Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Bunuh diri atau dibunuh?
2 Maret 2009, seorang mahasiswa Indonesia jurusan Electrical & Electronic Engineering Nanyang Technological University (NTU) Singapura, David Hartanto Widjaja, dikabarkan loncat dari lantai 4 gedung kuliahnya.
ADVERTISEMENT
Polisi Singapura menyebut David bunuh diri. Pemenang Olimpiade Matematika 2005 itu diduga depresi karena skripsinya ditolak dan beasiswanya dicabut. Padahal ia seharusnya lulus tiga bulan lagi—Juli 2009.
David juga disebut menyerang dosen pembimbingnya, Chan Kap Luk, sebelum bunuh diri.
Benarkah?
Orang tua David merasa ada kejanggalan dalam kasus kematian anak mereka. Salah satunya karena David tak pernah mengeluh kesulitan dalam menyelesaikan tugas akhirnya.
Mereka yakin David tak bunuh diri, melainkan dibunuh.
Orang tua David berupaya mencari tahu kebenaran di balik kematian putra mereka. Reka autopsi dilakukan dibantu oleh ahli forensik DNA Universitas Indonesia, dr. Djaja Surya Atmadja.
Oleh karena jasad David sudah dikremasi, maka analisa forensik dilakukan dr. Djaja menggunakan manekin agar keluarga David dapat mengetahui penyebab kematian David.
ADVERTISEMENT
Hasil reka autopsi menghadirkan fakta baru yang mengejutkan dan semakin membuat orang tua David yakin bahwa anak mereka tak bunuh diri. Publik Singapura pun ikut meragukan hasil penyelidikan polisi.
Simak selengkapnya pada video berikut.
Kepada kumparan, dr. Djaja Surya Atmadja yang malang melintang di dunia forensik selama 39 tahun itu menceritakan ulang reka autopsi terhadap David.
Meski 10 tahun telah berlalu sejak kejadian itu, ia tetap yakin: David dibunuh.
Berikut kisah dr. Djaja:
Waktu itu datang seorang wartawan. Ia bertanya, “Dokter bisa enggak membaca hasil autopsi dari Singapura?”
Saya jawab, “Bisa, kenapa?”
Dia bilang ada satu mahasiswa Indonesia yang sekolah di Nanyang katanya bunuh diri. Lalu dia menyodorkan berkas, “Dok, boleh tolong lihat?”
ADVERTISEMENT
Saya tanya, “Kamu dapat dari mana?”
Hasil autopsi itu kan keluarga yang punya. Dia bilang, “Dari keluarga. Keluarga nanya, wajar apa enggak ini?”
Waktu saya baca (hasil autopsinya), kesimpulannya (kematian) karena jatuh. Katanya David bunuh diri, lompat dari lantai empat.
Nah, saya baca lagi (berkas autopsi), kok aneh. Kalau menurut saya, enggak cocok dengan luka-lukanya. Lukanya kayak ada penganiayaan. Bukan karena jatuh, tapi (benda) tajam.
Terus wartawan itu kaget. Dia bilang, “Dokter bisa nggak jadi saksi di pengadilan Singapura?”
Saya bilang bisa saja, tapi saya harus menerangkan detail dulu ke keluarga bahwa lukanya (David) itu ada banyak. Saat itu saya punya ide untuk menggambarkan luka-luka tersebut di manekin supaya keluarga bisa mendapat gambaran lebih jelas.
Saya dan dokter lain lalu menggambarkan luka-lukanya (di manekin). (Itu bisa dilakukan) karena otoritas Singapura bagus dan detail sekali mendeskripsikan luka-lukanya.
ADVERTISEMENT
Luka-luka karena jatuh memang ada—ada lecet di mana-mana, dan itu normal terjadi pada orang jatuh. Cuma saya temukan beberapa luka yang aneh menurut saya.
Pertama, luka di bahu belakang adalah luka karena benda tajam seperti pisau. Kalau pisau, enggak mungkin dia melukai diri sendiri karena bahu belakang bukan bagian tubuh untuk bunuh diri.
Kedua, luka di tangan sebelah kanan itu tajam dan miring. Padahal luka bunuh diri itu lurus, bukan miring.
