Siswi SMA di Sragen Di-bully Gurunya karena Tak Pakai Jilbab, KPAI Kecam

14 November 2022 11:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi siswi SMA berjilbab. Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswi SMA berjilbab. Foto: Aditia Rijki Nugraha/kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang siswi SMAN di Sragen, Jawa Tengah, berinisial S diduga mendapatkan perundungan dari guru matematikanya karena tak memakai jilbab. Cerita ini disampaikan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti.
ADVERTISEMENT
Guru matematika bernama SW akhirnya minta maaf usai diadukan ke polisi oleh keluarga S. Orang tua S, AP, mengadukan dugaan perundungan ini ke Polres Sragen karena anaknya mengalami tekanan psikis.
"S dimarahi di depan kelas hingga akhirnya enggan berangkat ke sekolah. Usai kejadian tersebut S sempat mau untuk berangkat ke sekolah. Namun, karena diduga di-bully oleh kakak kelas, S minta dijemput pulang dan enggan masuk sekolah lagi," kata Retno dalam keteranga tertulis, Senin (14/11).
"S juga memiliki adik yang bersekolah di tempat yang sama, adiknya pun akhirnya tidak berani sekolah juga," imbuhnya.
Komisioner KPAI, Retno Listyarti di SMPN 147 Ciracas. Foto: Reki Febrian/kumparan
Atas kasus tersebut, Retno selaku Komisioner KPAI menyampaikan sikap sebagai berikut:
- Mengecam pem-bully-an yang dilakukan oleh oknum guru dan sesama peserta didik terhadap anak korban karena tidak mengenakan jilbab.
ADVERTISEMENT
KPAI mencatat bahwa ada kasus serupa di Gemolong, Sragen, pada tahun 2020, siswi tersebut akhirnya mutasi ke SMAN lain setelah mendapatkan pem-bully-an terus menerus, terutama oleh kakak kelas.
- Kasus saat ini secara umum menunjukkan bahwa literasi dan moderasi beragama di dunia Pendidikan masih belum cukup baik. Kondisi ini memberi kontribusi bagi terjadinya intoleransi misalnya pelarangan maupun pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan simbol dan identitas kepada pihak lain.
Sehingga, diperlukan pelatihan menginternalisasi dan penguatan skill bagaimana mengembangkan literasi dan moderasi beragama pada saat yang akan datang, baik di lingkungan pendidik maupun lingkungan sosial yang lebih luas.
- Masih sedikit kehadiran pemimpin pemimpin nasional dan lokal yang bijaksana. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Karena kebijaksanaan, mereka tidak mewajibkan yang tidak wajib.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya mereka jangan melarang hal yang tidak seharusnya dilarang hukum positif yang berlaku di negeri yang majemuk ini. Kerap kali aturan seragam di sekolah merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah di wilayah tersebut.
- Meskipun aturan pemakaian seragamnya jelas, namun bukan cuma muncul kasus pemaksaan, muncul pula kasus pelarangan penggunaan jilbab, setiap tahun pelajaran baru. Misalnya:
Gunungsitoli Sumatra Utara (2022), seorang Kepala Sekolah di tempat ini, melarang seorang murid kelas VI memakai jilbab dengan alasan keseragaman karena murid sekolah ini sebagian besar beragama Kristen dan Katolik.
Kasus mewajibkan jilbab di satuan pendidikan bahkan yang beragama non Islam pun akhirnya juga mengenakan jilbab saat bersekolah, misalnya terjadi di Padang, Sumatera Barat pada tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Melarang dan Mewajibkan Jilbab di Satuan Pendidikan
KPAI mencatat sejak 2014 sampai dengan 2022, terdapat sejumlah kasus pelarangan jilbab bagi peserta didik yang terjadi di sejumlah daerah, di antaranya adalah di Bali, ada dua SMAN di Denpasar dan satu SMPN di Singaraja yang melarang peserta didik menggunakan jilbab atau penutup kepala ke sekolah (2014).
Selain, ada juga sejumlah kasus mewajibkan jilbab bagi peserta didik terjadi pada salah satu SMPN di Genteng, Banyuwangi, jawa Timur (2017); satu SMAN di Rantah Hilir, Riau (2018); satu SDN di Karang Tengah, gunung kidul (2019); satu SMAN di Gemolong, Sragen (2020); satu SMKN di Kota Padang, Sumatera Barat (2021); satu SMAN di Banguntapan, Bantul (2022); salah satu SMPN di Jakarta Selatan (2022).
ADVERTISEMENT
“Padahal melarang maupun mewajibkan peserta didik menggunakan jilbab merupakan pelanggaran hak-hak anak," ujar Retno.
Menurutnya, segala bentuk kekerasan verbal, psikis, fisik dan seksual merupakan kekerasan yang dapat terjadi di satuan pendidikan dengan pelaku pendidik, peserta didik maupun tenaga kependidikan. Namun, setiap kali terjadi kekerasan, satuan pendidikan kerap kali tidak merujuk pencegahan dan penanganannya berdasarkan Permendikbud Nomor 82 tahun 2015.
Oleh karena itu, Kemendikbudristek harus menguatkan sosialisasi ke jajarannya, para guru dan para birokrat pendidikan terkait Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan.
Karena ternyata Permendikbud tersebut belum diimplementasi oleh para pendidik maupun para birokrat pendidikan. Padahal isi Permendikbud ini sangat rinci dalam mendefiniskan jenis-jenis kekerasan dan sanksinya, upaya pencegahan dan penanganan kekerasannya jelas.
ADVERTISEMENT