Suka Duka Perias Jenazah: 'Ma Jangan Hanya Cari Surga, Dunia Juga'

9 Januari 2017 9:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ciuny Susiliawati Mustalim. (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
"Ma, jangan hanya mencari yang di surga, dunia juga dong". Begitu kata anak perempuan Ciuny Susiliawati Mustalim atau yang akrab disapa Yuni, seorang perias jenazah.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang, putrinya mengungkapkan rasa malu akan pekerjaan sang ibu yang tak lagi serumah dengannya. Bukan pekerjaan biasa namun bukan pekerjaan haram pula. Bagi wanita 63 tahun ini, menjadi perias jenazah bukanlah suatu pekerjaan, namun panggilan hidup. 
"Biarlah orang berkata apa. Tuhan sudah mengirim saya untuk melakukan ini, maka saya lakukan dengan ikhlas," ujarnya tegas saat ditemui di Rumah Duka Filemon, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, pekan lalu.
Alat yang digunakan untuk merias jenazah. (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
Ia mengaku tak pernah bermimpi menjadi perias jenazah. Hingga lima tahun lalu ia mengikuti pelatihan pengurusan yang diadakan Gereja Kristus Cibinong. Beberapa minggu setelah pelatihan, Filemon yang menjadi tempat pelatihan memanggilnya dan menawari pekerjaan. Menjadi perias jenazah butuh keahlian khusus, memakaikan bedak, minyak, serta alat kosmetik lainnya.
ADVERTISEMENT
Keikhlasan menjadi kunci utama bekerja di rumah duka, begitu ia berkali-kali mengingatkan rekan kerjanya. Yuni membuktikannya sendiri. Ia tidak pernah mematok bayaran dari siapapun yang menggunakan jasanya.
"Rasanya tidak baik meminta bayaran dari orang yang tengah berduka. Bapak (Filemon, pemilik Rumah Duka Filemon) sendiri juga tidak memaksakan harga. Bahkan terkadang, semua jasa kami gratis," ungkapnya sambil menunjukkan plang di depan Rumah Duka Filemon. Memang, di plang tersebut tertulis 'tersedia peti mati dan kain kafan bagi yang tidak mampu'.
Peti jenazah di Rumah Duka Filemon, Cibinong. (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
Bukan hanya mereka yang tidak mampu, Yuni juga selalu siap sedia memberikan yang terbaik bagi mereka yang meninggal dalam keadaan sebatang kara. Bahkan terkadang, jenazah yang diabaikan oleh keluarganya pun akan ia urus dengan baik dan ikhlas.
ADVERTISEMENT
Pernah suatu hari ada jenazah yang ditinggalkan keluarganya. Dengan sabar Yuni mengurus prosesi pengurusan jenazah itu seorang diri. Bahkan, ia tidak segan untuk meluangkan waktu dan uang pribadi mengantarkan abu ke pelarungan.
"Waktu saya sebar bunganya di laut, bunganya berkumpul kembali. Cantik sekali, seperti taman bunga. Saya berkata, 'ah, pasti orang ini sudah ikhlas dan tenang karena kematiannya diurus dengan baik'," kata Yuni menceritakan pengalamannya ketika melarung abu jenazah yang diabaikan keluarganya di Marina, Ancol.
Ia mengaku tidak pernah mendapatkan pengalaman aneh-aneh selama bekerja. Bahkan, serusak apapun kondisi mayat, tidak pernah ada yang terbawa mimpi olehnya. 
Yuni bekerja di Rumah Duka Filemon, Cibinong. (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
"Mungkin karena saya ikhlas. Toh, tujuan saya bukan mencari uang. Tapi syukur, saya tidak pernah kekurangan walaupun saya tidak pernah meminta uang pada anak dan mantan suami saya," ungkapnya yang sudah berpisah dari suami lebih dari 20 tahun yang lalu. 
ADVERTISEMENT
Walaupun seluruh anaknya sudah dewasa, Yuni menolak bergantung pada mereka. Ia lebih memilih menjalani profesi perias jenazah sukarela daripada harus hidup dengan uang pemberian anaknya secara cuma-cuma.
"Biarlah. Yang orang tua inginkan hanya yang penting kebutuhan anak cucu tercukupi dengan baik. Toh, saya punya Tuhan yang menjadi tempat saya bergantung. Saya sudah tua, yang penting bisa hidup cukup, sisanya saya memilih menabung untuk surga," ujarnya sambil tersenyum, menantikan waktu pertemuan dengan sang anak bungsu yang sudah pergi terlebih dahulu. Kapanpun itu, Yuni berharap tabungannya dari jenazah-jenazah yang ia urus cukup untuk bekalnya di hari nanti.