Lipsus Akal Bulus Omnibus Law - Krispi

Sembunyi-sembunyi Aturan Omnibus 'Cilaka'

2 Maret 2020 17:12 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi unjuk rasa Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (13/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aksi unjuk rasa Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (13/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Klaim Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto membuat Andi Gani Nena Wea masygul. Airlangga membuat pernyataan kontroversial di Gedung DPR, 12 Februari 2020.
Sang menteri menyebut sebagian konfederasi serikat pekerja sudah dilibatkan dalam pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja. Sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani tak terima.
“Sebutkan 10 konfederasi yang sudah setuju itu. Konfederasi mana yang dikatakan Pak Airlangga dilibatkan?” katanya kepada kumparan, Selasa (23/2).
RUU Cipta Karya (sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja) merupakan salah satu paket RUU Omnibus Law yang diusulkan pemerintah. RUU itu masuk dalam daftar legislasi nasional yang ditetapkan DPR Januari lalu.
Di samping RUU Cipta Kerja, paket Omnibus Law lain adalah RUU Ibu Kota Baru, RUU Fasilitas Perpajakan, dan RUU Kefarmasian. Setebal 1.028 halaman, RUU Cipta Kerja meliputi 11 klaster, salah satunya bidang ketenagakerjaan.
Akal Bulus Omnibus. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Kalangan serikat pekerja mempersoalkan ketidaktransparanan penyusunan RUU Cipta Karya. Padahal, klaster tenaga kerja akan berdampak langsung pada 130 juta angkatan kerja Indonesia.
Andi Gani menuturkan, ia menerima sebuah pesan pada 11 Februari malam. Seorang staf Kemenko Perekonomian mengabarkan, ia masuk dalam tim satgas pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang surat keputusannya diteken Airlangga 7 Februari 2019.
Pertemuan awal Satgas dijadwalkan pada 13 Februari di Hotel Denpasar, Jakarta Selatan. Sehari sebelum pertemuan, Rabu (12/2), Menko Perekonomian Airlangga Hartarto lebih dulu menyerahkan draf RUU Cipta Kerja ke DPR RI.
Surat pembentukan tim konsultasi tertanggal 7 Februari justru menjadi dasar klaim Airlangga bahwa draf RUU Cipta Kerja sudah disosialisasikan pada serikat pekerja. Sejumlah konfederasi serikat pekerja merasa dikadali pemerintah.
Kabar rencana Omnibus Law Cipta Kerja sebetulnya sudah didengar kalangan konfederasi serikat pekerja sejak akhir tahun lalu. Awal Oktober 2019, Jokowi mengundang Andi Gani dan Said Iqbal, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, ke Istana Bogor.
Presiden, dalam pertemuan itu, menyampaikan niat pemerintah mempermudah investasi. Waktu itu, menurut Andi Gani, belum ada istilah “Omnibus Law”. Jokowi hanya menyebutnya sebagai “terobosan hukum”.
“Tapi saat itu kami berpesan ke Pak Jokowi, ‘Tolong pekerja juga dilibatkan dalam pembahasan,’” terang Andi. Jokowi menyanggupi permintaan itu.
Rencana penyusunan Omnibus Law baru disampaikan Jokowi ke publik usai ia dilantik sebagai presiden untuk periode kedua di Gedung MPR, 20 Oktober 2019. Dipimpin Kementerian Perekonomian, pembahasan draf Omnibus Law yang melibatkan 31 kementerian dan lembaga mulai bergulir pada pertengahan November 2019.
Tiap kementerian diminta menyerahkan draf usulan terkait sebelas sektor yang masuk ke dalam RUU Cipta Kerja pada awal penyusunan. Draf usulan itu kemudian dibahas untuk diharmonisasi di Kemenko Perekonomian.
Masalahnya, kata Said Iqbal, perwakilan pekerja tak kunjung dilibatkan. Pemerintah malah lebih dulu menggandeng kalangan pengusaha melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin).
Presiden Jokowi berbincang dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Pembahasan Omnibus Law bersama pengusaha sudah dimulai sejak akhir tahun lalu. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menerbitkan SK pembentukan Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan Kadin untuk Konsultasi Publik Omnibus Law pada 9 Desember 2019.
