Sultan Respons Pungli di Sekolah DIY: Jual Seragam Tak Boleh, Ortu Ikut Kontrol

12 November 2021 14:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X pertimbangkan DIY Lockdown usai Kasus Corona Terus Melonjak. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X pertimbangkan DIY Lockdown usai Kasus Corona Terus Melonjak. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) mengungkapkan praktik pungli, penahanan ijazah, hingga penjualan seragam oleh sekolah di DIY masih terjadi.
ADVERTISEMENT
Menyikapi laporan tersebut, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sultan HB X) menegaskan penjualan seragam dan lain sebagainya di sekolah sudah tidak diperbolehkan.
"Kita kan sudah yang penting bagaimana cara mengontrolnya, dalam arti tidak hanya guru tapi juga orang tua. Karena jual seragam dan sebagainya tidak boleh," kata Sultan di Kepatihan Pemda DIY, Jumat (12/11).
Sementara itu, Kepala Disdikpora DIY Didik Wardaya mengatakan, pihaknya telah mengevaluasi informasi terjadi praktiknya pungli di sekolah. Didik menegaskan pungli tidak boleh dilakukan di sekolah.
"Pungli misalnya ambil rapor harus membayar itu namanya pungli," ujar Didik saat dihubungi.
Namun, Didik menyebut sekolah masih boleh menerima sumbangan, dan sifatnya tidak boleh memaksa atau ditentukan nominal dan waktunya.
Pelajar kelas VIII Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengikuti pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) 2021 di SMP N 11 Yogyakarta. Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
"Namanya sumbangan ketentuannya di dalam Perda Nomor 10 Tahun 2013 itu kan sudah ada pembedaan antara pungutan, sumbangan dan iuran dan bantuan. Itu kan beda-beda," jelas Didik.
ADVERTISEMENT
"Namanya sumbangan kan tidak boleh ditentukan besarnya maupun waktu kapan harus ini (dibayar). Tapi kadang kala yang terjadi di sekolah mereka membuat rancangan RKS (Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah) kemudian mereka rata-rata di rapat biar gampangnya dibuatkan sekian kadang kala terjebak di situ. Sumbangan menjadi aroma pungutan," imbuh dia.
Lebih lanjut, Didik mengungkapkan sumbangan yang diberikan harus bersifat sukarela. Ketika ada wali murid yang tidak menyumbang maka, tidak boleh dipaksa atau menerima perundungan.
"Tidak boleh dioyak-oyak (kejar-kejar) yang tidak mampu tidak boleh dimintai sumbangan," tegasnya.

Laporan Pungli di Sekolah

Sebelumnya, Koordinator AMPPY Yuliani menyampaikan sengkarut dunia pendidikan di Yogyakarta sudah terjadi dari 2007 dan belum juga berakhir.
"Ada tiga hal yang kami soroti pungutan liar, penahanan ijazah, dan penjualan seragam sekolah," kata Yuliani di Kantor LBH Yogyakarta, Selasa (9/11).
ADVERTISEMENT
Di masa pandemi COVID-19 ini, ia menyebut pungli di sekolah tidak berakhir. Pungli sebenarnya sudah dilarang, akan tetapi sekolah menyiasati dengan dalih sumbangan. Namun, pada praktiknya sumbangan juga telah ditentukan jumlah dan waktunya.
"Sumbangan boleh, tapi jangan dikaitkan dengan akademisnya. Yang ada sekarang ini sumbangan rasa pungutan, besaran sudah ditentukan," ungkap Yuliani.
Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) ungkap praktik pungli dan penahanan ijazah di sekolah di DIY. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Banyak kejadian ketika sumbangan tidak dibayarkan oleh wali murid maka ijazah akan ditahan. Hal itu membuat anak yang sudah lulus tidak bisa melanjutkan sekolah maupun bekerja.
Tak jarang pula wali murid dan siswa mengalami perundungan karena belum membayar uang sumbangan itu. Misalnya saja wali murid akan terus ditagih melalui koordinator kelas (Korlas).
"Pungutan antara Rp 2 juta sampai Rp 5 juta. SD, SMP masih di bawah sejuta," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Alasan dari sekolah, pungutan dengan kedok sumbangan itu untuk peningkatan mutu. Menurut Yuliani, hal itu tidaklah logis karena tidak ada ukuran yang jelas. Selain itu, banyak sekolah tidak melaporkan rinci hasil dari sumbangan tersebut.
Yuliani mengatakan, pihaknya sudah menggandeng Saber Pungli Pusat pada 2020 dan bisa menarik ribuan ijazah yang tertahan di sekolah. Akan tetapi, di tahun ini praktik serupa masih terjadi, misal saja ada 1.139 ijazah SMA/SMK se-Kota Yogya yang masih tertahan.
Soal seragam, pihaknya juga menemukan adanya penjualan seragam dengan kerja sama dengan salah satu wali murid. Paket seragam ini dijual mencapai Rp 1,4 juta. Kemudian juga diwajibkan menjahit di tempat yang ditunjuk dengan biaya mencapai Rp 900 ribu.
ADVERTISEMENT
"Kita somasikan ke gubernur karena takut gubernur belum tahu. Harapannya ini bisa tuntas," pungkasnya.