Suhu Panas Ekstrem Melanda Kota Jacobabad, Pakistan

16 Mei 2022 19:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekeringan akibat perubahan iklim. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekeringan akibat perubahan iklim. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Saeed Ali menghabiskan hari-harinya mengarungi panas terik dalam ruangan kelas tanpa kipas angin di Pakistan. Anak berusia 12 tahun itu lalu kembali ke rumah dengan berjalan kaki di bawah sengatan matahari sepulang sekolah.
ADVERTISEMENT
Tubuhnya ternyata tidak kuat menghadapi suhu yang memuncak di salah satu kota terpanas di dunia itu. Saeed lantas pingsan di jalan pulang. Setibanya di rumah sakit, tubuh Saeed ditemukan mengalami heatstroke atau pitam panas.
"Seorang pengemudi becak harus membawa anak saya ke sini. Dia bahkan tidak bisa berjalan," tutur ibu Saeed, Shaheela Jamali, dikutip dari AFP, Senin (16/5).
Jacobabad jatuh ke dalam cengkeraman gelombang panas terbaru yang melanda Asia Selatan. Kota di Provinsi Sindh itu mencatat suhu yang memuncak hingga 51 derajat Celsius.
Akibatnya, kanal-kanal di kota yang menjadi sumber irigasi bagi pertanian telah mengering, menyisakan genangan air yang nyaris tak terlihat di sekitar sampah yang berserakan.
Para ahli mengatakan, cuaca panas itu selaras dengan proyeksi pemanasan global. Kualitas kehidupan di Jacobabad harus menderita dampaknya sebab berada di garis depan perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar dari populasi satu juta orang di Jacobabad dan desa-desa sekitarnya hidup dalam kemiskinan akut. Kekurangan air dan pemadaman listrik kian menghambat kemampuan mereka untuk mengatasi panas.
Menyaksikan keputusasaan, warga akhirnya menimbang dilema.
Ilustrasi kekeringan akibat perubahan iklim. Foto: Foto: Reuters/David Mercado
Dokter mengatakan, Saeed sedang dalam kondisi kritis. Namun, ibunya tetap menyuruh Saeed agar kembali ke sekolah pekan depan. Jamali tidak merasa memiliki opsi lain lantaran ingin terlepas dari rantai kemiskinan.
"Kami tidak ingin mereka tumbuh menjadi buruh," tegas Jamali di sisi putranya yang menangis lesu.
Heat Stroke merupakan penyakit akibat cuaca panas. Kondisi itu ditandai dengan hipertermia parah dan pembengkakan organ. Heatstroke bisa menyebabkan gejala mulai dari pusing dan mual, tidak sadarkan diri, dan bahkan kematian.
ADVERTISEMENT
Perawat bernama Bashir Ahmed mengatakan, jumlah pasien yang datang dalam kondisi serius semakin meningkat. Ahmed merawat Saeed di klinik serangan panas baru yang dijalankan oleh LSM lokal, Community Development Foundation.
"Sebelumnya, panas akan mencapai puncaknya pada bulan Juni dan Juli, tetapi sekarang akan tiba pada bulan Mei," kata Ahmed.
Buruh yang dipaksa bekerja keras di bawah terik matahari termasuk kelompok paling rentan menghadapi gelombang panas tersebut. Buruh tungku batu bata bahkan menjalankan pekerjaannya di samping tungku yang dapat mencapai hingga 1.000 derajat Celsius.
"Panas yang parah terkadang membuat kami merasa ingin muntah, tetapi jika saya tidak bisa bekerja, saya tidak dapat menghasilkan uang," ungkap buruh bernama Rasheed Rind.

Kekurangan Listrik dan Air

Ilustrasi kekeringan dimusim kemarau. Foto: Shutter Stock
Jacobabad semakin terpuruk akibat kekurangan pasokan listrik dan air. Kehidupan warganya didominasi hanya oleh upaya untuk mengatasi panas.
ADVERTISEMENT
"Seperti api yang berkobar di mana-mana. Yang paling kami butuhkan adalah listrik dan air," jelas pandai besi bernama Shafi Mohammad.
Akibat kekurangan pasokan, daerah pedesaan hanya mendapati listrik selama enam jam. Sementara itu, kota hanya memiliki listrik selama 12 jam. Akses untuk air minum pun tidak dapat diandalkan maupun dijangkau karena kelangkaan di seluruh Pakistan.
Seorang warga yang terpaksa melahirkan selama gelombang panas merasakan imbasnya. Hari-hari terakhir kehamilan Khairun Nissa dihabiskan dengan lunglai di bawah satu kipas langit-langit.
Keluarganya yang terdiri dari 13 orang berebut merasakan angin kipas itu. Putranya yang berusia dua hari sekarang mengambil tempatnya di bawah angin sepoi-sepoi yang lemah.
"Tentu saja saya khawatir tentang dia di panas ini, tapi saya tahu Tuhan akan menyediakan untuk kita," ungkap Nissa.
ADVERTISEMENT
Rumah bata tiga kamar mereka dibalut bau sampah busuk di luarnya. Keran air yang dipasang pemerintah juga terlihat di pekarangan depan, tetapi pasokannya telah mengering.
Para penduduk seperti Nissa kesusahan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, 'mafia air' lokal menikmati kesenjangan pasokan air.
Ilustrasi air. Foto: Shutter Stock
Para 'mafia' itu memanfaatkan cadangan pemerintah untuk menyalurkan air ke titik distribusi mereka sendiri. Mereka lalu mengisi kaleng-kaleng dengan air dan mengangkutnya dengan gerobak keledai untuk dijual dengan harga 20 rupee (Rp 1.514) per 20 liter.
"Bila pabrik air kami tidak ada di sini, akan ada kesulitan besar bagi masyarakat Jacobabad," ujar warga yang mengoperasikan pasokan air tanpa izin, Zafar Ullah Lashari.
Mengatasi keadaan, para perempuan di sebuah desa pertanian di pinggiran kota bangun jam 3 pagi untuk memompa air minum dari sumur selama sepanjang hari. Tetapi, jerih payah mereka tidak pernah cukup.
ADVERTISEMENT
Pasokan air bersih yang mereka dapatkan tidak bisa memenuhi keluarga dan ternak mereka. Sehingga, warga harus memprioritaskan ternak demi keberlangsungan hidup. Mereka bahkan tidak membuat kompromi ketika anak-anaknya menderita penyakit kulit dan diare.
“Kami lebih memilih ternak kami mendapatkan air minum bersih terlebih dahulu, karena mata pencaharian kami bergantung pada mereka,” tutur peternak kerbau, Abdul Sattar.
"Ini adalah pilihan yang sulit tetapi jika ternak mati, bagaimana anak-anak makan?" lanjutnya.
Indeks Risiko Iklim Global dari LSM Germanwatch menunjukkan, Pakistan adalah negara kedelapan yang paling rentan terhadap cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Banjir, kekeringan, dan angin topan dalam beberapa tahun terakhir telah menewaskan dan membuat ribuan orang mengungsi di negara itu. Mata pencaharian dan merusak infrastruktur turut luluh lantak.
ADVERTISEMENT

Medan Perang

Ilustrasi cuaca panas. Foto: Miguel MEDINA / AFP
Di sepanjang kanal kering yang menimbun sampah, ratusan anak laki-laki dan beberapa perempuan terlihat membanjiri sekolah untuk ujian akhir tahun di Jacobabad. Merasa lelah bahkan sebelum hari dimulai, mereka berkumpul di sekitar pompa tangan untuk meneguk air.
"Masalah terbesar yang kami hadapi adalah tidak memiliki fasilitas dasar–itulah mengapa kami mengalami lebih banyak kesulitan," terang kepala sekolah, Rashid Ahmed Khalhoro.
"Kami mencoba untuk menjaga semangat anak-anak tetap tinggi tetapi panas berdampak pada kesehatan mental dan fisik mereka," imbuhnya.
Sejumlah ruang kelas memiliki kipas angin, tetapi sebagian besarnya tidak. Listrik pun padam sejam memasuki sekolah dan anak-anak belajar diselimuti gelap dan panas. Para murid lantas berpindah ke koridor, sedangkan anak-anak lainnya kerap berjatuhan pingsan.
ADVERTISEMENT
"Kami tercekik oleh panas. Kami berkeringat banyak dan pakaian kami basah kuyup," ungkap siswa berusia 14 tahun, Ali Raza.
Dia mengatakan, mereka kerap menderita sakit kepala dan sering diare. Kendati demikian, para murid menolak untuk melewatkan pelajaran. Khalhoro mengatakan, murid-muridnya bertekad untuk keluar dari kemiskinan dan mencari pekerjaan di tempat yang terlepas dari panas.
"Mereka dipersiapkan seolah-olah mereka berada di medan perang, dengan motivasi bahwa mereka harus mencapai sesuatu," ujar Khalhoro.