Serba-serbi Koalisi Pemerintahan Israel Pimpinan Naftali Bennett

14 Juni 2021 18:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Orang-orang berselebrasi setelah parlemen Israel memberikan suara dalam pemerintahan koalisi baru, di Rabin Square di Tel Aviv, Israel, Minggu (13/6). Foto: Corinna Kern/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Orang-orang berselebrasi setelah parlemen Israel memberikan suara dalam pemerintahan koalisi baru, di Rabin Square di Tel Aviv, Israel, Minggu (13/6). Foto: Corinna Kern/REUTERS
ADVERTISEMENT
Koalisi pemerintahan yang baru saja disetujui oleh parlemen Israel, Knesset, memang tampak berbeda dari sebelum-sebelumnya. Aliansi partai ini terdiri dari berbagai ideologi dan tujuan yang berbeda, tetapi akhirnya dipersatukan dengan satu kepentingan yang sama: melengserkan Benjamin Netanyahu.
ADVERTISEMENT
Netanyahu merupakan perdanamMenteri dengan masa jabatan terlama sepanjang sejarah Israel. Ia mulai menjabat secara berturut-turut sejak 2009, menjadikan tahun terakhirnya ini sebagai tahun ke-12.
Sebelum 2009, ia juga pernah menjabat sebagai PM pada tahun 1996-1999. Jadi, total dia pernah menduduki kursi PM selama 15 tahun.
Dalam dua tahun terakhir, pemerintahan Netanyahu gagal menyelenggarakan pemilu yang memberikan hasil. Sebanyak empat pemilu diselenggarakan dalam jangka waktu dua tahun dan hasilnya tetap sama.
Hal inilah yang menjadi salah satu pendorong Naftali Bennett, PM Israel di bawah pemerintahan baru, untuk maju menantang pemerintahan Netanyahu. Ia menegaskan bahwa pemilu kelima akan menjadi bencana bagi Israel.
Perdana Menteri Israel Benjamin berbicara di Knesset, parlemen Israel, di Yerusalem, Minggu (13/6). Foto: Ronen Zvulun/REUTERS

Koalisi Unik, Pertama dalam 73 Tahun

Dalam 73 tahun berdirinya Israel, koalisi yang dibentuk oleh Naftali Bennett, pemimpin aliansi partai sayap kanan Yamina, dan Yair Lapid, pimpinan Partai Yesh Atid, disebut merupakan yang paling beda dan unik.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari BBC, aliansi dalam pemerintahan ini melibatkan partai-partai yang memiliki perbedaan ideologi yang sangat luas.
Kemudian, yang menjadi pembeda paling signifikan adalah dengan bergabungnya satu partai Arab-Israel pertama dalam sejarah.
Selain itu, koalisi ini diprediksi akan mengangkat delapan perempuan sebagai menteri. Angka ini juga mencetak rekor perempuan terbanyak yang menduduki posisi menteri di sebuah kabinet.
Yair Lapid, pemimpin Partai Yesh Atid. Foto: Debbie Hill/AFP

Potensi Bentrok Kepentingan

Dengan bergabungnya Partai Raam, partai Arab yang diketuai oleh Mansour Abbas, dan partai Israel sayap kiri dalam koalisi, maka ada kemungkinan terjadinya bentrok kepentingan dalam beberapa masalah yang mengakar di Israel.
Contohnya adalah kebijakan Israel terhadap warga Palestina. Partai Yamina dan Partai Harapan Baru adalah dua partai sayap kanan yang merupakan pendukung setia pendudukan umat Yahudi di Tepi Barat.
Pemimpin partai dari pemerintah koalisi baru Israel, di Knesset, Parlemen Israel, di Yerusalem, Minggu (13/6). Foto: Ariel Zandberg/Handout via REUTERS
Selain itu, diprediksi akan ada juga perselisihan dalam kebijakan sosial. Beberapa partai dengan lantang mendukung hak-hak LGBTQ, seperti menyatakan persetujuan atas pernikahan sesama jenis. Sementara, Partai Islam Raam dengan tegas menolaknya.
ADVERTISEMENT
Bennett dengan jelas melihat perbedaan itu. Tetapi, menurut pria 49 tahun ini, pemerintahan baru mereka akan lebih berfokus pada isu-isu yang sudah jelas saling setuju, misalnya isu perekonomian atau pandemi COVID-19 yang saat ini masih berlangsung.
“Tak ada seorang pun yang perlu melepaskan ideologinya. Tetapi, semuanya harus menunda perwujudan dari beberapa mimpi mereka. Kita akan berfokus pada apa yang bisa dicapai, dibandingkan dengan berargumen atas apa yang tak bisa dicapai,” kata Bennett, seorang miliarder yang juga pembenci Palestina.

