Tantangan Nelayan Raja Ampat: Penjualan Ikan Turun karena COVID-19, BBM Mahal

27 Maret 2022 0:58 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nelayan dan suasana di Kampung Mutus, Raja Ampat. Foto: Nadia Riso/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Nelayan dan suasana di Kampung Mutus, Raja Ampat. Foto: Nadia Riso/kumparan
ADVERTISEMENT
Pengerusakan laut akibat cara memancing yang tidak baik dengan menggunakan bom hingga pottasium kini menjadi perhatian pemerintah. Kementerian PPN/Bappenas melalui Indonesia Climate Change Fund Trust (ICCFT) mengedukasi masyarakat di Kampung Mutus, Raja Ampat, untuk menggunakan alat pancing yang lebih ramah lingkungan, merehabilitasi terumbu karang hingga mengembangkan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Anggota Kelompok Mujur di Kampung Mutus, Yoram Sauyai, mengungkapkan para nelayan bersyukur dengan program yang diberikan ICCTF. Ia mengaku para nelayan kini sudah menyadari bahayanya bom ikan hingga pottasium, dan gencar menggunakan alat pancing yang lebih ramah lingkungan.
Ia mengungkapkan, metode menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan hingga pottasium sudah terjadi sejak zaman orang tuanya. Namun begitu ICCTF masuk secara bertahap di Kampung Mutus, perlahan-lahan para nelayan memahami buruknya penggunaan bom ikan hingga pottasium bagi ekosistem laut, terutama terumbu karang.
"Setelah 2007-2008, kami ada perubahan. Kami mengenal apa yang disebut karang rusak, apa yang disebut sebagai pengeboman, pottasium. Kami sedikit demi sedikit masa-masa yang kami hidup selaku perusak karang ada perubahan. Kami sudah dibekali dari tim COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) 1 dan 2. Sampai di COREMAP 2 membentuk kelompok kerja. Mereka juga bentuk lembaga yang saat itu LPTKS," kata Yoram, Sabtu (26/3).
ADVERTISEMENT
Setelah program COREMAP 1 dan 2 selesai, masyarakat di Kampung Mutus mayoritas tetap menjadi nelayan dan tidak lagi menggunakan metode tangkap yang berbahaya. Meski demikian, pandemi COVID-19 membuat para nelayan kesulitan menjual hasil lautnya.
Yoram mengungkapkan, pihaknya biasa menjual ikan hidup dan ikan beku ke pengumpul yang berasal dari Hong Kong dan Makassar dengan harga yang cukup tinggi. Namun setelah ada pandemi, penghasilan mereka menurun karena pengumpul semakin jarang datang.
"Setiap pengumpul itu harganya masing-masing per kilo. Kalau saya tidak salah di Pak Ahong (pengumpul dari Hong Kong) yang supernya Rp 280.000 per kilo. [Yang dijual] ikan tongseng, Kerapu Tongseng. Itu yang hidup. Kalau ekoran Rp 305.000. Jadi satu ekor. Jadi itu sudah lebih daripada sekilo. Jadi hitung ekoran. Kalau yang beku, ikan beku yang mati itu harganya tidak menetap. Karena dengan adanya COVID, dia sekarang sudah turun sampai Rp 80.000 per kilo," ungkapnya.
Nelayan dan suasana di Kampung Mutus, Raja Ampat. Foto: Nadia Riso/kumparan
Yoram mengatakan, jenis ikan yang biasa diambil oleh pengumpul di antaranya Kerapu Tongseng, Kerapu Famingseng, dan Kerapu Taiseng. Jika sebelum pandemi, pengumpul dari Hong Kong biasanya datang sebulan sekali dan bisa mengambil ikan hasil tangkapan ribuan kilogram sampai ton.
ADVERTISEMENT
Tapi dengan kondisi pandemi ini, sudah 3 bulan para pengumpul tidak datang mengambil ikan. Agar ekonomi masyarakat tetap berjalan, para nelayan akhirnya menyiasati dengan menjual ikan ke pengumpul liar.
"Kalo [ikan] yang hidup, kalau ikan yang hidup sementara masih ada di keramba. Tapi kalau yang sementara yang mati itu pengumpul liar. Kita jual ke pengumpul liar. Jadi walaupun pengumpul liar ini biar di kampung tetangga kita tetap bisa ke sana. Karena mau ke mana? Kita tidak ada pengumpul di sini," tuturnya.
Di kesempatan terpisah, Kepala Adat Kampung Mutus, Markus Dimara, mengungkapkan selain kendala pandemi COVID-19, kendala lainnya yang ditemui para nelayan adalah terbatasnya alat pembuat es untuk pembekuan ikan mati. Markus mengatakan meski desanya memiliki alat pembuat es, tapi tidak cukup untuk menjawab kebutuhan satu kampung, sehingga para nelayan harus memutar otak.
ADVERTISEMENT
"[Kebutuhan es] dari Pak Haji, yang [pengumpul dari] Makassar itu. Jadi sistemnya keluar pagi ambil esnya di dia, di pembeli. Biasanya cuma kasih untuk pengawetan ikan di laut. Tidak bayar," kata Markus.
