Sofyan Basir Minta Dibebaskan dalam Kasus Dugaan Korupsi PLTU Riau-1

21 Oktober 2019 20:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa Sofyan Basir menjalani sidang lanjutan dengan agenda nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/10). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa Sofyan Basir menjalani sidang lanjutan dengan agenda nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/10). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basir, meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membebaskannya dalam kasus dugaan korupsi proyek PLTU Riau-1.
ADVERTISEMENT
Sofyan Basir mengaku sama sekali tak terlibat dalam kasus yang membuatnya dituntut selama 5 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum KPK.
"Dengan segala kerendahan hati, saya memohon kepada Yang Mulia majelis hakim yang mengadili perkara ini, mohon kiranya berkenan dapat membebaskan saya dari seluruh tuntutan saudara penuntut umum," kata Sofyan Basir saat membacakan nota pembelaannya (pleidoi) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/10).
Sofyan pun membeberkan fakta sidang yang menurutnya tak membuktikan keterlibatannya dalam kasus tersebut.
Sofyan berpendapat, selama persidangan tidak ada saksi yang mengatakan ia mengetahui adanya suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) Limited, Johannes Kotjo kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR F-Golkar, Eni Maulani Saragih, senilai Rp 4,75 miliar.
ADVERTISEMENT
Sehingga Sofyan merasa dakwaan jaksa KPK yang menganggapnya membantu memberikan kesempatan, sarana dan keterangan, hingga terjadinya tindak pidana suap antara Kotjo dengan Eni tidak tepat.
"Bahwa saya tidak mengetahui adanya janji atau kesepakatan serta pemberian uang secara bertahap dengan jumlah keseluruhan Rp 4,75 miliar dari Johanes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih," ujar Sofyan.
Terdakwa Sofyan Basir (kiri) berbincang sebelum mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/10). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Menurut Sofyan, adanya kesepakatan suap itu terjadi sebelum Kotjo dan Eni bertemu dengannya. Sofyan menyebut kesepakatan adanya suap terjadi saat Eni dan Kotjo bertemu eks Ketua DPR, Setya Novanto, pada 16 Februari 2016.
"Janji atau kesepakatan pemberian uang tersebut telah terjadi sebelum mereka (Eni dan Kotjo) bertemu dengan saya sekitar bulan Juli 2016 sehubungan penyampaian keinginan Johanes Budisutrsino Kotjo ingin berpartisipasi dalam proyek pembangkit di Pulau Jawa dan IPP PLTU MT Riau 1," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sofyan menilai, ketidaktahuannya terkait pemberian suap itu telah disampaikan pula oleh Kotjo dan Eni saat menjadi saksi di sidangnya. Sofyan pun mengutip pernyataan Eni dan Kotjo mengenai hal tersebut.
Johannes Kotjo saat memberikan kesaksian di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/7). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Berikut pernyataan Eni dan Kotjo yang dibacakan Sofyan:
Johannes Kotjo.
Bahwa adanya pemberian uang dari saksi kepada Eni Maulani Saragih tersebut, terdakwa tidak mengetahuinya.
Bahwa terdakwa sama sekali sekali tidak mengetahui pemberian uang yang saksi berikan secara bertahap kepada Eni Maulani Saragih.
Bahwa pemberian uang secara bertahap yang saksi berikan kepada Eni Maulani Saragih tersebut tidak ada hubungannya dengan terdakwa dan terdakwa juga tidak mengetahui karena memang saksi tidak memberitahukannya.
Terdakwa tidak tahu-menahu mengenai adanya fee agent dan rencana pembagian ke beberapa pihak sebagaimana telah direncanakan dan juga tidak ada rencana memberi bagian fee tersebut kepada saya.
Eni Maulani Saragih mantan anggota DPR RI 2014 - 2019 tiba di gedung KPK untuk diperiksa sebagai saksi korupsi proses pengurusan terminasi kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) PT AKT di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Eni Maulani Saragih
ADVERTISEMENT
Bahwa Terdakwa tidak mengetahui adanya pemberian sejumlah uang secara bertahap dari Johanes Budisutrisno Kotjo kepada saksi.
"Keterangan tersebut di atas ada rekamannya sehingga tidak perlu diragukan lagi kebenarannya. Namun yang mengherankan dan tidak dapat dipahami penuntut umum justru telah mengenyampingkan dan tidak memuat keterangan tersebut sebagai fakta persidangan dan pertimbangan hukum dalam surat tuntutannya," ketus Sofyan.
"Menurut hemat saya hal ini sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan KPK, yang selalu mencitrakan dirinya sebagai lembaga penegak hukum yang paling kredibel di mata masyarakat. Dengan kerendahan hati saya, mohon kiranya agar hal ini menjadi perhatian Yang Mulia majelis hakim," sambungnya.
Dalam pleidoinya, Sofyan juga membantah telah mengarahkan Nicke Widyawati yang saat itu menjabat Direktur Perencanaan PLN untuk tetap memasukkan proyek IPP PLTU MT 2 x 300 MW di Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
ADVERTISEMENT
"Kesimpulan penuntut umum (di surat tuntutan) tersebut tidak sesuai dengan fakta di persidangan karena Supangkat Iwan Santoso menerangkan ketika pertemuan di Hotel Fairmont, Eni Maulani Saragih menyampaikan keinginannya agar PLTU MT Riau-1 tetap ada di RUPTL, dan terdakwa menanggapi 'kalau layak masuk RUPTL, silahkan diproses'," kata Sofyan.
"Sedangkan Eni Maulani Saragih dalam keterangannya di BAP nomor 99 huruf d yang intinya sebagai berikut 'terkait RUPTL Riau-1 sudah ada sebelumnya dalam RUPTL PLN, dan tidak saya usahakan sejak awal'," lanjutnya.
Terdakwa Sofyan Basir menjalani sidang lanjutan dengan agenda nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/10). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Sofyan juga membantah telah atau bakal menerima fee dari proyek tersebut.
Dalam pleidoinya, Sofyan setidaknya membeberkan 15 argumentasi yang membantah keterlibatannya dalam kasus ini.
"Saya mempunyai keyakinan penyidik dan jaksa KPK adalah orang-orang yang smart dan mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang penegakan hukum yang mumpuni. Namun yang mengherankan pada perkara ini 'penampilannya' tidak sebagaimana semestinya. Terlihat seolah-olah tidak mau mendengar dan tidak melihat fakta yang sebenarnya," tutup Sofyan.
ADVERTISEMENT