Soal Dugaan Penjegalan Anies, Novel Baswedan Bicara Bahaya Kewenangan SP3 KPK

3 Oktober 2022 16:19 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan di sela-sela acara pelantikan ASN Polri di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (9/12/2021).  Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan di sela-sela acara pelantikan ASN Polri di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (9/12/2021). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Kasatgas penyidik KPK Novel Baswedan bicara mengenai isu dugaan penjegalan Anies Baswedan oleh beberapa orang di internal KPK. Upaya penjegalan itu diduga dengan menjerat Anies sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Formula E di lembaga antirasuah.
ADVERTISEMENT
Salah satu laporan kumparanPLUS 'Patgulipat Pilpres 2024' menuliskan soal adanya dugaan upaya menjegal Anies di Pilpres 2024. Salah satunya diduga dari sisi hukum dengan “menyandera” Anies lewat kasus Formula E. Pada 7 September, Anies sempat diperiksa KPK selama 11 jam untuk dimintai keterangan ihwal hajatan internasional DKI Jakarta itu.
Kemudian dalam laporan Koran Tempo pada 1 Oktober 2022 juga mengungkap adanya dugaan upaya Ketua KPK Firli Bahuri memaksakan penanganan perkara naik ke tahap penyidikan dengan menjerat Anies sebagai tersangka.
Dalam sesi gelar perkara, Ketua KPK itu disebut mendesak penyelidik, penyidik, hingga penuntut untuk menaikkan perkara menjadi penyidikan.
Dalam laporan Tempo, Firli disebut mencoba meyakinkan peserta ekspose agar menaikkan status tersangka Anies Baswedan. Dia menyebut penyidik masih bisa mengejar bukti-bukti korupsi terkait Formula E.
ADVERTISEMENT
Untuk meyakinkan penyidik, Firli mengingatkan soal kewenangan KPK yakni menerbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) jika bukti tak cukup.
Terkait desakan itu, Firli Bahuri disebut mendapat dukungan Wakil Ketua Alexander Marwata serta Deputi Penindakan dan Eksekusi Irjen Karyoto. Namun, mayoritas peserta ekspose disebut tetap tak sependapat, karena belum adanya unsur pidana.
Berangkat dari laporan tersebut, Novel Baswedan kemudian bicara soal bahaya kewenangan KPK, usai lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. KPK dinilai bisa menyalahgunakan kewenangan penghentian suatu perkara.
Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 40 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Berikut bunyinya:
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
ADVERTISEMENT
"Di situ diberikan ruang untuk KPK bisa SP3, bisa menghentikan penyidikan. Dalam banyak kesempatan saya katakan, bahwa kewenangan untuk bisa hentikan penyidikan itu bisa membuat perkara yang tidak terlalu jelas, tidak prudent, tidak punya bukti yang kuat, itu bisa dipaksakan naik penyidikan," kata Novel dalam channel YouTube pribadinya, dikutip kumparan Senin (3/10).
Suasana deklarasi Anies Baswedan sebagai calon presiden RI dari NasDem di DPP Partai NasDem di Jakarta pada Senin (3/10/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Novel mengatakan, dengan kewenangan tersebut, apabila ada perkara yang tidak bisa dibuktikan, bisa saja dihentikan. Penghentian perkara tersebut bahkan tertutup di tingkat ekspose pimpinan, bukan melalui proses pengujian di pengadilan.
"Ini yang saya khawatirkan, dan ternyata indikasi itu semakin jelas ketika dapat informasi yang diperoleh media investigasi. Ini yang berbahaya," kata dia.
"Yang berbahayanya lagi ternyata dugaannya dilakukan untuk kepentingan politik jahat. Saya khawatir bukan cuma ini saja, nanti ada saja tokoh lain atau parpol lain yang dikerjai dengan cara yang sama, itu yang berbahaya," sambung dia.
ADVERTISEMENT
Novel menilai ada dua bahaya yang mengintai dari kewenangan SP3 KPK tersebut. Pertama, orang yang mungkin tidak bersalah dan memiliki potensi untuk memimpin bisa dijegal dengan mekanisme itu. Kedua, menjadi kerugian bagi penegak hukum, dalam hal ini KPK, karena publik tidak lagi percaya akan penindakan hukum yang dilakukan.
Novel menyebut, sebelum adanya revisi UU KPK, lembaga antirasuah harus benar-benar yakin ketika menaikkan kasus ke tingkat penyidikan. Sebab tak ada mekanisme SP3. Semua tindakan harus dibuktikan di pengadilan. Namun sekarang dengan adanya SP3, penindakan oleh KPK justru dinilai berbahaya.
"Kenapa saya bilang berbahaya? logikanya sederhananya seperti ini. Kalau sebuah perkara untuk menguji kebenaran itu di persidangan, maka akan dilakukan dengan transparan dan terbuka. Orang semua bisa melihat mengamati, bisa melihat kalau ada proses akrobat dan ngawur orang bisa melihat memberitakan mengkritisi dan lain-lain dalam perspektif yang objektif," kata Novel.
ADVERTISEMENT
Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers Mengenai program Politik Cerdas Berintergritas 2022 di Pusat Edukasi Anti Korupsi (ACLC), Selasa (12/4). Foto: Hedi/kumparan
"Tapi berbeda dengan kalau mau dihentikan penyidikan proses itu dilakukannya tertutup dalam suatu rapat tertutup yang mengetahui hanya orang-orang yang terlibat dalam rapat itu, dan itu tidak boleh dibicarakan keluar karena dianggap rahasia oleh mereka. Proses inilah yang saya selalu katakan berpotensi terjadi suatu permasalahan. Kalau ada yang tidak jujur atau berpotensi memiliki kepentingan, di situ bisa menjadi masalah," sambungnya.
Atas potensi masalah tersebut, Novel menilai bisa saja penindakan hukum didasari akan kepentingan.
"Dengan adanya kewenangan pasal 40 tadi, potensi atau peluang adanya kepentingan yang dititipkan, baik itu karena pengaruh uang, tekanan atau kekuasaan ini bisa terjadi. Dan kalau itu yang terjadi maka bisa aja 'udah tersangkakan dulu, kalau tidak terbukti kan kita bisa SP3 atau hentikan' kalau itu yang terjadi rusak dan ini akan hancurkan nama baik KPK," ungkap Novel.
ADVERTISEMENT

KPK Membantah

Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Firli Bahuri serta Alexander Marwata dan Karyoto belum berkomentar mengenai dugaan ini. Namun, KPK melalui juru bicaranya mengeluarkan bantahan.
"KPK menyayangkan adanya opini yang menyebut Pimpinan KPK memaksakan penanganan perkara Formula E ini, padahal gelar perkara dilakukan secara terbuka dan memberikan kesempatan semua pihak untuk menyampaikan pendapatnya," kata Plt juru bicara KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Senin, (3/9).
KPK pun balik menuding adanya pihak yang menyeret-nyeret lembaga antirasuah itu dalam kepentingan politik. Menurut Ali, tudingan ini sudah ada bahkan sejak awal-awal KPK berdiri dan memulai tugasnya dalam menangani perkara korupsi.
"KPK juga sangat menyayangkan, proses penanganan perkara Formula E yang telah taat azas dan prosedur hukum ini justru kemudian diseret-seret dalam kepentingan politik oleh pihak-pihak tertentu," kata Ali.
ADVERTISEMENT
"Meski begitu, KPK akan terus konsisten dan berkomitmen untuk menangani setiap perkara dugaan TPK sesuai tugas, kewenangan, dan UU yang berlaku," sambungnya.
Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Shutter Stock

Laporan soal Formula E

Formula E merupakan ajang balap mobil listrik internasional yang baru pertama kali di gelar di Indonesia. Balapan ini terselenggara pada 4 Juni 2022 lalu.
Presiden Jokowi dan sederet pejabat negara lainnya hadir dalam gelaran Formula E. Jokowi menyerahkan langsung trofi kepada juara 1 race 9 itu, yakni Mitch Evans.
Usai acara, Jokowi menyebut, Formula E berlangsung baik dan lancar. Dia menyebut pemerintah akan mendukung kegiatan positif ini.
Penyelidikan Formula E ini pertama kali diumumkan pada November 2021. Belum ada penjelasan lebih lanjut dari KPK, karena masih penyelidikan.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata sempat menyatakan sejumlah hal yang mungkin didalami dalam proses penyelidikan.
Salah satunya kemungkinan kemahalan bayar commitment fee dari Jakpro dibandingkan dengan negara lain. Namun demikian, Alex tak menjelaskan secara pasti penyelidikan terkait dugaan korupsi apa yang tengah dilakukan oleh KPK.
Adapun dalam penyelidik KPK ini, sudah meminta keterangan sejumlah pihak. Termasuk Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi; mantan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga, Gatot S Dewa Broto; hingga Dino Patti Djalal.
Pada 7 September, Anies sempat diperiksa KPK selama 11 jam untuk dimintai keterangan ihwal hajatan internasional DKI Jakarta itu. Anies pun tidak banyak berkomentar usai diminta keterangan.
"Insyaallah dengan keterangan yang tadi kami sampaikan akan bisa membuat menjadi terang sehingga isu yang sedang didalami akan bisa terang benderang dan memudahkan dalam KPK menjalankan tugas," kata Anies di Gedung KPK, Rabu (7/9).
ADVERTISEMENT