Hal lain yang menjadi masalah adalah terbatasnya akses listrik di Kampung Mutus. Warga di Kampung Mutus menggunakan listrik dari panel surya untuk menerangi rumah dan kebutuhan lainnya. Meski demikian, durasi listrik dari panel surya terbatas sehingga alat pembuat es tidak bisa bekerja maksimal.
Untuk mengatasi masalah itu, cold storage yang pernah diberikan melalui program COREMAP ICCTF bersama mitranya dialihfungsikan menjadi alat pembuat es. Namun, itu saja masih belum bisa mengatasi masalah yang ditemukan para nelayan, sehingga satu-satunya jalan adalah mengandalkan es yang biasa diberikan pengumpul.
ADVERTISEMENT
Namun karena pandemi COVID-19, pengumpul dari Makassar juga tidak pernah datang lagi. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan es, Markus dan para nelayan harus pergi ke desa lain untuk membeli es seharga Rp 5.000 untuk dua buah.
"Kalau masyarakat menampung ikan buat ke Waisai dia butuhnya harus satu boks yang panjang. Dia [butuh] sekitar 50 buah," ungkapnya.
Perahu nelayan dan keramba di Kampung Mutus, Raja Ampat. Foto: Nadia Riso/kumparan
Meski kebutuhan es untuk ikan banyak, namun para nelayan hanya bisa membeli sekitar 5 buah es dan itu hanya bisa bertahan selama satu hari. Sehingga para nelayan harus bolak balik setiap hari ke desa tetangga untuk membeli es.
"Jadi setiap nelayan keluar dari sini dia harus ke Bianca [desa tetangga] untuk beli es baru keluar [menangkap ikan]. [Kondisi ini] sudah [berjalan] satu bulan lebih. Sementara orang Makassar [pengumpul] sudah macet dalam berusaha maka kami juga macet," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini semakin diperparah dengan mahalnya BBM di Raja Ampat. BBM dipakai untuk bahan bakar kapal dan biasanya nelayan membutuhkan 20-30 liter. Sementara harga BBM di Raja Ampat mencapai Rp 14.000 per liter.
"Satu hari kita 20 liter, satu tangki. Jadi 20-30 liter itu untuk satu hari," ungkapnya lagi.
Namun, penjualan ikan yang semakin menurun membuat para nelayan kewalahan. Bahkan hasil ikan yang bisa mereka jual tidak bisa menutup biaya bensin yang mereka gunakan.
Perahu nelayan dan keramba di Kampung Mutus, Raja Ampat. Foto: Nadia Riso/kumparan
"Tidak [menutup] biaya bensin. Sedangkan 5 liter saja satu hari tidak bisa nutup. Kan, memang ikan campuran, kan, harga paling bawah," tuturnya.
Terpisah, Niko Mambrasar dari Transformasi Ekonomi Terpadu (TEKAD) Kemenkes membenarkan tantangan yang dijumpai para nelayan di Kampung Mutus. Tutupnya pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan ke Hong Kong karena COVID-19 membuat mereka harus beralih dari tangkapan utama ke ikan campur.
ADVERTISEMENT
"Sedangkan ikan campuran harganya Rp 10.000-an lah, Rp 10.000 per kilo. Sedangkan harga BBM Rp 14.000. Sedangkan nelayan ketika mau keluar ini, kan, beda motor yang jalan di daratan dengan yang jalan di laut. Otomatis masyarakat ketika satu keluar biasaa 20, 25 sampai 30 liter. 14 dikalikan 20 [menjadi] 280. Ya, masyarakat yang harus modal jadi melaut, sedangkan harganya Rp 4.000 lebih rendah dibandingkan harga ikan," ungkap Niko.
Dengan kondisi ini, para nelayan lebih banyak rugi daripada untung. Ditambah lagi para nelayan tidak memiliki opsi lain untuk memasarkan hasil tangkapannya. Kalaupun ada pengepul yang ingin mengambil ikan campuran, harganya tidak akan lebih tinggi dari Rp 10.000 atau Rp 11.000.
"Masalahnya di kelompok sini, kan, cuma ada yang [dengan harga] Rp 10.000. Mau tidak mau terima yang ada. Ya, Rp 10.000 itu juga jarang-jarang. Sekarang kita, kan, bilang oke harga BBM Rp 14.000, harga ikan Rp 10.000. Kita bukan hanya bicara masalah uangnya. Ini kita bicara ketika di laut hujan, angin, kena panas, selain itu namanya nelayan tidak selamanya muda terus, tidak selamanya sehat terus, tidak selamanya kuat terus. Pasti ada satu waktu tidak kuat. Dan ketika keluar, kan, otomatis ada keluarga yang ditinggalkan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Ini, kan, pada dasarnya berjudi juga di laut, bisa dapat atau tidak, bisa menutupi harga BBM atau tidak. Makanya akhirnya berutang," pungkasnya.