Suara Lantang Kaum Difabel Aceh yang Menolak Golput di Pemilu 2019

22 Februari 2019 17:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana sosialisasi suara disabilitas untuk Pemilu 2019  di jalan Flamboyan, Punge Jurong, Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana sosialisasi suara disabilitas untuk Pemilu 2019 di jalan Flamboyan, Punge Jurong, Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
“Kita harus menolak golput dan tidak boleh golput,” suara itu lantang terdengar dari sebuah rumah di jalan Flamboyan, Punge Jurong, Banda Aceh. Sesekali teriakan tawa dan tepuk tangan merambat ke seluruh ruangan.
ADVERTISEMENT
Di atas kursi roda, perempuan berkerudung oranye terlihat piawai memainkan bahasa isyarat. Wajahnya kadang menunduk, kemudian ditegakkan, serta digelengkan ke sisi kiri dan kanan. Dia seolah memaksimalkan seluruh pancaindranya agar lawan bicaranya paham.
Poster kecil bertuliskan Yayasan Cheshire Indonesia Young Voices Indonesia, terpajang di dinding sisi kanan pintu di rumah itu. Di dalamnya, ada sekelompok penyandang tunarungu duduk secara lesehan.
Semuanya menghadap ke layar infocus, menyaksikan bentuk kertas suara yang akan mereka coblos pada 17 April 2019. Raut wajah mereka serius, kadang saling melempar senyum meski hanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Seolah ada cerita satu sama lain yang dibicarakan di antara mereka tentang pemilu.
“Sebagai pegiat (penyandang) disabilitas saya berfikir bagaimana teman-teman difabel juga mempunyai hak sama yaitu memilih. Mereka saya tekankan agar paham tata cara memilih biar jangan golput,” kata Erlina Marlinda (39), dari atas kursi rodanya saat ditemui kumparan, Jumat (22/2).
ADVERTISEMENT
Erlina memecah kebingungan para sahabatnya. Dia dipercaya menjadi mentor bagi teman-temannya untuk menjelaskan rangkaian tahapan tata cara memilih ketika tiba di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Meski memiliki keterbatasan fisik, namun Erlina begitu lugas menyampaikan setiap materi kepada para peserta.
Suasana sosialisasi suara disabilitas untuk Pemilu 2019 di jalan Flamboyan, Punge Jurong, Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
“Kita ketahui bahwa teman-teman penyandang tunarungu mempunyai kesulitan dalam hal pendengaran dan memahami teks. Mengingat jumlah kertas suara yang banyak, menjadi kendala baru bagi mereka. Tiga kertas suara saja susah apalagi ini sampai lima,” ujarnya.
Erlina paham betul apa yang diinginkan teman-teman difabelnya. Menurut dia, walaupun mereka cacat secara fisik, namun tak menyurutkan langkah dan keinginan mereka untuk ikut berpartisipasi dalam memilih. Semangat itu, mendorong Erlina untuk membantu teman-temannya.
ADVERTISEMENT
“Saya ingin membantu mereka, karena beberapa kali pemilu banyak teman-teman difabel yang loss informasi. Misalnya ketika mereka tidak terdaftar, apa yang harus dilakukan, mereka tidak memperoleh info itu,” ujar Erlina.
Pesta demokrasi sejatinya diikuti oleh seluruh warga negara. Termasuk, kaum difabel, suara mereka harus diperhitungkan. Erlina menginginkan suara teman-temannya juga menjadi target peserta pemilu.
“Difabel harus menjadi target. Mereka harus memilih sehingga tidak ada lagi yang golput. Jika pun ada, tidak sebanyak dulu. Karena banyaknya di antara mereka yang tidak terdaftar sehingga tidak bisa memilih sama sekali,” katanya.
Memperjuangkan Hak
Sebagai salah seorang yang aktif menyuarakan hak-hak kaum difabel, Erlina melihat, selama ini belum ada peserta pemilu yang memiliki visi-misi memperjuangkan hak mereka. Erlina menilai, peserta pemilu hanya menjadikan kaum difabel sebagai pemantik untuk mendompleng suara.
ADVERTISEMENT
“Hingga detik ini saya belum mendengar satu caleg pun yang punya visi-misi memperjuangkan hak difabel. Namun tidak tahu bagaimana ke depan. Memang ada caleg dari beberapa partai yang mengatakan mereka akan mendukung kaum difabel. Tetapi secara signifikan apa yang mereka perjuangkan itu belum ada,” ujarnya.
Sebagai seorang penyandang disabilitas, Erlina tidak mengharapkan sesuatu yang besar. Keinginannya tidak muluk-muluk, hanya berharap teman-temannya bisa dilibatkan dalam setiap program atau kebijakan untuk membangun Aceh. Orang-orang difabel, kata dia, juga memiliki pemikiran cerdas, sehingga mereka tidak selalu harus dipinggirkan.
“Misalnya segi pembangunan. Tidak ada salahnya jika kami dilibatkan. Banyak hal yang bisa dilakukan, pemberdayaan, ekonomi, politik, banyak sekali. Tapi sampai saat ini kita belum ada mendengar yang memang konsentrasi dalam pemberdayaan disabilitas. Itu belum ada sampai detik ini,” kata dia.
Ilustrasi Difabel Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Rejeki Metuhadi, seorang penyandang tunadaksa juga berpendapat sama. Selama ini menurutnya, kepercayaan teman-temannya di Banda Aceh terhadap calon legislatif dan partai politik sudah memudar. Itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa mereka, kata Rejeki, memilih absen di pemilu.
ADVERTISEMENT
“Apa yang bisa diperjuangkan bagi kaum difabel. Karena saya melihat untuk Aceh sendiri selama ini belum ada,” katanya.
Rejeki menginginkan para caleg dari parpol manapun harus membawa isu kaum difabel. “Jangan hanya sebagai bahan kampanye saja. Setelah terpilih dia lupakan teman-teman difabel,” ujarnya.
Sementara itu, salah seorang perwakilan relawan demokrasi untuk basis penyandang difabel, Zulfah Hendra, mengatakan mereka sudah mulai memberikan sosialisasi kepada seluruh penyandang difabel di Banda Aceh. Mulai dari tunarungu, tunadaksa, tunanetra, dan tunagrahita.
Materi sosialisasi yang akan disampaikan kepada teman-teman difabel, kata Zulfah, terkait kepemiluan. “Kita menekankan bahwa mereka juga harus aktif dalam kepemiluan ini," ujar dia.
Keluhan yang kerap disampaikan para penyandang disabilitas, ujar Zulfah, berkaitan dengan mereka yang tidak tahu cara mendaftar dan sering loss di saat hari pemilihan lantaran faktor tidak bisa mendengar ketika dipanggil di TPS.
ADVERTISEMENT
“Semoga hasil dari sosialisasi ini bisa meningkatkan kepedulian mereka terhadap kepemiluan dan pentingnya proses pemilu itu sendiri,” ungkap Hendra, yang juga seorang penyandang tunadaksa.