Cita-cita Pemerintahan Baru

Sejauh ini, Bennett dan Lapid belum terlalu banyak menyampaikan cita-cita dan tujuan yang ingin dicapai pemerintahan baru mereka.
Yang pasti, salah satu kesepakatan antara keduanya adalah Bennett akan menjabat sebagai Perdana Menteri selama dua tahun, dan digantikan oleh Lapid pada 2023 mendatang.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Reuters, kabinet baru ini harus menghadapi berbagai tantangan yang berat, seperti konflik dengan Iran, gencatan senjata dengan Hamas di Gaza, kemungkinan tuntutan atas kejahatan perang oleh Mahkamah Pidana Internasional, dan pemulihan ekonomi pascapandemi.
Naftali Bennett. Foto: Yonatan Sindel/Pool via REUTERS
Tetapi, Bennett dan Lapid mengatakan bahwa mereka kini berfokus pada menjembatani perbedaan politik dan menyatukan warga Israel.
Bennett mengatakan bahwa pemerintahan mereka akan memprioritaskan reformasi pada pendidikan, kesehatan, mengembangkan usaha masyarakat, dan menurunkan harga properti.

Perjuangan Partai Arab

Menurut Associated Press, dengan bergabungnya Partai Raam, Mansour Abbas diperkirakan akan memperjuangkan anggaran besar untuk perumahan, infrastruktur, serta penegakan hukum komunitas Arab di Israel.
Warga negara Arab-Israel berjumlah hingga 20% dari total populasi. Setiap harinya, mereka harus menghadapi diskriminasi. Mereka merupakan keturunan warga Palestina dan dengan tegas menyetujui gerakan kemerdekaan Palestina.
Politikus Muslim Israel, Mansour Abbas. Foto: ABIR SULTAN/POOL/AFP
Hal ini diduga membuat banyak umat Yahudi Israel memandang mereka dengan penuh kecurigaan.
ADVERTISEMENT
Pemerintahan baru ini juga diduga akan bekerja sama dengan Presiden AS Joe Biden dalam memperkuat hubungan dengan negara-negara Arab.

Nasib Impian Aneksasi Tepi Barat

Bennett memiliki impian untuk melakukan aneksasi (pendudukan) Tepi Barat. Ia juga terang-terangan menyatakan sikap antinya terhadap Palestina.
Pasukan Israel menghancurkan tenda dan bangunan di Tepi Barat. Foto: JAAFAR ASHTIYEH / AFP
Tetapi, seperti dikutip dari Associated Press, jika ia memaksa untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia berisiko kehilangan posisinya.
Sebab, partner koalisi di pemerintahannya cenderung tidak setuju dengan ide tersebut, ditambah dengan hadirnya Partai Arab-Israel yang memiliki keterkaitan erat dengan Palestina.
Presiden Joe Biden merupakan pendukung perdamaian antara Israel dengan Palestina. Jika koalisi baru ini "nekat" untuk melakukan aneksasi secara terang-terangan, ini akan berpotensi menyulut kemarahan Biden.
Jadi, kemungkinan, rencana aneksasi Tepi Barat dan menginvasi Gaza dibatalkan dan menjadi angan-angan Bennet belaka. Tetapi, pemberian hak kepada warga Palestina juga bernasib serupa.
ADVERTISEMENT
***
Saksikan video menarik di bawah ini: