Pemeriksaan Djoko Tjandra

Sidang Eksepsi, Djoko Tjandra Minta Dakwaan Surat Jalan Palsu Dibatalkan

20 Oktober 2020 20:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra berjalan seusai menjalani pemeriksaan, di gedung Bundar Kompleks Gedung Kejakasaan Agung, Jakarta, Senin (31/8). Foto: Adam Bariq/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra berjalan seusai menjalani pemeriksaan, di gedung Bundar Kompleks Gedung Kejakasaan Agung, Jakarta, Senin (31/8). Foto: Adam Bariq/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Djoko Tjandra menjalani sidang eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (20/10). Dalam sidang tersebut, Djoko Tjandra meminta agar dakwaannya terkait kasus surat jalan palsu dibatalkan.
ADVERTISEMENT
"Setelah Penasihat Hukum membaca dan mendengarkan secara cermat pembacaan atas Surat Dakwaan, pada tanggal 13 Oktober 2020, terdapat sedikitnya 7 alasan keberatan yang perlu diuraikan di bawah ini sebagai dasar untuk menyatakan Surat Dakwaan tersebut 'Batal Demi Hukum' atau setidak-tidaknya 'Tidak Dapat Diterima'," kata kuasa hukum Djoko Tjandra, Soesilo Aribowo.
Tujuh alasan keberatan yang disampaikan oleh Soesilo yakni sebagai berikut:
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra berjalan seusai menjalani pemeriksaan, di gedung Bundar Kompleks Gedung Kejakasaan Agung, Jakarta, Senin (31/8). Foto: Adam Bariq/ANTARA FOTO
Pertama, surat dakwaan disebut tidak cermat, tidak jelas atau tidak lengkap terkait identitas Djoko Tjandra. Dalam dakwaan dituliskan bahwa nama Djoko Tjandra adalah 'Joko Soegiarto' dan 'Joe Chan bin Tjandra Kusuma'.
Soesilo mengatakan nama Djoko Tjandra tak mengenal kata 'bin'. Sebab agamanya Katolik.
Selain itu, alamat Djoko Tjandra salah. Soesilo mengatakan, sesuai identitas kliennya beralamat rumah di Jalan Simprug Golf I Kav. 89 Rt. 003 Rw. 008, Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Kediaman kliennya, bukan di tempat lain seperti Mabes Polri, Jalan Trunojoyo Nomor 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, seperti tercantum dalam dakwaan.
Kedua, uraian dakwaan dinilai tak jelas terkait perbuatan pidana yang dilakukan Djoko Tjandra. Dalam dakwaan, Djoko Tjandra didakwa tindak pidana membuat surat palsu atau memalsukan surat sebagaimana diatur Pasal 263 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Soesilo menyebut, sesuai dakwaan itu, kliennya dianggap melakukan perbuatan membuat surat palsu, atau memalsukan surat, atau menyuruh melakukan perbuatan membuat surat palsu, atau memalsukan surat, atau turut serta memalsukan surat.
Namun tak dijelaskan bagaimana Djoko Tjandra memerintahkan membuat surat palsu itu.
"Sama sekali tidak menguraikan atau mengungkapkan atau menjelaskan bagaimana, dengan cara apa, dengan kata-kata apa Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra menyuruh membuat surat palsu atau memalsukan surat itu," kata dia.
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
Ketiga, uraian dakwaan tak lengkap terkait perbuatan yang diduga pidana. Pengacara menilai surat dakwaan tak mengungkap unsur-unsur tindak pidana Pasal 263 ayat (1) KUHP yang didakwakan kepada Djoko Tjandra dalam uraian fakta kejadian.
ADVERTISEMENT
Keempat, surat dakwaan tak menguraikan unsur kesalahan berupa mens rea. Soesilo mengatakan, dalam dakwaan sikap batin atau kesengajaan pelaku maupun turut serta melakukan berupa niat jahat merupakan syarat penting yang harus diuraikan jaksa penuntut umum.
"Di dalam surat dakwaan, dalam uraian perbuatan/peristiwa pidana, penuntut umum tidak pernah menguraikan atau memberikan gambaran fakta atas kesalahan-kesalahan yang bersifat kesengajaan atau niat jahat/sikap batin jahat/tercela (dolus malus/mens rea) dari terdakwa Joko Soegiarto Tjandra sebagai motif tindak pidana dalam anasir “dengan maksud” atau “dengan sengaja” yang diduga telah dilakukan oleh Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra," ujarnya.
Brigjen Pol Prasetijo Utomo mengenakan baju tahanan saat pelimpahan tahap II kasus dugaan pencabutan red notice atas nama Djoko Tjandra di Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (16/10). Foto: Rommy S/ANTARA FOTO
Kelima, dakwaan dinilai tak cermat, tidak jelas, atau tidak lengkap terkait dengan dugaan tempat terjadinya perkara, dan kewenangan PN Jaktim untuk mengusut.
ADVERTISEMENT
Soesilo mengatakan, jaksa penuntut umum sejatinya berpendapat bahwa dugaan perbuatan “membuat surat secara palsu” atau “memalsukan surat” tersebut terjadi di kantor Brigjen Prasetijo Utomo, di Jakarta Selatan.
Sementara, kata Soesilo, di dalam dakwaan, penuntut umum tak secara jelas menguraikan adanya fakta-fakta lain yang menunjukkan bahwa perbuatan membuat surat secara palsu atau memalsukan surat tersebut terjadi di tempat lain selain di kantor Prasetijo.
Selain itu, mayoritas saksi yang diperiksa terkait perkara ini pun paling banyak berdomisili di Jakarta Selatan. Sehingga pemilihan tempat kejadian perkara dinilai tak tepat.
Keenam, dakwaan tak jelas menggambarkan dan merumuskan peran Djoko Tjadnra sebagai pleger (orang yang melakukan) atau medepleger (menyuruhlakukan) atau doenpleger (turut serta melakukan).
ADVERTISEMENT
"Bahwa di dalam uraian fakta Surat Dakwaan, Penuntut Umum menyatakan adanya pihak yang diperintah membuat surat yang dianggap palsu menurut Penuntut Umum," kata Soesilo.
Adapun orang tersebut adalah Brigjen Prasetijo yang memerintahkan Dodi Jaya (Kaur TU Ro Korwas PPNS Bareskrim Polri) untuk membuat surat jalan, bukan Djoko Tjandra.
Coverstory Djoko Tjandra. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Ketujuh, surat dakwaan dinilai melanggar hukum pidana terkait dengan dilakukannya penuntutan secara 'perbarengan perbuatan'. Soesilo menyorot soal berkas perkara Djoko Tjandra dipisah menjadi tiga klaster kasus, padahal waktunya berdekatan.
Soesilo mengatakan, seharusnya JPU tak melakukan pemberkasan surat jalan palsu ini secara terpisah. Namun disatukan dengan beberapa berkas tindak pidana lainnya. Serta menyidangkannya dalam satu perkara dengan satu majelis hakim.
"Tidak dipecah-pecah menjadi beberapa perkara dengan menyidangkan sendiri-sendiri, seperti perkara a quo oleh dan akan dengan lebih dari satu Majelis Hakim," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Dapat dipastikan bahwa pemecahan berkas perkara dan dengan menyidangkannya sendiri-sendiri atau tidak dilakukan dengan bentuk penuntutan secara “Perbarengan/Concursus Delicten/Samenloop” adalah merupakan bentuk pelanggaran hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum KUHAP dan hak seorang tersangka/terdakwa, sehingga karenanya Surat Dakwaan semacam ini harus dibatalkan," pungkasnya.
Dalam kasus ini, ada dua tersangka lain yang juga diadili dan sudah jadi terdakwa. Keduanya adalah Brigjen Prasetijo Utomo dan mantan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten