggi, seperti kecepatan angin yang memicu gelombang tinggi sehingga meningkatkan dorongan air laut masuk ke daratan.
“Ada juga faktor durasi puncak pasang yang lebih dari dua jam, misalnya kemarin puncak pasang 2,1 meter terjadi 2,5 jam, [itu mengakibatkan banjir rob]. Air di darat tertahan karena lautnya masih pasang,” jelas Ganis.
Pada 23 Mei itu, tinggi pasang mencapai 2 meter antara pukul 14.00 sampai 17.00 WIB, lalu berangsur menurun.
Berdasarkan pengamatan Stasiun BMKG Meteorologi Maritim (Stamar) Semarang, ketinggian pasang air laut normalnya adalah 120 cm. Jika sudah melebihi 150 cm, maka mulai muncul genangan banjir rob. Apalagi ketika tingginya sampai 210 cm, air sudah pasti melimpas ke daratan.
Stamar Tanjung Mas yang berlokasi di area pelabuhan pun ikut terendam selama tiga hari. Pada 23–25 Mei, pegawai keluar masuk kantor dengan perahu karet.
Dari pantauan kumparan sepuluh hari kemudian, 3 Juni, jalanan di depan kantor Stamar Tanjung Mas memang lebih rendah 40 cm dari permukaan air laut di sebelahnya yang setinggi 1,6 meter. Maka jika ketinggian air naik seperti akhir Mei kemarin, tak mungkin tidak jalanan itu bakal terendam.
Siang itu, sesekali air laut merembes dan sedikit menggenangi jalan pelabuhan. Dan setiap beberapa detik, pompa menyala untuk mengembalikan air yang menggenang tersebut ke laut. Ini menandakan daerah pesisir Semarang benar-benar terancam tenggelam. Pun daratannya sudah lebih rendah dari lautan.
Permukaan Tanah Turun Cepat
Pasang air laut dan jebolnya tanggul bukan penyebab utama Semarang terancam tenggelam. Ada faktor lain yang turut andil: penurunan tanah.
Ahli geodesi Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, menyatakan bahwa berdasarkan penelitiannya, tanah di pesisir Semarang rata-rata turun 10 cm per tahun. Di beberapa area, penurunan itu bahkan mencapai 20 cm per tahun.
Itu sebabnya ia berhipotesis bahwa penurunan tanah adalah faktor lain yang secara signifikan membuat utara Semarang dilanda banjir rob dan terancam tenggelam.
Dari pemantauan Heri lewat citra satelit, pasang air laut pada tahun 1990 sampai 2000 tidak menyebabkan banjir rob di Semarang. Faktanya, pasang laut bukanlah hal baru. Peristiwa alam itu terjadi sejak dahulu kala.
Asumsinya: pasang air laut tak akan jadi bencana besar tanpa pemicu lain, yakni penurunan permukaan tanah.
Hipotesis itu sejalan dengan penelitian “Subsidence in Coastal Cities Throughout the World Observed by InSAR” yang dipublikasikan Maret 2022 dalam jurnal Geophysical Research Letters. Riset tersebut meneliti 99 kota pesisir pada 2015–2020, dan menempatkan Semarang pada peringkat kedua sebagai kota dengan penurunan tanah tercepat, setidaknya 3,9 cm per tahun.
Heri menjelaskan, setidaknya ada empat penyebab penurunan tanah. Pertama, tanah bersifat lunak sehingga secara alamiah turun. Kedua, tanah mendapat beban dari infrastruktur. Ketiga, adanya eksploitasi air tanah. Keempat, pengaruh proses tektonik.
Berdasarkan sejumlah penelitian, menurut Heri, faktor dominan penyebab penurunan tanah adalah eksploitasi air tanah. Dari penurunan tanah sebanyak 10 cm, 6 cm di antaranya (60%) terjadi akibat eksploitasi air tanah.
Manajer Ilmu Pengetahuan WALHI Jawa Tengah, Patria Rizky Ananda, mengatakan pengambilan air tanah antara lain terjadi di sejumlah kawasan industri di pesisir Semarang. Akumulasi pengambilan air tanah itulah yang dianggap menyebabkan penurunan tanah.
“Dari pemberitaan, Pemkot dan Wali Kota Semarang sendiri bilang bahwa di kawasan industri masih ada beberapa pabrik yang pakai air tanah. Itu kami sayangkan,” ujar Patria.
Mila Karmila, pakar lingkungan dan tata kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, mengamini penjelasan Patria. Mila yang tergabung dalam koalisi Maleh Dadi Segoro (Berubah Jadi Lautan) ini melakukan riset sosio-ekologis mengenai banjir rob Semarang pada 2019 dan terbit di 2020.
“Di situ disebut ada 37 pabrik yang menggunakan air tanah. Misal satu pabrik ada 1.000 orang, maka 37.000 dikalikan kebutuhan air per orang. Anggaplah kalau di perkotaan sekitar 120 liter per orang per hari, maka 37.000 x 120 liter harus disediakan oleh pabrik setiap hari,” ujar Mila kepada kumparan di Fakultas Teknik Unissula.
Menolak Tenggelam, Meninggikan Kediaman
Wali Kota Hendi membenarkan penurunan tanah di Semarang menyebabkan banjir rob bertambah tinggi. Laju penurunan itu, menurut amatannya, sekitar 10–15 cm per tahun, seperti penelitian Heri Andreas.
Itu pula sebabnya warga pesisir Semarang kerap menggunakan tabungan mereka untuk meninggikan rumah secara berkala.
“Setiap lima tahun saya naikkan rumah 1 sampai 1,5 meter,” kata Hendi menirukan ucapan seorang warga.
Pariani, salah satu warga Tambaklorok, menceritakan bahwa ia meninggikan rumah untuk menghindari banjir rob setiap 6–7 tahun sekali. Berdasarkan ilmu titen alias pengamatan dan pengalaman, kampung Pariani mengalami kenaikan banjir rob 12 cm per tahun.
Dari hitungan itu, sekali meninggikan rumah tiap 6–7 tahun, Pariani meninggikan 1,5 meter lebih. Nyatanya, ilmu titen kini tak banyak membantu. Baru juga dua tahun lalu ia meninggikan rumah, saat ini rumahnya tetap kena banjir meski sudah diuruk.
“Sekali ninggiin rumah hampir Rp 40 juta. Itu pun rumah saya kecil, ndak sampai 4 meter x 12 meter. Kalau rumah yang besar, 6 meter x 12 meter, habisnya ratusan juta,” ujar Pariani.
Rumah-rumah di Tambaklorok memang memiliki ketinggian fondasi bervariasi. Ada yang satu meter di atas permukaan jalan, ada yang sejajar dengan jalan, ada pula setengah meter di bawah permukaan jalan.
Rumah pada kategori terakhir itulah yang sudah waktunya ditinggikan. Warga dengan rumah satu lantai bakal menguruk tanahnya sesuai ketinggian air laut. Bila ketinggian tanah urukannya sudah mencapai atap, mereka akan membuat satu lantai lagi di atasnya.
“Rumah saya kan tingkat dua. Kalau tanah sudah mentok [atap], saya tutup satu, saya sambung lagi [dengan bikin tingkat baru]. Rumah di sini gitu semua, sambung-sambung terus [ke atas]. Kalau ndak punya uang, tenggelam rumahnya,” ujar Pariani.
Menyangga Semarang
Pemkot Semarang serta pemangku kepentingan terkait mengupayakan berbagai cara untuk menyangga kota, terutama daerah pesisir, dari ancaman tenggelam. Pemkot, misalnya, akan membentuk tim gabungan untuk mengonversi pemakaian air tanah ke air PDAM, untuk mencegah penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah.
Larangan penggunaan air tanah di wilayah tertentu sesungguhnya telah diatur oleh Pemprov Jawa Tengah dalam Perda Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Air Tanah. Meski demikian, implementasi aturan itu masih terhitung longgar. Salah satu alasannya karena ada wilayah yang belum mendapat aliran air bersih dari PDAM.
Namun, alasan itu kini tak lagi relevan. Menurut Hendi, “Sekarang [air PDAM] sudah oversupply. Jadi nanti ada tim dari provinsi, kota, PDAM, Satpol PP, dan aparat yang mendatangi dari pintu ke pintu, terutama di kawasan industri di pesisir yang masih memakai air tanah secara berlebih dan tidak sesuai izin.”
Pemkot juga akan mengkoordinasikan tim dari kecamatan dan kelurahan untuk mengedukasi warga agar pemakaian air tanah di permukiman dibatasi, dan agar masyarakat segera beralih menggunakan air PDAM.
Di rumah deret Tambakrejo yang ditinggali Dani, warga sudah menggunakan air dari PDAM. Sementara di Tambaklorok, warga belum sepenuhnya menggunakan air PDAM. Masih ada yang mengebor air tanah.
Upaya lain yang selama ini dilakukan untuk mencegah Semarang tenggelam antara lain penyesuaian wilayah drainase timur, normalisasi Banjir Kanal Timur, pembentukan sistem drainase Tenggang dan Sringin, dan penutupan muara Sungai Banger.
Tahun ini, dengan bantuan Kementerian PUPR, di Tambaklorok pun rencananya akan dibuat sabuk pantai untuk mengatasi rob di kampung tersebut. Selain itu, Jalan Tol Semarang-Demak sepanjang 27 km yang kini tengah dibangun juga diintegrasikan dengan tanggul laut untuk mengadang rob.
Apa pun upaya pemerintah, Dani berharap penanggulangan banjir rob di kampungnya segera tuntas, sebab laju banjir di Tambakrejo diperkirakan naik 20 cm per tahun.
Di sisi lain, Dani tak ingin direlokasi ke daerah yang jauh dari laut, sebab mata pencarian ia dan rekan-rekannya adalah nelayan.