Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Berbarengan dengan suara ledakan itu, tanah yang Dede pijak bergoyang ke kiri dan ke kanan, bahkan ke atas dan ke bawah. Perempuan 31 tahun itu sontak goyah. Ia serasa menapaki dataran yang dibanting.
“Rumah langsung pada ada abunya,” ujar Dede, Rabu (23/11).
Dua anak Dede yang sedang sekolah segera dipulangkan. Setelahnya, Dede dan keluarganya langsung mengungsi ke tenda posko yang didirikan warga setempat.
Tiga hari kemudian, saat Dede sudah berani pulang untuk melihat kondisi rumahnya, ia mendapati griya miliknya itu retak-retak pada bagian teras, dapur, sampai kamar.
Rumah mertua Dede, Hasanah, malah hancur sebagian di bagian dapur. Kala gempa tiba, perempuan 62 tahun itu sedang memasak nasi di bagian belakang rumahnya—bangunan semipermanen yang berfungsi sebagai dapur.
Hasanah masih beruntung. Meski dapur rumahnya roboh, ia tak tertimpa atap lantaran ada kayu jatuh yang menyangga reruntuhan. Dengan kaki tuanya, Hasanah melompati pintu dapur yang sebagian terhalang puing bangunan, lalu pergi menyelamatkan diri.
Menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa yang terjadi pada pukul 13.21.10 WIB di kampung Dede dan Hasanah berkekuatan magnitudo 5,6.
Di Kampung Padakati Kulon, Desa Tegallega, itulah koordinat episentrum gempa pertama kali dilaporkan BMKG, tepatnya pada 6,84 lintang selatan dan 107,05 bujur timur. Gempa yang berpusat di lokasi itu juga turut mengguncang kota-kota lain di Jawa Barat seperti Bandung, Bogor, dan Depok, hingga ibu kota RI di DKI Jakarta.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cianjur per Minggu (27/11) menyebut gempa itu mengakibatkan 321 orang meninggal dan 595 lainnya luka berat. Masih ada 11 orang yang berada dalam pencarian. Gempa juga menyebabkan sedikitnya 62.628 rumah di 151 desa di Cianjur rusak.
Di Jakarta, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati yang turut merasakan guncangan gempa saat sedang rapat di Gedung DPR, Senayan, mula-mula mengira bahwa gempa ini disebabkan pergerakan sesar alias patahan yang bergeser, yakni sesar Cimandiri.
“Diduga ini merupakan pergerakan dari sesar Cimandiri. [Sesar ini] bergerak kembali… kedalaman pusat gempa sekitar 10 kilometer,” kata Dwikorita kepada wartawan.
Meski demikian, dugaan tersebut kemudian menjadi perdebatan di kalangan ahli gempa hingga geologi. Musababnya, letak pusat gempa jauh dari peta existing sesar Cimandiri yang dirilis para peneliti.
Benarkah ulah sesar Cimandiri?
Berbagai peneliti seperti Soehaimi dkk. (2004), Kertapati (2006), Supartoyo (2008), dan Abidin dkk. (2008), menggolongkan sesar Cimandiri sebagai sesar aktif. Sesar aktif ini menjadi salah satu sumber gempa yang terletak di darat.
Dalam penelitian berjudul “Studi Paleosesimologi Sesar Cimandiri Bagian Barat, Daerah Sukabumi, Jawa Barat”, Koordinator Geologi Gempa Bumi dan Tsunami Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Supartoyo menyebut sesar Cimandiri terletak di sepanjang lembah Sungai Cimandiri yang membentang dari Teluk Palabuhanratu, Cikembar, di selatan Kota Sukabumi, dan memanjang ke wilayah Kabupaten Cianjur.
Peneliti lain seperti Febriani (2016) dan Diliawan (2019) menyebut sesar Cimandiri membentang hingga ke area Bandung. Berdasarkan peta inaRISK, sesar ini dimulai dari Pelabuhan Ratu ke Kecamatan Bojong Jengkol, Sukabumi, berlanjut ke Kecamatan Campaka, Cianjur, dan berakhir di Kecamatan Padalarang, Bandung Barat.
Terlepas dari perbedaan itu, para ahli yang tergabung di Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGeN) telah merilis Peta Sumber dan Bahaya Gempa Tahun 2017 yang menyepakati sesar Cimandiri sebagai salah satu sumber gempa patahan yang dibagi dalam tiga segmen: Cimandiri, Nyalindung-Cibeber, dan Rajamandala.
