Lipsus Kerangkeng Manusia Bupati Langkat

Setruman dan Pelatihan dalam Kerangkeng Bupati Langkat (1)

2 Februari 2022 16:41 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
“Saya dulu datang ke sana, ditanya, lalu enggak tahu apa sebabnya, salah sedikit kena setrum, kena selang, kena tumbuk-tumbuk (dipukul-pukul), mulai dari jam 12 malam sampai jam 4 pagi.”
– Tongat, eks penghuni kerangkeng Bupati Langkat
Tujuh tahun lalu, 2015, lubang anus Tongat membiru saat baru masuk tempat tinggal barunya. Ia tak tahu sebabnya karena masih dalam pengaruh sabu. Barang haram itulah yang membuat Tongat dikirim orang tuanya ke tempat tersebut. Setelah orang tuanya memberikan pernyataan setuju ke pengelola, ia dijemput dan dijebloskan ke sana.
Tempat itu tak lain adalah kerangkeng yang terletak di belakang rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin. Sebuah kerangkeng yang diklaim Terbit sebagai tempat pembinaan bagi pecandu narkoba. Terbit sendiri kini telah nonaktif dan mendekam di tahanan KPK dalam kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Langkat.
Pada Maret 2021, dalam wawancaranya dengan Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Langkat, Terbit menyebut telah membina 2.000–3.000 orang pecandu narkoba dalam kerangkengnya. Menurutnya, kerangkeng itu sudah berumur lebih dari 10 tahun. Data Polda Sumatera Utara pun menunjukkan bahwa kerangkeng tersebut beroperasi sejak 2010. Total ada 656 orang yang pernah menghuninya.
Kerangkeng itu menuai sorotan usai Terbit ditangkap KPK. Keberadaannya yang selama ini hanya diketahui masyarakat setempat jadi terekspose ke tingkat nasional. Apalagi Migrant Care melapor ke Komnas HAM tentang dugaan adanya praktik perbudakan modern di dalamnya.
Polisi memeriksa ruang kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Langkat, Sumatra Utara, Rabu (26/1/2022). Foto: Oman/Antara Foto
Komnas HAM sampai saat ini belum menyimpulkan apa pun soal kasus kerangkeng ini. Namun, salah seorang penghuninya yang pernah tinggal enam bulan di sana, Tongat, mengaku mengalami perbudakan itu. Ia mendapat siksaan dan setruman.
“Bisa dibilang diperbudak, tapi dikasih makan. Saya dulu ikut merehab rumah [Terbit] yang harganya Rp 10 miliar itu, yang tingkat dua. Waktu itu ada 48 orang [pekerja]. Kami enggak tidur-tidur. Kalau tidur, disetrum itu. Ngecor rumahnya 4 hari 4 malam,” kata Tongat. Ia meminta namanya disamarkan demi keamanan.
Tiga hari pertama masuk ke kerangkeng itu adalah tiga hari mencekam buat Tongat. Penduduk asli Langkat itu kerap dipukuli dalam rentang waktu tersebut. Menurutnya, ada penghuni lain yang bahkan dipukuli sampai sebulan.
"Pembina kerangkeng nanya, ‘Apa aja yang sudah kau jual? apa yang kau curi?’ Saya jawab, ‘Enggak ada.’ Itu kena setrum, kena tumbuk (pukul), macam-macamlah,” kata Tongat kepada kumparan, Senin (31/1).
Kawan Tongat lebih parah lagi. Ia terkena besi panas yang berasal dari per motor yang dilelehkan hingga merah. “Ditaruh itu ke dadanya, berbekas,” ujar Tongat.
Siksaan besi panas itu terjadi lantaran kawan Tongat kabur dari kerangkeng. Ia sempat dicari dan tak ketemu, lalu pengelola kerangkeng menghubungi keluarganya untuk minta denda Rp 2 juta. Pihak keluarga lantas menawarkan Rp 20 juta sebagai kompensasi agar pengelola tak mencari sang anak.
“Enggak mau katanya Bupati itu,” kata Tongat.
Bupati Langkat Terbit Rencana Peranginangin meninjay kerangkeng manusia di Desa Raja Tengah, Langkat, Sumatra Utara. Foto: Youtube/Info Langkat
Muhrifan Afandi, warga Kecamatan Babalan, Langkat, punya cerita berbeda. Ia, yang menghuni kerangkeng itu sejak 2018 sampai Januari 2022, tak merasa ada perbudakan karena tak mengalami siksaan.
“Saya datang ke situ bersama keluarga dengan harapan dapat terbebas dari penyalahgunaan narkotika,” kata Afandi yang baru keluar dari kerangkeng itu pada 24 Januari 2022.
Kakak Afandi, Muhammad Fauzi, mengatakan bahwa adiknya kecanduan sabu selama setahun. Ia membikin resah keluarga dan mengganggu orang-orang di kampung, terutama ketika sakau.
Untuk mendapatkan sabu-sabu, Afandi sampai menjual barang di rumah dan mengejar orang tuanya dengan parang di tangan. Akibatnya, barang-barang mulai televisi, kulkas, hingga penanak nasi, habis dijual.
Fauzi sempat mengirim Afandi ke tempat rehabilitasi swasta selama setahun, dengan biaya minimal Rp 3 juta per bulan. Namun, setelah 12 bulan, adiknya itu belum juga bisa sepenuhnya sembuh dari candu sabu.
Dari seorang kawan, Fauzi lalu mendapat info mengenai tempat pembinaan pecandu narkoba milik Bupati Langkat. Ia mendengar bahwa tempat itu memiliki reputasi bagus. Itulah kerangkeng sang Bupati.
Kerangkeng Manusia Bupati Langkat. Foto: Fatah Afrial/kumparan
“Saya disuruh buat surat pernyataan dari orang tua yang diketahui Kepala Desa untuk membawa dia (Afandi) ke sana, menyerahkan dia. Surat pernyataan kami mohon untuk pembinaan,” kata Fauzi kepada kumparan, Kamis (27/1).
Ia melanjutkan, pembinaan semacam apa yang akan diterima Afandi tak dijelaskan secara rinci. “Cuma kami dapat rumor dari orang-orang dan kawan-kawan, di sana pembinaannya cukup disiplin. Mereka dilatih untuk bisa kembali hidup normal. Dilatih kerja, ngaji, salat.”
Kurun waktu pembinaan pun tak diinformasikan. “Nanti mereka (pengelola) yang menentukan apakah dia sudah bisa pulang atau belum,” ujar Fauzi.
Alasan lain Fauzi memasukkan Afandi ke tempat pembinaan Bupati Langkat ialah karena tempat itu gratis. Saat Fauzi lewat ibunya memberi uang ala kadarnya ke pengelola saat Afandi dijemput, duit itu bahkan ditolak.
Sementara rehabilitasi di fasilitas resmi milik Badan Narkotika Nasional setempat tak dilakukan Fauzi karena kapasitas ruang tak lagi mencukupi.
“Sudah kami coba, tapi kuota penuh terus,” katanya.
Muhrifan Afandi (kiri) salah satu eks pasien yang pernah tinggal di Kerangkeng rumah Bupati Langkat. Foto: Dok. Istimewa

Kehidupan dalam Kerangkeng

Sehari-hari, penghuni kerangkeng Bupati Lahat menjalani berbagai aktivitas. Di tahun pertama Afandi tinggal, ia hanya diminta bersih-bersih dan mengurusi lingkungan sekitar kerangkeng seperti memberi makan ikan dan burung.
Setelah setahun, Afandi diminta membantu pekerjaan di pabrik sawit dan ladang pisang. Ia tak dibayar dan menganggapnya sebagai praktik kerja lapangan. Di lokasi kerja, pegawai perusahaan mengajarinya.
“Jam 8 berangkat, jam 12 pulang, istirahat, makan. Yang mau salat, bisa salat. Jam 2 siang berangkat lagi sampai sore. Jam 4 pulang. Itulah pelatihannya,” kata Fauzi.
Beda Afandi, beda Tongat. Sementara Afandi berangkat jam 08.00 dan pulang jam 16.00 dengan waktu istirahat siang dua jam, Tongat berangkat jam 07.00 dan pulang jam 18.00. Setiap harinya Tongat bangun jam 6 pagi untuk sarapan dan mandi di kolam yang ada di depan kerangkeng.
Soal makanan bagi penghuni kerangkeng, Fauzi mengatakan tak ada pembatasan dua kali makan dalam sehari seperti yang ada dalam laporan Migrant Care. Afandi bisa makan tiga kali sehari, bahkan boleh tambah porsi kalau masih lapar.
Tongat membenarkan. “Lauknya ikan, telur. Enak-enak.”
Foto udara lokasi kerangkeng manusia di Desa Raja Tengah, Langkat, Sumatra Utara. Foto: Youtube/Info Langkat

Setelah “Dibina”

Tak ada waktu pasti kapan penghuni kerangkeng bakal dipulangkan dan dianggap selesai “rehab”. Hal itu ditentukan sendiri oleh pengelola. Terbit sang Bupati menilai idealnya zat narkoba sudah bersih dari tubuh penghuni selnya dalam tiga bulan.
“Setelah kami anggap zat kimia, zat narkoba itu hilang, kepada mereka kami berikan tahap-tahap [kegiatan] keagamaan dan kesehatan,” kata Terbit dalam wawancara yang diunggah akun YouTube Diskominfo Langkat, Maret 2021.
Pada praktiknya, ada yang keluar dari kerangkeng dalam tempo enam bulan seperti Tongat, atau bahkan sampai empat tahun layaknya Afandi. Meski lama menghuni kerangkeng, Afandi disebut keluarganya sembuh dari candu narkoba dan jadi pandai mengaji. Untuk itu Fauzi merasa bersyukur.
Serupa, dua penghuni lain juga bisa sembuh dari ketergantungan narkoba. Keduanya bersaudara, dan keluarga mereka, Putri, mengatakan bahwa hidup kedua saudaranya itu kini jadi lebih teratur.
“Karena emang ada peraturan: jadwal bangun tidur, jadwal makan. Semua teratur sekali. Itu jadi kebiasaan yang bagus bagi mereka. Sebelumnya hidup mereka lumayan berantakan,” kata Putri, Jumat (25/1).
Warga mengamati ruang kerangkeng manusia di rumah pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Langkat, Sumatra Utara, Rabu (26/1/2022). Foto: Dadong Abhiseka/Antara Foto
Telengi Perangin Angin, warga Kuta Parit, Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat, mengatakan bahwa tiga anaknya yang pecandu narkoba pun kini sembuh setelah dibina di kerangkeng sang Bupati.
“Jadi tiga-tiganya sudah sembuh. Satu kerja di pabrik sini sebagai sopir pengangkut TBS (tandan buah segar sawit),” ujar Telengi.
Bak dua sisi mata uang, ada yang bersyukur atas kerangkeng tersebut, ada juga yang merasa menyesal sudah melakukan "pembinaan" narkoba di sana. Seperti komentar orang tua Tongat setelah mengetahui anaknya mendapatkan kekerasan.
"Nyesal aku sebenarnya naruh kau di sini, tapi namanya kau bandel," kata Tongat menirukan perkataan orang tuanya.

Hilang Nyawa

Salah seorang warga yang mengaku keluarganya tewas saat menjalani pembinaan di kerangkeng Bupati Langkat turut memberikan pengakuan kepada kumparan. Warga berinisial FD itu bilang sempat menitipkan adik sepupunya pada tahun 2019.
Baru 10 hari dititipkan, FD dikabari bahwa adik sepupunya itu meninggal karena penyakit asam lambung. FD mengakui bahwa saudaranya itu memiliki penyakit tersebut dan tak ada kecurigaan atas kematian itu.
Namun, FD dihubungi oleh pengelola bahwa jenazah adik sepupunya itu sudah dimandikan dan dikafani. Di sini FD mulai menaruh prasangka.
"Loh, kenapa? Rupanya pas datang mayatnya, ya menjeritlah orang melihatnya. Rahangnya luka-luka," kata FD.
Ditanya mengenai cerita FD ini, Komisioner Pemantauan Komnas HAM Choirul Anam mengatakan mengetahui kisah tersebut. Dalam rillis pers yang diterima kumparan, Choirul melaporkan temuan sementara bahwa di dalam kerangkeng tersebut ada tindak kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa.
"Korban yang menghilang nyawanya ini lebih dari satu. Informasi kami dapatkan dari berbagai pihak, lebih dari dua mengatakan memang kematian tersebut ditimbulkan oleh tindak kekerasan," kata Choirul, Minggu (30/1).
Choirul menyampaikan pihaknya sudah mengantongi pola dan alat kekerasan yang digunakan di kerangkeng itu. Namun ia belum bisa menyampaikan secara detail informasi tersebut.
Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Foto: Facebook/Diskominfo Langkat
Terbit Rencana Perangin Angin menjabat sebagai Bupati Langkat sejak 20 Februari 2019. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Langkat periode 2014-2018. Terbit pernah menjadi 10 calon kepala daerah terkaya versi KPK dengan harta senilai Rp 96.989.701.798 berdasarkan LHKPN 2018.
Pada Maret 2021 lalu, di hadapan Kapolres Langkat, Terbit menyatakan agar menembak di tempat bandar narkoba yang ada di Kabupaten Langkat. Terbit secara pribadi memang sosok yang antinarkoba. Menurutnya, 1 pecandu narkoba bisa merusak 1 keluarga.
Karena motif itulah, Terbit mendirikan tempat pembinaan pecandu narkoba berupa kerangkeng di belakang rumahnya. Maka, saat Terbit menyatakan perang melawan narkoba ia mengaku tidak takut terhadap para mafia narkoba.
"Saya takut kepada Allah, saya berpedoman dengan Allah, kalau namanya niat baik, pekerjaan baik, ini dilindungi Allah," kata Terbit setahun lalu.
Tahun ini, giliran Terbit mendekam di kerangkeng.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten