Setahun Jokowi-Ma'ruf: KPK Sepi OTT, Harun Masiku Tak Bisa Ditangkap

20 Oktober 2020 12:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) usai upacara pelantikan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) usai upacara pelantikan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin genap berjalan satu tahun. Hampir bersamaan, KPK juga sudah resmi satu tahun mempunyai UU yang baru.
ADVERTISEMENT
UU Nomor 19 Tahun 2019 itu diundangkan hanya sebulan setelah Pimpinan KPK baru terpilih. Ketuanya ialah Komjen Firli Bahuri, sementara wakilnya Nawawi Pomolango; Nurul Ghufron; Lili Pintauli Siregar; dan Alexander Marwata. UU dan Pimpinan baru itu sekaligus menandai KPK era baru.
Suasana jelang pengucapan sumpah pimpinan KPK periode 2019-2023, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
Sejak awal, revisi UU KPK serta proses seleksi Pimpinan KPK itu menuai polemik. Kalangan masyarakat sipil menilai ada proses yang tidak semestinya di dalam kedua hal tersebut.
Namun, UU baru KPK tetap berlaku. Pimpinan KPK yang dipimpin Firli pun sudah bekerja. Lalu, bagaimana rapor KPK dalam satu tahun kepemimpinan Jokowi?

KPK di Bawah UU Baru

Warga memotret tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
UU baru KPK hanya berselang dua hari sebelum pelantikan Jokowi menjadi Presiden RI dalam periode keduanya. UU yang sejak awal diprotes itu dinilai mulai berdampak terhadap kinerja lembaga antikorupsi itu. UU ini, yang sejak sebelum dilahirkan, dikhawatirkan akan menggerus upaya pemberantasan korupsi, dinilai telah terbukti.
ADVERTISEMENT
Mantan Wakil Ketua KPK, M. Jasin, menjadi salah satu yang menyebut kinerja KPK kini menurun.
Jasin menyinggung operasi tangkap tangan yang semakin jarang dilakukan oleh KPK. Tak hanya itu, ia menilai pelaku korupsi yang ditangani KPK saat ini skalanya lebih kecil.
"Ternyata memang satu tahun ini masyarakat menilai tidak berkinerja dengan bagus KPK ini. Tangkap tangannya juga semakin sedikit atau bahkan orang-orang yang ditangani atau para pelanggar pidana korupsi yang ditangani ini skalanya kecil ke bawah, paling tinggi tingkat bupati dan wali kota," kata Jasin dalam diskusi “Refleksi Satu Tahun Pengundangan UU KPK Baru: Menakar Putusan Akhir Uji Materi UU KPK” yang digelar ICW, Sabtu (17/10).
"Periode kelima ini merupakan suatu turning down dari usaha maksimal lembaga KPK ini dalam menangani kasus korupsi," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Jasin menilai KPK era baru ini lebih mengedepankan soal pencegahan korupsi. Namun menurut dia, pencegahan korupsi yang dilakukan pun tak maksimal.
"Karena memang didesain, kalau menurut saya, baik dari legislatif maupun eksekutif bahwa KPK harus tidak lagi berkiprah di penindakan yang tegas atau law enforcement, (mengarah) ke pencegahan. Tapi pencegahan juga tidak berbuat banyak," sambung dia.
Penyidik senior KPK Novel Baswedan pun mengakui adanya kendala yang dialaminya lantaran UU baru tersebut. Ia menilai proses birokrasi dalam penindakan menjadi bertambah panjang.
Hal itu tak terlepas dengan adanya organ baru bernama Dewan Pengawas KPK. Upaya penyadapan, penggeledahan, hingga penyitaan harus atas seizin Dewas KPK.
Bahkan, proses ini, kata Novel, bisa membahayakan kinerja penyidik dan penyelidik di lapangan.
ADVERTISEMENT
"Terkait apakah UU 19 Tahun 2019 lebih menjamin keselamatan terhadap pegawai KPK? saya katakan bahwa tidak ada hal yang berbeda, justru tadi saya katakan proses yang terlalu panjang akan menjadi jadi menghambat kegiatan atau kecepatan KPK untuk merespons dengan cepat dan kedap," kata Novel saat menjadi saksi dalam gugatan UU baru KPK di Gedung MK, Rabu (23/9).
Novel mengatakan, tugas KPK dalam melakukan penyelidikan tertutup identik dengan kerahasiaan tindakan. Proses yang panjang dalam UU KPK hasil revisi terkait perizinan berpotensi untuk membocorkan kegiatan penindakan seperti OTT.
"Dengan panjangnya birokrasi tersebut, maka risiko kebocoran semakin tinggi. Ketika ada kebocoran, bukan hanya sekadar gagalnya operasi, tapi keselamatan petugas di lapangan," kata Novel.
Novel Baswedan jadi saksi di uji formil UU 19 Tahun 2019 tentang KPK di MK. Foto: Dok. YouTube MK
"Karena ada beberapa kejadian yang tak bisa saya sampaikan karena prosesnya proses tertutup, itu pegawai KPK yang bertugas di lapangan justru ditunggu oleh pihak yang akan dilakukan pengamatan dan kemudian akan diserang atau telah diserang," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Imbas lainnya dengan UU baru KPK ialah perubahan status pegawai. Pegawai KPK akan berubah menjadi Aparatur Sipil Negara. Sejumlah ketentuan peralihan pun sudah disiapkan.
Pimpinan KPK menjamin independensi pegawai tidak akan terpengaruh dengan adanya perubahan status tersebut. Namun kekhawatiran tersebut masih muncul.
Adanya perubahan, termasuk UU, menjadi dasar bagi Kabiro Humas KPK Febri Diansyah untuk mundur. Ia sempat menyinggung ada sejumlah pegawai KPK lain yang berniat sama.

Sepi OTT

Ilustrasi tahanan KPK. Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Pimpinan KPK dilantik pada Desember 2019. Selang sebulan kemudian KPK memang sempat langsung melakukan OTT dalam dua hari berturut-turut. Yakni terkait Bupati Sidoarjo serta Komisioner KPU.
Namun setelah itu, OTT baru terjadi lagi pada Juli 2020. Ketika KPK menangkap Bupati Kutai Timur.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, pada Mei, KPK juga melakukan OTT terhadap pejabat di UNJ. Kala itu KPK dimintai bantuan Itjen Kemendikbud untuk mengusut dugaan suap di pejabat UNJ kepada pejabat di Kemendikbud. Operasi itu berujung pada tangkap tangan oleh KPK.
Namun, karena tak ada unsur Penyelenggara Negara (PN), kasus tersebut tak bisa ditangani KPK. Kasus itu dilimpahkan ke Polda Metro Jaya, dan berakhir penghentian kasus.
Ketua KPK Komjen Firli Bahuri sempat memberikan jawaban mengapa KPK kini sepi OTT. Hal tersebut ia sampaikan dalam forum rapat bersama Komisi III DPR RI, Senin (21/9).
"Tentu ada yang bertanya, kenapa sekarang OTT sepi? jawabannya adalah, belum ada jawaban pasti," kata Firli.
Ya, Firli mengatakan bahwa belum ada jawaban pasti atas sepinya OTT yang dilakukan KPK. Namun ia menduga karena saat ini masa pandemi corona, jadi orang takut berbuat rasuah karena hukumannya bisa vonis mati.
ADVERTISEMENT
Selama kurun waktu Januari hingga Juni atau semester pertama di 2020, KPK sudah menjerat 53 tersangka dan 38 di antaranya sudah ditahan. Hal itu sempat disampaikan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam laporan kinerja KPK dalam Semester I 2020.
Dengan rangkaian penindakan itu, KPK mengklaim fokus pada aset recovery. Pada semester I, KPK mengklaim telah menyetorkan ke kas negara dalam bentuk PNBP dari penanganan perkara senilai Rp 100 miliar, terdiri dari uang denda, uang pengganti, barang rampasan dan hibah.
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai kinerja KPK di semester awal 2020, sangat buruk. ICW mencatat, pada Januari sampai Juni 2020, hanya 6 kasus yang ditangani oleh lembaga antirasuah.
Turun jauh bila dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada 2019, ICW mencatat KPK menangani 28 kasus dalam semester I.
ADVERTISEMENT
Padahal, di semester awal tahun 2020, KPK sebenarnya memiliki target untuk mengusut 120 kasus dengan anggaran Rp 29,3 miliar.
"Yang mengecewakan adalah semester I 2019 dibandingkan semester 1 2020, terjun bebas KPK, kinerja KPK di semester I 2020. Sangat buruk dalam konteks penindakan," kata peneliti ICW Wana Alamsyah dalam diskusi online, Selasa (29/9).

Surplus Buronan

Tersangka korupsi eks caleg PDIP Harun Masiku. Foto: Twitter/@efdesaja
Kinerja penindakan yang sepi berbanding terbalik dengan jumlah tersangka KPK yang buron. Tercatat, sepanjang 2020, ada 5 orang buronan yang ditetapkan KPK.
Mereka adalah: Eks Sekretaris MA, Nurhadi; Menantu Nurhadi, Riezky Herbiyono; Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto; Eks caleg PDIP, Harun Masiku; dan Pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal (PT BLEM), Samin Tan.
ADVERTISEMENT
Dua di antaranya sudah berhasil ditangkap oleh KPK, yakni Nurhadi dan Riezky. Sementara, yang belum ditangkap yakni Hiendra, Harun Masiku, dan Samin Tan.
Harun Masiku menjadi tersangka pertama yang jadi buronan di era KPK pimpinan Firli. Ia buron sejak 17 Januari 2020 saat gagal ditangkap dalam OTT. Hingga saat ini, 20 Oktober 2020, ia belum juga tertangkap.
Sementara Hiendra, juga masih belum bisa ditangkap KPK sejak ditetapkan tersangka. Padahal penerima suapnya, yakni Nurhadi dan Riezky sudah diamankan lembaga antirasuah.
Sementara Samin Tan, ditetapkan jadi DPO sejak 17 April 2020. Hingga saat ini pun keberadaannya juga gelap, tak terendus oleh KPK.

Lalu, Bagaimana dengan Sektor Pencegahan Korupsi?

Ketua KPK Firli Bahuri memberi sambutan di acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi (ANPK), Rabu (26/8). Foto: Humas KPK
Pada sektor pencegahan, sepanjang Januari hingga Juni 2020, ada tiga fokus yang dikerjakan oleh KPK. Utamanya ialah terkait pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Ketiganya yakni peran KPK dalam penanganan pandemi COVID-19; perbaikan tata kelola pemerintahan; dan membangun integritas bangsa melalui LHKPN dan sebagainya.
Terkait penanganan pandemi COVID-19, KPK membentuk 15 satgas khusus pada Kedeputian Pencegahan untuk mengawasi penggunaan dana penanggulangan corona.
Selain itu, di tingkat daerah, melalui 9 satgas unit koordinasi wilayah pencegahan, bersama sejumlah instansi terkait mendampingi pemda dalam refocusing kegiatan dan realokasi APBD untuk penanganan COVID-19.
KPK juga mendorong dan mendampingi perbaikan tata kelola pemerintahan di total 34 pemerintah provinsi termasuk di dalamnya 542 pemerintah kabupaten dan kota.
ADVERTISEMENT
KPK mendorong intervensi pada upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), penertiban aset, piutang daerah, dan sertifikasi lahan. Hasilnya, KPK mengklaim berhasil menyelamatkan potensi kerugian keuangan daerah senilai total Rp 10,4 triliun.
ADVERTISEMENT
Lalu, KPK juga mengklaim kepatuhan LHKPN mencapai 95,33 persen. Naik dari periode yang sama di 2019 hanya 88.37 persen. Tercatat, hingga Juni 2020 KPK terima laporan 347.136 LHKPN dari total 364.124 wajib lapor.
Selain itu, KPK juga melalui direktorat gratifikasi telah menerima 1.082 laporan senilai total Rp 14,6 miliar.

Taji Dewas KPK

Anggota Dewan Pengawas KPK saat acara serah terima jabatan dan pisah sambut Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Dewas, yang merupakan produk dari UU KPK baru, mulai menunjukkan eksistensinya dengan menggelar sidang 3 dugaan pelanggaran etik. Pelanggaran itu diduga dilakukan oleh pimpinan dan pegawai lembaga antirasuah.
Pertama, ada mantan plt Direktur Pengaduan Masyarakat (Dumas) Aprizal terkait berantakannya OTT pejabat UNJ di Kemendikbud. Ia disanksi teguran lisan.
Lalu, Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap, terkait polemik pengembalian penyidik KPK Kompol Rossa kepada institusi Polri. Ia juga dihukum etik ringan.
ADVERTISEMENT
Terakhir, yang menjadi sorotan ialah soal Firli Bahuri yang menggunakan helikopter mewah. Firli dijatuhi hukuman etik ringan oleh Dewas dalam bentuk sanksi teguran tertulis.
***
Lalu, bagaimana kinerja KPK ke depannya?