Dan kalau mau bunuh diri, orang pasti mencoba mengiris (nadi) dengan beberapa irisan tipis-tipis, baru kemudian mengiris satu dengan dalam. Jadi enggak cocok dengan luka-luka David.
Ketiga, di lengan sebelah kanan ada luka-luka tangkis. Kalau orang diserang kan dia menangkis. Di situ (lengan) semua lukanya tajam. Berarti David diserang pakai senjata tajam.
Keempat, di paha sebelah kiri ada tulang patah. Kalau orang jatuh, patahnya begini (dr. Djaja menunjukkan posisi tulang yang patah lurus). Tapi ini patah seperti spiral.
ADVERTISEMENT
Tulang patah seperti itu cuma bisa terjadi kalau orang dipelintir. Dan kalau dia sampai bisa dipelintir, artinya ada yang megangin. Pelakunya lebih dari satu orang.
Kelima, yang lebih mengherankan adalah waktu saya lihat foto TKP dari keluarga. Di foto itu gedungnya empat tingkat yang turun ke bawah cukup jauh. Dan di situ (lokasi jatuhnya David) tak ada benda tajam.
Keenam, di sana (lantai empat) ada pagar pembatas setinggi 1,5 meter. Artinya dia harus naik ke atas pagar, baru terjun dan jatuh. Padahal kakinya kan patah (tulang patah dipelintir di paha kiri), jadi enggak mungkin dia naik pagar.
Selain itu, ketujuh, posisi jatuhnya jatuh dari tempat dia terjun. Jauh ke arah depan. Jadi seperti dilempar. Dari lantai empat, berarti sekitar delapan meter lebih.
(Berkas autopsi) menunjukkan organ dalamnya memang luka-luka seperti kalau orang jatuh, tapi luka-luka luarnya itu luka penganiayaan dengan senjata tajam.
ADVERTISEMENT
Makanya bagi saya kesimpulannya enggak cocok. Jatuh iya, tapi bunuh diri enggak. Pasti diserang.
Sidang (di Singapura) ujung-ujungnya hasilnya bunuh diri. Itu soal politis menurut saya. Karena di Nanyang hampir 80 persen siswanya orang Indonesia.
Paling tidak pernyataan saya (bahwa David bukan bunuh diri) sempat masuk koran di sana. Waktu itu saya sempat ditanya, “Kenapa dokter forensik di Singapura berbohong?”
Saya bilang, “Itu tidak bohong, saya kenal kok dokternya. Dokter forensik itu menulis secara tepat dan benar apa yang ia temukan. Makanya saya bisa menafsirkan. Tapi sebagai warga Singapura, dia mesti bela negaranya. Jadi dia ambil kesimpulan yang mungkin tak sesuai, tapi membuka peluang bagi dokter forensik lain untuk menilai.” Poinnya itu.
ADVERTISEMENT
Ilmu forensik itu universal. Artinya kalau saya menjelaskan A, setiap dokter forensik mana pun akan mendapatkan fakta dan kesimpulan yang sama.
Saya waktu itu datang ke Singapura untuk bersaksi, tapi banyak hambatan. Pengadilannya berbeda dengan Indonesia. Jadi ujung-ujungnya berkas tertulis saya cuma dibawa ke pengadilan, tapi saya tak bisa bersaksi.
Saat itu orang pengacara keluarga David, OC Kaligis, juga tak bisa bersaksi, padahal dia punya lisensi internasional. Aturan di sana yang beracara harus orang Singapura.
Karena saya nggak dikasih izin bersaksi di pengadilan, akhirnya saya bikijn press release tertulis bersama tim pengacara Indonesia. Itulah yang masuk satu koran Singapura.
Nyatanya kasus (David) itu memang janggal. Keluarga juga tidak diberi kesempatan untuk melihat secara detail. Mereka cuma foto-foto TKP, tapi nggak dapat (gambar) luka-lukanya secara detail.
ADVERTISEMENT
Beberapa jam melihat, kemudian jasad dimandikan, dikremasi, selesai. Jadi keluarga tidak punya data apa-apa.
Mereka kecewa, dan kasusnya hilang begitu saja.