Ketiga segmen sesar Cimandiri tersebut membentang sepanjang hampir 90 kilometer ke arah timur laut-barat baya. Adapun data PuSGeN 2017 menunjukkan parameter pergeseran sesar Cimandiri (slip rate) yakni 0,1–0,55 milimeter per tahunnya.
Aktivitas kegempaan di sesar Cimandiri pernah terjadi signifikan pada 1844 (Cianjur), 1910 (Padalarang), 1982 (Cianjur dan Rajamandala), dan 10 Maret 2020 dengan magnitudo 5,1 yang menimbulkan kerusakan di Kalapanunggal, Sukabumi.
Aktivitas kegempaan dengan Cianjur sebagai episentrum gempa, membuat ahli geologi Universitas Padjadjaran, Ismawan, awalnya menduga hal yang sama dengan BMKG, bahwa sesar Cimandiri menjadi penyebabnya.
Namun, setelah ditilik ulang, rupanya jarak titik pusat gempa jauh dari zona sesar Cimandiri.
“Lokasi episentrum gempa Cianjur tidak berada di jalur yang selama ini diteliti sebagai sesar Cimandiri,” kata Ismawan kepada kumparan.
Dosen Fakultas Teknik Geologi Unpad tersebut menjelaskan, dalam penelitian mengenai sesar Cimandiri, lebar zona sesar ialah sekitar 8 kilometer dari garis yang ditarik peneliti untuk memetakan wilayah patahan—masing-masing sekitar 4 km ke atas dan 4 km ke bawah garis. Dan episentrum gempa Cianjur 21 November 2022 jauh dari zona sesar itu.
Dengan Google Maps, kumparan mengukur jarak pusat gempa ke wilayah terdekat yang dilewati sesar Cimandiri, yakni kawasan Cibeber. Hasilnya, jarak kedua titik mencapai 16 kilometer.
“Kalau gempa dipicu patahan [Cimandiri] tersebut, logikanya [episentrumnya] harus berada di zona 8 km itu. Tapi ini kan 10 km, bahkan tadi disebut 16 km—lebih jauh lagi di luar [sesar Cimandiri],” ujar Ismawan.
Perkiraan serupa disampaikan oleh para surveyor dari PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM. Tim yang terdiri dari 4 orang ini menyurvei aktivitas kegempaan di Cianjur, khususnya di Kecamatan Cugenang yang menjadi titik pusat gempa 5,6 magnitudo.
Analis data ilmiah Kelompok Geologi, Gempa Bumi, dan Tsunami PVMBG Akhmad Solikhin menjelaskan bahwa jarak antara pusat gempa Cianjur dengan sesar Cimandiri terdekat, yakni segmen Rajamandala, adalah sekitar 15 kilometer. Oleh sebab itu berdasarkan prakiraan yang hampir pasti, menurutnya, gempa Cianjur tidak berasal dari sesar Cimandiri yang sudah dipetakan peneliti sebelumnya.
“Gempa ini berada lebih ke arah barat laut atau utara [dari sesar Cimandiri]. Jadi sesar [penyebab gempa Cianjur] ini belum kami identifikasi atau belum dipetakan sebelumnya,” kata Akhmad di sela survei yang dihelatnya di Cianjur, Kamis (24/11).
Meski belum bisa menyimpulkan patahan apa yang membuat Cianjur diguncang gempa, ia menyebut tiga kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, gempa di Cianjur masih bagian dari zona patahan sesar Cimandiri, atau suatu zona yang memiliki struktur lain atau cabang di wilayah Cianjur. Dugaan ini didasarkan dari orientasi gempa yang mirip dengan sesar Cimandiri segmen Rajamandala berarah timur laut-barat daya.
Kedua, berdasarkan analisis yang sama, Akhmad membuka kemungkinan bahwa segmen sesar Cimandiri-Rajamandala justru terletak di lokasi yang kini menjadi episentrum gempa utama dan susulan di Cianjur. Ini tentu berbeda dengan temuan atau peta pada penelitian sebelumnya.
Ketiga, ujar Akhmad, “Ini merupakan sesar lainnya yang belum diketahui.”
BMKG pun membuka kemungkinan bahwa penyebab gempa merupakan sesar aktif yang berada di sekitar sesar Cimandiri. Dengan kata lain, seperti kata Akhmad: sesar lain.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengonfirmasi bahwa sesar penyebab gempa Cianjur belum terpetakan dan masih menjadi misteri.
“Ini menjadi tantangan bagi para ahli untuk mengungkapnya. Siapa tahu ada fakta-fakta baru yang muncul dari fenomena [gempa di] tempat ini,” kata Daryono kepada kumparan, Sabtu (26/11).
Tantangan dalam mengungkap sesar yang belum terpetakan di Cianjur ialah karena wilayah itu berada di sekitar gunung aktif, yakni Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang bersebelahan. Menurut Daryono, area itu bisa jadi merupakan daerah endapan dari tumpahan deposisi lahar dan material dari masa purba.
Tantangan membaca kenampakan sesar dari morfologi di dataran pun dirasakan tim surveyor PVMBG. Selama mengamati kerusakan di Kecamatan Cugenang pada 23–24 November, belum ditemukan patahan yang tampak di permukaan.
Retakan tanah di wilayah Cianjur memang sempat terlihat di berbagai lokasi, misalnya di jalur pendakian Cibodas-Gunung Putri yang sempat viral dirilis Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. kumparan yang mengikuti survei PVMBG pun menemukan rekahan tanah dan aspal yang memutus jalan kabupaten penghubung Desa Sarampad dan Mangunkerta di Kecamatan Cugenang.
Namun, menurut Akhmad, retakan-retakan itu bukanlah sesar, melainkan gerakan tanah yang dipicu gempa atau lateral spreading. Hal tersebut berbeda dengan sesar yang indikasinya bisa ditentukan dari permukaan, misalnya melalui batas batuan yang dapat diperkirakan sebagai struktur patahan; atau melalui morfologi batuan yang semula datar namun kemudian sebagian strukturnya naik.
“Kalau gempa 7 M seperti di Palu, kita bisa melihat manifestasi sesar di permukaannya, pergeserannya bisa 4–5 meter. Kalau gempa Cianjur 5,6 M itu pergeserannya hanya sekian cm, dan itu di dalam (bawah tanah). Kalaupun di permukaan, kemungkinan kecil bisa terlihat,” ujar Akhmad.
Bagaimana efeknya ke sesar Baribis dan Citarik?
Gempa 5,6 M yang berpusat di Cianjur itu terasa sampai Bogor, Depok, Jakarta, dan sekitarnya. Wilayah-wilayah ini juga dilalui sejumlah sesar aktif sehingga tak sedikit yang mengaitkan gempa Cianjur dengan aktifnya sesar Baribis atau Citarik.
Menurut BMKG Stasiun Geofisika Bandung dalam Sebaran Episenter Gempa Bumi Wilayah Jabar Juni 2022, sesar Baribis merupakan sesar utama di utara Jawa Barat. Nama sesar ini diambil dari Desa Baribis yang terletak di Kadipaten, Majalengka. Di sana ditemukan bidang sesar dan struktur sesar yang memotong bebatuan gamping.
Keberadaan sesar Baribis sebenarnya sudah disebut sejak tahun 1990-an. Dalam publikasi T.O. Simandjuntak, peneliti Geological Research and Development Center (GRDC), di jurnal Geological Society of Malaysia pada 1993, dijelaskan bahwa garis sesar Baribis-Kendeng membentang panjang berarah timur-barat dari wilayah utara Bali melintasi utara Pulau Jawa, dan berakhir di Selat Sunda.
Pada 1996, Simandjuntak bersama Barber menerbitkan artikel baru, “Contrasting tectonic styles in the Neogene orogenic belts of Indonesia”, yang mendetailkan peta sesar Baribis-Kendeng. Pada peta itu, garis yang ditarik tak lagi bersambung dari utara Bali, utara Jawa, ke Selat Sunda.
Pada peta tersebut, Simandjuntak dan Barber membedakan antara sesar Baribis dan Kendeng yang terpotong atau terdistorsi oleh keberadaan sesar Cimandiri di tengah-tengah kedua sesar itu.
Berdasarkan peta itu, sesar Baribis terletak di wilayah Jawa Barat-Banten bagian utara, mulai dari sekitar Purwakarta lurus ke barat menuju sekitar Rangkasbitung atau Serang. Sementara sesar Kendeng ditarik dari sekitar wilayah Cirebon atau Kuningan hampir lurus ke arah timur menuju Surabaya.
Penelitian Simandjuntak dan Barber tersebut kemudian menjadi dasar pemetaan wilayah sesar pada penelitian terbaru dua dasawarsa kemudian, misalnya A. Koulali dkk. (2016), Damanik dkk. (2021), dan Widiyantoro dkk. (2022).
Awalnya, keberadaan sesar Baribis sebagai sesar aktif yang menimbulkan aktivitas kegempaan menjadi perdebatan di kalangan peneliti. Namun, penelitian teranyar oleh Widiyantoro dkk. yang dirilis Juni 2022 di jurnal Nature mengonfirmasi keaktifan sesar ini.
Penelitian yang tertuang pada artikel berjudul “Implications for fault locking south of Jakarta from an investigation of seismic activity along the Baribis fault, northwestern Java, Indonesia” itu mendeteksi total ada 12 gempa yang berpusat pada jarak sangat dekat dengan garis sesar Baribis pada kurun waktu dua tahun, yakni Juli 2019–Juli 2021.
Dari 12 gempa tersebut, dua di antaranya terdeteksi dalam penelitian Damanik dkk. yang dipublikasikan pada 2021. Dan gempa yang berkaitan dengan sesar Baribis tersebut berkisar pada skala magnitudo 2,3–3,1.
Pada peta yang digambar Widiyantoro dkk. mengacu pada peta Simandjuntak dan Barber, sesar Baribis membentang dari sebelah selatan pusat kota Purwakarta ke Karawang, Bekasi, Tangerang, lanjut ke arah barat di Provinsi Banten. Artinya, peta ini setidaknya juga melewati wilayah selatan Jakarta seperti Depok.
Laju geser (slip rate) sesar Baribis ialah 5 milimeter per tahun. Maka, jika sesar sepanjang 100 km ini bergerak seluruhnya, potensi gempa bisa mencapai 7,5 magnitudo.
Berdasarkan penelitian Widiyantoro, gempa di sesar Baribis lebih banyak terdeteksi di bagian timur sesar seperti di Purwakarta dan Karawang. Tidak ada aktivitas kegempaan di bagian selatan Jakarta. Padahal, penelitian lampau mengungkap bahwa gempa destruktif pernah merusak gedung-gedung di Batavia pada tahun 1699, 1780, dan 1834.
Menurut Widiyantoro dkk., “Dua kejadian terakhir (gempa 1780 dan 1834) agaknya berhubungan dengan sesar Baribis.”
Tak ada aktivitas kegempaan di Jakarta belakangan ini bukan berarti Jakarta bebas gempa. Berdasarkan interpretasi Widiyantoro dkk., sedikitnya aktivitas kegempaan menunjukkan tingkat kompresi yang tinggi di wilayah selatan Jakarta.
“Bisa jadi berhubungan dengan wilayah yang terkunci (locked area) di wilayah barat sesar Baribis, yang menyebabkan kejadian [gempa] lebih sedikit,” tulis Widiyantoro yang merupakan Guru Besar Seismologi Institut Teknologi Bandung itu.
Sementara itu, profil sesar Citarik membentang di Jawa Barat berarah selatan-utara. Garis sesar ini bermula dari Teluk Palabuhanratu—yang juga ujung sesar Cimandiri bagian barat daya–menuju wilayah antara Gunung Salak-Pangrango, ke Bogor, Jonggol, dan berujung di Bekasi.
Pertanyaannya kemudian: apakah aktivitas gempa Cianjur berkaitan atau bisa memengaruhi sesar Baribis dan Citarik yang lebih dekat ke ibu kota?
Daryono menjawab berdasarkan teori visual statik bahwa sebuah gempa besar bisa memicu sesar terdekat bila sesar tersebut sudah mengalami akumulasi yang sangat matang. Contohnya pada gempa Bali, Lombok, dan Sumbawa Barat pada 2018.
“Tahun 2018, gempa itu memicu [sesar] tetangganya yang juga matang. Akhirnya satu deret itu terjadi tiga gempa besar,” ujar Daryono.
Meski begitu, dalam kasus gempa Cianjur kali ini, pemicu gempa dianggap Daryono terlalu jauh jaraknya untuk terkait atau memengaruhi sesar Baribis dan Citarik. Sebab, gempa Cianjur justru lebih dekat dengan sesar Lembang, Padalarang, atau Cirata.
Hal senada diungkap PVMBG. Menurut Akhmad Solikhin, sesar Baribis berjarak sekitar 20 km sebelah utara dari sumber gempa Cianjur.
“Gelombang seismik gempa Cianjur juga menjalar melalui sesar Baribis, namun belum ada bukti dan kemungkinannya kecil bahwa gempa Cianjur memengaruhi aktivitas sesar Baribis,” ujarnya.
Bila demikian, mengapa gempa Cianjur terasa cukup keras di Jakarta dan sekitarnya meski area-area itu bukanlah pusat gempa?
Sebab, jawab Akhmad, getaran dari sumber gempa bisa menjalar ke mana saja. Adapun besar atau kecil getaran gempa dikontrol oleh pergerakan sumber gempa dan geologi lokal.
Selama ini, besar kecilnya gempa acap dipahami dari skala sumber gempa, namun melupakan faktor kedua geologi lokal. Padahal, faktanya, geologi lokal seperti jenis dan ketebalan tanah permukaan, struktur bawah permukaan, serta morfologi tanah, turut memengaruhi getaran gempa yang dirasakan.
Terkait getaran yang terasa sampai ibu kota, Akhmad menyebut bahwa wilayah Jakarta merupakan cekungan yang berisi batuan lunak yang tebal.
“Itu dapat memperbesar dan memerangkap frekuensi gelombang seismik tertentu, sehingga guncangan dapat terasa relatif cukup kuat dan lama, khususnya pada bangunan tinggi,” jelas Akhmad.
Sekilas, jika melihat datarannya, Jakarta tampak seperti tidak cekung. Namun, menurut Athanasius Cipta, surveyor pemetaan PVMBG, di bawah permukaan, cekungan pada struktur bawah tanahnya bisa mencapai kedalaman hingga 1.000 meter.
“Cekungannya di bawah [tanah Jakarta] itu,” kata Cipta di Cianjur sembari memperagakan tangan yang membentuk mangkok cekungan.
Daryono menyebut gempa 5,6 magnitudo di Cianjur sebenarnya merupakan gempa dengan skala moderat atau sedang. Namun, jenis gempa dangkal yang berpusat hanya 10 km di bawah tanah membuat energi yang sampai dari pusat gempa ke permukaan masih besar.
Getaran tersebut kemudian bertambah besar atau teramplifikasi karena bertemu tanah lunak, menyebabkan guncangan jadi berlipat ganda.
Daryono juga mengungkap faktor lain yang menyebabkan gempa Cianjur bersifat merusak.
“Kebetulan rumahnya pada enggak tahan gempa, asal bangun tembok tanpa besi tulangan, plus pusatnya di permukiman penduduk. Ini mengerikan,” kata Daryono.
Ia menyatakan, gempa tidak bisa diprediksi jauh-jauh hari. Oleh sebab itu ia mengimbau warga untuk sadar bencana.
Sejumlah warga Cianjur yang ditemui kumparan di Kampung Selahuni dan Rawacina, Desa Nagrak, mengatakan pernah mendengar cerita dari sesepuh setempat mengenai gempa yang terjadi di tempat itu dalam kurun waktu 20–50 tahun ke belakang. Namun, mereka belum tahu dan belum pernah mendapat informasi maupun sosialisasi bahwa wilayah mereka rawan bencana.
“Enggak ada [sosialisasi rawan bencana]. Kalau ada, mungkin [dampaknya] enggak akan separah ini,” ujar Salman, Ketua Karang Taruna Kampung Selahuni.
Di kampung Salman, sedikitnya tiga orang (ibu dan dua anak) meninggal tertimpa reruntuhan saat berusaha menyelamatkan barang-barang di dalam rumah.
PVMBG mengatakan, gempa bumi sebenarnya tidak membunuh. Namun, korban jiwa timbul karena adanya bangunan roboh akibat guncangan gempa. Untuk itu upaya mitigasi untuk meminimalisasi korban jwa perlu dilakukan dengan memperkokoh bangunan dan membangun rumah sesuai dengan kondisi tanah.
Tak kalah penting adalah melakukan riset lanjutan mengenai sesar misterius yang menyebabkan gempa Cianjur. Sesar ini belum terpetakan di Peta Sumber dan Bahaya Gempa Tahun 2017.
“Untuk menganalisa bahaya gempa dan mengetahui potensi guncangan, harus ada data dari sesar yang jadi sumber gempa. Di peta 2017, ada 300 sesar aktif di Indonesia yang sudah dipetakan. Masih banyak yang belum, termasuk [pemicu gempa Cianjur] ini,” tutup Akhmad.