Siapa yang Menyadap Telepon Rini Soemarno dan Dirut PLN?

28 April 2018 13:23 WIB
Ilustrasi Penyadapan (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penyadapan (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Beredarnya rekaman diduga hasil sadapan telepon antara Menteri BUMN Rini Soemarno dan Direktur Utama PLN Sofyan Basir ramai dibincangkan. Rekaman diduga sadapan telepon itu diedit di beberapaa bagian dan seolah Rini dan Sofyan Basir sedang membahas 'bagi-bagi fee'.
ADVERTISEMENT
Kementerian BUMN sudah memberikan klarifikasi dan membantah percakapan yang terjadi tahun lalu itu membahas 'bagi-bagi fee' antara Rini dan Sofyan Basir. Yang menjadi pertanyaan kemudian, siapa yang menyadap telepon Rini dan Sofyan Basir?
Apabila melihat ke belakang, salah satu isu penyadapan yang masih segar di ingatan kita adalah soal penyadapan yang dilakukan terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Isu ini berawal dari pernyataan pengacara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyebut percakapan antara SBY dengan Ma'aruf Amin.
Permasalahan ini kemudian menimbulkan reaksi di DPR. Beberapa anggota DPR bahkan setuju apabila dibentuk Pansus Penyadapan.
Setelah itu, DPR kembali menginisiasi adaanya RUU Penyadapan, sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 012-106-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan penyadapan harus diatur dengan undang-undang.
ADVERTISEMENT
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mengatakan tindakan penyadapan sebetulnya merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Sebab penyadapan di luar proses hukum melanggar hak pribadi seseorang.
"Prinsipnya, setiap orang memiliki privacy right dan imunitas dari penyadapan karena penyadapan dianggap sebagai pelanggaaran HAM atas privacy right. Siapapun yang melakukan penyadapan tanpa izin tidaklah dibenarkan," kata Indriyanto.
Menteri BUMN dan Dirut PLN tinjau sembako (Foto: Ela Nurlaela/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri BUMN dan Dirut PLN tinjau sembako (Foto: Ela Nurlaela/kumparan)
Penyadapan sebetulnya diatur dalam UU Telekomunikasi di Pasal 40 yang berbunyi "Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun."
Sementara dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, dijelaskan makna dan siapa saja yang berhak melakukan penyadapan (intersepsi).
ADVERTISEMENT
"Yang dimaksud dengan "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi," begitu bunyi petikan pasal tersebut.
Yang berhak melakukan penyadapan adalah para penegak hukum untuk kepentingan penyelesaian kasus hukum.
"Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang," begitu bunyi Pasal 31 Ayat 3.
Dari pasal tersebut, diketahui memang ada lembaga penegak hukum yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan. Mana saja lembaga yang diperbolehkan undang-undang untuk melakukan penyadapan?
ADVERTISEMENT
1. KPK
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK diatur tentang kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Hal itu diatur dalam Pasal 12 huruf (a).
"melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;" demikian bunyi pasal itu.
2. BNN
BNN juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di Pasal 75, disebutkan BNN berwenang melakukan penyadapan dalam rangka melakukan penyidikan.
"melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;" demikian bunyi pasal itu.
3. BIN
Badan Intelijen Negara juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara pada pasal 4 huruf (d).
ADVERTISEMENT
"melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian bunyi pasal itu.
Aturan lebih lanjut tentang penyadapan juga diatur dalam KUHAP Pasal 83 ayat 1-4. Berikut penjelasan lengkapnya:
(1) Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan.
(2) Tindak pidana serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindak pidana:
a. terhadap keamanan negara;
b. perampasan kemerdekaan/penculikan;
c. pencurian dengan kekerasan;
d. pemerasan;
e. pengancaman;
f. perdagangan orang;
g. penyelundupan;
h. korupsi;
i. pencucian Uang;
j. pemalsuan uang;
ADVERTISEMENT
k. keimigrasian;
l. mengenai bahan peledak dan senjata api;
m. terorisme;
n. pelanggaran berat HAM;
o. psikotropika dan narkotika; dan
p. pemerkosaan.
q. pembunuhan;
r. penambangan tanpa izin;
s. penangkapan ikan tanpa izin di perairan; dan
t. pembalakan liar.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
(4) Penuntut umum menghadap kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersama dengan penyidik dan menyampaikan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dengan melampirkan pernyataan tertulis dari penyidik tentang alasan dilakukan penyadapan tersebut.
Lalu, siapa yang menyadap Rini?