Satgas beranggotakan perwakilan pemerintah lintas kementerian dengan melibatkan puluhan asosiasi pengusaha. Ketua Kadin Rosan Roeslani ditetapkan sebagai ketua satgas.
Menurut Rosan, tim yang ia pimpin bertugas memberi masukan atas draf RUU yang sudah disusun pemerintah. Ketika tim terbentuk, pemerintah sudah menyiapkan draf mentah berisi substansi pasal-pasal RUU Cipta Kerja dalam bentuk matriks.
“Intinya tugas satgas itu memberi masukan. Itu pun tidak serta-merta diterima pemerintah,” ujar Rosan.
Tapi komunikasi pemerintah dengan kalangan pekerja justru buntu. Andi Gani mengaku sudah mengupayakan segala cara.
“Saya sudah kasih surat ke presiden dan bicara dengan presiden. Semua dialog sudah saya tempuh semua," katanya. Ia juga sempat melayangkan surat ke Airlangga Hartarto tapi tak mendapat balasan.
Buruh mengikuti aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (30/1). Foto: ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Pada 14 Januari, Airlangga pernah mengundang perwakilan KSPSI dan KSPI. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang turut serta dalam persamuhan di Hotel Dharmawangsa itu.
Dua perwira tinggi kepolisian, Wakil Kapolri Komjen Gatot Eddy Pramono dan Wakapolda Metro Jaya Brigjen Wahyu Hadiningrat, juga ikut hadir.
Menurut Said Iqbal yang hadir memenuhi undangan, Airlangga hanya menyampaikan bahwa proses penyusunan omnibus law di bidang ketenagakerjaan sedang berlangsung. Namun, tidak ada pembahasan substansi RUU Cipta Kerja dalam pembicaraan itu.
Dua hari berselang, 17 Januari, Said Iqbal memenuhi undangan Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko. Lagi-lagi perwakilan serikat pekerja dikecewakan karena pembahasan tidak masuk substansi RUU yang dipersoalkan.
Alhasil, Iqbal hanya menggarisbawahi beberapa poin kekhawatiran pekerja. Salah satunya, kata dia, isu soal potensi penurunan upah minimum pekerja. Namun, Moeldoko menjamin bahwa penurunan upah tidak akan terjadi.
“Jadi kami memang tidak pernah mendiskusikan draf RUU Cipta Kerja dengan pemerintah,” ujar Iqbal.
Pembahasan draf RUU Cilaka serba misterius. Saking tertutupnya, anggota satgas yang terdiri dari Kadin dan pemerintah diminta menandatangani surat pernyataan untuk tidak membocorkan isi draf RUU ke publik sebelum draf itu diserahkan ke DPR.
“Karena isinya masih bisa berubah. Takut menjadi bola liar di publik,” jelas Rosan.
Di bawah komitmen kerahasiaan, Satgas Omnibus Law Cipta Kerja mulai membahas sebelas klaster RUU Cipta Kerja. Pada awal proses pembahasan, menurut Rosan, isu yang paling disorot asosiasi pengusaha adalah masalah tumpang tindih perizinan investasi.
Atas masukan pengusaha, pemerintah menyetujui usulan yang mengatur kewenangan pemerintah pusat dalam mencabut peraturan daerah yang dianggap menghambat investasi.
“Itu salah satu solusi yang disetujui pemerintah,” kata Rosan.
Ketum Kadin dan Kasatgas Omnibus Law Rosan P. Roeslani dalam diskusi "Omnibus Law dan Transformasi Percepatan Ekonomi." Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Sepuluh klaster minus ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja selesai dibahas pada pertengahan Januari 2020. Semula, pemerintah berencana mengajukan draf RUU ini ke DPR pada 16 Januari 2020.
Menurut Rosan, klaster tenaga kerja justru masuk paling akhir. Alhasil, satgas yang dibentuk Desember 2019 tidak membahasnya. Menko Perekonomian membentuk satgas baru untuk membahas klaster ketenagakerjaan pada 7 Februari 2019.
Shinta W. Kamdani, Wakil Ketua Satgas Klaster Ketenagakerjaan, mengatakan pembahasan kluster ketenagakerjaan belum sempat dilakukan sebab pada 12 Februari draf sudah disetor pemerintah ke DPR.
Serikat pekerja malah baru mengetahui pembentukan satgas ketenagakerjaan sehari sebelum draf RUU Cipta Kerja diserahkan ke parlemen pada 11 Februari.
Meski dibahas belakangan, Dirjen Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan, Haiyani Rumondang, mengatakan bahwa Kemenaker telah mulai menyusun draf bidang ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja sejak pertengahan November 2019.
“Pertengahan November 2019 kami sudah mengadakan pertemuan dengan serikat pekerja untuk mengidentifikasi masalah,” ujar Haiyani. Namun, ia mengakui pembahasan tak masuk dalam substansi draf yang akan disusun.
Omnibus Law. Desainer: Argy Pradipta/kumparan
Rosan Roeslani mengatakan, draf klaster ketenagakerjaan yang disusun pemerintah sebagian besar sudah mengakomodir aspirasi pengusaha. Para pengusaha hanya keberatan soal skema pemberian sweetener atau bonus bagi pekerja.
Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menyebut proses pembahasan draf RUU Cipta Kerja berlangsung tertutup dan tidak partisipatif. Alhasil, sejumlah pasal dalam kluster ketenagakerjaan banyak merugikan pekerja.
Itu sebabnya sejumlah konfederasi menyatakan keluar dari tim koordinasi pembahasan dan konsultasi publik yang dibentuk Kemenko Perekonomian dalam SK tertanggal 7 Februari lalu.
“Kami tidak mau pelibatan konfederasi pekerja hanya sebagai stempel. Karena draf RUU Cipta Kerja sudah diserahkan ke DPR tanpa melibatkan pekerja,” ujar Nining di Sekretariat KASBI, Senin (22/2).
Bagi Nining, sejumlah pasal menyangkut hubungan kerja, waktu kerja, hingga pemutusan hubungan kerja, banyak merugikan pekerja. Misalnya, sistem kerja kontrak tanpa batasan waktu.
Selain itu, ia juga menggarisbawahi potensi turunnya upah minimum. Sebab, dalam RUU Cipta Kerja, sistem upah sektoral dan upah minimum kabupaten/kota dihapus.
“Dengan dihapusnya UMK, upah minimum di suatu daerah, misalnya Karawang dan Bekasi, akan turun. Karena upah minimum provinsi Jawa Barat lebih rendah dibanding dua kabupaten itu,” jelas Nining.
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari, mengatakan pemerintah menyadari RUU Cipta Kerja berpotensi menurunkan upah minimum di sejumlah kabupaten/kota. Tapi pemerintah sudah menyiapkan skema kompensasi berupa sweetener agar tetap menjaga daya beli pekerja.
“Karena 56 persen perekonomian kita ditopang konsumsi rumah tangga,” jelasnya.
Di luar klaster tenaga kerja, sejumlah pasal di RUU Cipta Kerja juga memantik polemik. Sejumlah substansi RUU Mineral dan Batu Bara dan RUU Pertanahan yang ditolak dalam aksi #REFORMASIDIKORUPSI pada September 2019, misalnya, kembali masuk dalam draf.
Dalam sebuah diskusi di Depok, Jawa Barat, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menyebut penyusunan Omnibus Law yang tertutup mengkhianati semangat reformasi.
Sementara itu, Andi Gani Nena Wea mengatakan bahwa sejumlah konfederasi serikat pekerja, di antaranya KSPSI, KSPI, KSBSI, dan KSPN, masih berupaya menempuh jalur parlementer untuk menarik klaster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law Cipta Kerja.
Jika upaya itu menemui jalan buntu, massa pekerja dari berbagai konfederasi akan menggelar demonstrasi.
“Kalau terjadi deadlock di parlemen, saya pastikan pekerja akan turun ke jalan, karena kami sudah menempuh segala cara,” ujar Andi.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten