Singapura Akan Tetapkan COVID-19 Jadi Endemik, Indonesia Kapan?

10 Agustus 2021 20:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengunjuk diperiksa suhu tubuh saat akan masuk ke Kebun Binatang Singapura, Singapura, Senin (6/7). Foto: Roslan RAHMAN / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjuk diperiksa suhu tubuh saat akan masuk ke Kebun Binatang Singapura, Singapura, Senin (6/7). Foto: Roslan RAHMAN / AFP
ADVERTISEMENT
Pemerintah Singapura sudah mengambil sikap terkait penanganan COVID-19. Mereka memutuskan akan menjadikan COVID-19 sebagai endemik.
ADVERTISEMENT
Endemik merupakan keadaan yang muncul ketika penyebaran penyakit hanya terjadi di satu wilayah tertentu dalam jangka waktu lama dan terus menerus. Misal penyakit DBD di Indonesia.
Lantas, apa ini memang bisa dilakukan dan apa syaratnya?
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Iwan Ariawan, menjelaskan keputusan itu diambil Singapura karena memang sulit untuk terbebas sepenuhnya dari COVID-19. Tetapi, hal ini baru bisa dilakukan saat situasi pandemi di suatu negara terkendali.
"Kita hidup normal, itu enggak mungkin dicapai. Artinya COVID ini akan ada terus. Kita enggak mungkin juga terkurung di rumah terus. Jadi kan intinya bagaimana supaya kegiatan sosial ekonomi bisa berjalan tapi aman. Itu kan bisa dilakukan, tapi pandeminya harus terkendali dulu," kata Iwan kepada kumparan, Selasa (10/8).
ADVERTISEMENT
Maksud dia, untuk bisa menjadikan COVID-19 berstatus endemik di suatu negara, kasus di negara itu harus landai. Pemerintahnya juga harus dipastikan bisa menangani pasien COVID-19 dengan baik.
"Terkendali maksudnya kasusnya enggak naik. Kasus berat, meninggal sedikit, dan RS sanggup menangani orang yang masuk. Dalam kondisi itu kita mencapai endemik tadi. Aktivitas bisa jalan lagi seperti sebelum pandemi. Tapi tetap harus ada prokes, pakai masker akan selamanya kayaknya, dan tes tracing tetap dilakukan dan enggak berkurang supaya bisa dibilang kita hidup bersama corona," terangnya.
Iwan menerangkan penanganan pandemi di Singapura hingga saat ini sangat baik, jauh dari Indonesia. Sehingga tak heran kalau mereka akan menganggap COVID-19 sebagai endemik.
"Memang kita enggak bisa bandingkan apple to apple. Singapura, kan, penduduknya cuma se-Jakarta. Tapi kalau kita belajar dari negara-negara yang berhasil menangani pandemi gini, mereka itu melakukan tracingnya bagus. Begitu ada kasus dicari siapa aja yang kontak diperiksa, itu yang kita [Indonesia] kurang," jelas Iwan.
ADVERTISEMENT
"Kedua berani bertindak cepat. Kalau kasusnya menunjukkan kenaikan langsung PPKM, daripada kalau kasusnya udah tinggi. Kita di Indonesia pertama kali tracingnya masih rendah, sampai akhir bulan lalu masih 1 kasus ditracing 4 kontak. Padahal standarnya Kemenkes sendiri 1 kasus 15 [orang] ditracing," tambah dia.
Warga yang menggunakan masker melintasi mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di kawasan Tebet, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
Iwan mengakui kalau tracing (penelusuran kontak erat dari kasus konfirmasi positif corona) di Indonesia sudah meningkat bulan ini. Tetapi, sudah terlalu sering ada keterlambatan dalam menyikapi pandemi, tak seperti Singapura.
“Agustus udah membaik, pemerintah udah sadar pentingnya tracing. [Tapi] kita, kan, udah terlambat PPKM-nya. Sebenernya dari Januari, Februari, Maret, temen-temen epidemiolog udah bicara ini waktunya [kita pembatasan] karena kita udah belajar liburan akan disertai kenaikan kasus,” ujar dia.
ADVERTISEMENT
“Nah, kita gagal. Begitu setelah Lebaran, udah banyak yang bilang kita mesti PPKM, PSBB enggak dilakukan jadi tinggi. Ya, makin sulit nuruninnya,” lanjutnya.
Lalu, kapan Indonesia bisa membaik seperti Singapura?
“Itu pertanyaan yang susah dijawab, bukan cuma wartawan aja yang nanya. Pertanyaan menteri, Bappenas, itu sama, karena kami beberapa kali diminta bikin model proyeksi kapan, sih, [pandemi] bisa terkendali. Yah kita bisa bikin modelnya, cuma kan dengan asumsi. Asumsinya terpenuhi apa enggak?” tutur Iwan.
“Nah, menurut model dan pemerintah Oktober/November terkendali, bisa lah. Tapi artinya, kan, itu di dalam model asumsinya cakupan vaksinasi paling enggak sudah 50% dosis kedua, 75% dosis pertama terus rasio [tracing] kontak erat 1:15. Terus prokes harus seperti sekarang atau meningkat, PPKM-nya berjalan sesuai level. Itu dipenuhi enggak? Kalau dipenuhi bisa. Jadi bolak balik sebetulnya,” tandas dia.
Sebuah bajaj melintasi mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di kawasan Tebet, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters
Di sisi lain, Ahli Wabah UI Pandu Riono, setuju bahwa Singapura bisa menetapkan virus corona sebagai endemik karena penanganan di negara itu baik. Sementara sulit untuk menentukan kapan Indonesia bisa seperti Singapura.
ADVERTISEMENT
“Mereka memang mengendalikan pandemi. Mereka lockdownnya udah lama, lho. Kita baru sebulan aja mengap-mengap. Dan bedanya mereka negara pulau, lebih terkendali. Mereka sudah menyiapkan sekali. Ya mungkin mereka bertahan, belum tentu berhasil juga,” kata Pandu kepada kumparan.
“[Indonesia bisa] kapan kapan. Enggak tau. Ini problemnya besar. Problemnya kita enggak punya planning. Kalau mengendalikan pandemi kan ada target, apa yang harus dialokasikan. Sehingga kalau tidak dilakukan ketat, terbuka, bebas korup, itu dampaknya tidak optimal,” tutup dia.