Tekanan Psikologis saat Wabah Rentan Menyulut Konflik Keluarga

28 April 2020 14:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Anjuran di masa pandemi corona COVID-19 itu terdengar mudah. Nyatanya kemudahan itu hanya berlaku untuk sebagian orang saja. Bagi sebagian yang lain, berdiam di rumah bisa meningkatkan risiko Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Misalnya saja data LBH Apik mencatat sejak 19 April hingga 25 April 2020 ada 33 pengaduan kasus KDRT. Angka tersebut mungkin belum semua dan belum selesai. Sebab sulitnya akses dan kesempatan para korban untuk melapor di masa pembatasan sosial ini.
Entah karena ekonomi keluarga yang morat-marit, rasa cemas dan kekhawatiran di masa depan, ataupun tekanan secara psikologis bisa jadi pelatuk konflik yang semakin intens. “Kondisi pandemi ini membawa tekanan bagi semua orang terutama pada keluarga yang memang memiliki kondisi yang toksik dan rentan konflik,” ucap salah satu psikolog Yayasan Pulih, Gisella Tani Pratiwi.
Bagaimana langkah-langkah yang mesti diambil oleh korban untuk menghadapi risiko KDRT? Seperti apa dampak kekerasan terhadap anak dan keluarga? Bagaimana peran serta masyarakat untuk membantu mengantisipasinya?
Berikut kutipan perbincangan kumparan dan Gisella yang dihubungi pada Sabtu (25/4).
Di tengah kondisi COVID-19 ini, seperti apa tingkat kerentanan kasus KDRT?
Untuk data kasus KDRT sejauh ini belum ada data yang terpusat sejauh yang saya pelajari. Sehingga masih terlalu dini menyimpulkan apakah ada peningkatan. Namun ada beberapa data yang bisa dicatat misalnya dari LBH Apik yang telah menerima 97 kasus pengaduan hingga 19 April kemarin.
Jumlah yang paling besar dilaporkan adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 33 kasus, menyusul adalah Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) 30 kasus, pelecehan seksual 8 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) 7 kasus, Pidana Umum 6 kasus, Perkosaan 3 kasus, kasus di luar Kekerasan berbasis Gender 3 kasus, Perdata keluarga 2 kasus, Pinjol 2 kasus, waris, pemaksaan orientasi seksual serta kasus permohonan informasi layanan masing-masing 1 kasus.⁣
Dari Yayasan Pulih sendiri hingga 13 April terdapat 16 kasus pengaduan kekerasan berbasis gender seperti KDRT. Ada 14 kasus di antaranya pelaku kekerasan dalam keluarga/pasangan. Pada konseling email ditemukan juga klien yang merasakan tambah stress karena tinggal dengan keluarga yang toksik selama isolasi. Selain dua sumber data tersebut, dari sharing dengan beberapa rekan psikolog memang menerima kasus-kasus konflik rumah tangga atau yang sudah tergolong KDRT.
Dari data-data serta analisa, memang kondisi pandemi ini membawa tekanan bagi semua orang terutama pada keluarga yang memang memiliki kondisi toksik dan rentan konflik atau bahkan sudah berkekerasan. Kondisi yang biasanya sudah menekan secara psikologis, ditambah dengan rasa cemas, khawatir, dan krisis pada masa ini.
Kemungkinan konflik antara anggota juga semakin meningkat karena sering bertemu dan bersinggungan di rumah. Kondisi hubungan yang memang kurang harmonis berkembang menjadi konflik yang lebih intens.
Apakah ada cara untuk membangun komunikasi antara korban dan pelaku di masa pandemi ini?
Kemungkinan membangun komunikasi selalu ada sebenarnya. Namun memang perlu dipahami kondisi konflik dan kekerasan pada masing-masing keluarga sangat berbeda-beda sehingga satu cara komunikasi tidak bisa disamakan untuk keluarga atau pasangan lain.
Perlu ada itikad baik dari kedua pihak untuk berusaha memiliki komunikasi yang lebih optimal. Meski dalam banyak kondisi KDRT, hal ini amat sulit dilakukan karena kompleksitas konflik yang sudah terbangun.
Apakah ada tips-tips bagi korban untuk menghindari/mencegah terjadinya kekerasan?
- Jika kondisi darurat dan mengancam diri (baik psikologis maupun fisik) sebaiknya segera pindah ke tempat yang lebih aman.
- Kumpulkan informasi saluran saluran layanan bantuan bagi KDRT mulai dari kenalan pribadi (keluarga, kerabat, sahabat) sampai lembaga layanan formil (kepolisian, lembaga layanan terpadu, LSM, LBH dll)
- Kenali pola konflik pasangan sehingga bisa merancang strategi untuk mengurangi kemungkinan munculnya aksi kekerasan
- Tetap menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang dirasa aman dan minimal bisa berbagi cerita
Adakah dampak psikologis terhadap keluarga yang melihat anggota keluarganya menjadi korban kekerasan? Dan kenapa mereka cenderung tidak mau lapor ?
Tentu ada dampak dari saksi KDRT, terutama jika setiap hari menyaksikan. Dampaknya kemungkinan besar mirip dengan ketika sso menjadi korban. Karena ada dampak psikologis trauma sekunder yaitu ketika sso menyaksikan (mendengar, membaca, melihat) kejadian traumatis (dalam hal ini KDRT) yang dialami orang lain.
Apalagi dalam konteks KDRT pelaku adalah anggota keluarga yang memiliki hubungan emosional khusus maka semakin konfliktual posisi saksi dalam KDRT ini. Dan menambah dilema baginya untuk melapor. Karena mungkin merasa ini aib keluarga, perlu melindungi dirinya, serta bingung karena mungkin pelaku KDRT adalah figur penting dalam keluarga. Baik penting sebagai sosok yang menjalankan peran sebagai pengasuh, orang tua atau pencari nafkah dan lain-lain.
Bagaimana meminimalisir dampak KDRT terhadap anak?
Hal pertama yang harus dilakukan adalah lindungi anak terlebih dahulu dari pelaku.
Usahakan anak memiliki relasi yg aman dan penuh rasa percaya dengan anggota keluarga lain.
Usahakan anak memiliki media atau cara mengekspresikan perasaan dan pemikirannya.
Berikan saluran bantuan kepada anak sehingga ia tau kemana/ke siapa ia dapat meraih bantuan ketika membutuhkan.
Kembangkan juga hobi atau kegiatan yang disukai anak sebagai salah satu cara meregulasi dirinya.
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Foto: Shutterstock
Sebenarnya apa pengaruh paling signifikan dari anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami KDRT? Dan apa dampak kekerasan pada anak yang dirasakan saat dewasa kelak?
Dampak KDRT pada anak jelas akan mempengaruhi berbagai hal mulai dari aspek sosial emosional, pola pikir dan perilaku bahkan kondisi kesehatan fisiknya. Anak yang tumbuh dengan relasi kelekatan emosional yang tidak aman dan tidak sehat. Bisa membuat anak mudah merasa tidak berharga, merasa takut dan curiga, tidak aman, cemas, sulit berkonsentrasi, sulit percaya dengan orang lain dsb. Bisa saja dampak ini menjadi trauma yang berkepanjangan sampai berusia dewasa.
Lantas bagaimana peran serta masyarakat/kerabat/tetangga untuk membantu mencegah KDRT di masa pandemi ini?
Penting peranan kerabat sekitar keluarga dalam membantu korban KDRT karena sering kali korban tidak berdaya serta masih dalam siklus KDRT yang toksik. Maka sebaiknya masyarakat lebih menyadari indikasi KDRT yang terjadi di sekitar misal jika ada sso yang tampak sering mendapatkan luka di bagian tubuh yang sama, tampak ketakutan pada pasangannya, pasangannya tampak dominan atau posesif, anak-anak kurang terurus atau memiliki masalah perilaku dan sebagainya.
Jika ada indikasi tersebut bisa mencoba mendekati dan menjaga relasi yang aman atau penuh rasa percaya dengan pihak korban yang dilemahkan dalam keluarga tersebut. Pastikan mereka memiliki akses keselamatan dan berikan informasi yang kita miliki untuk membantu mereka selamat baik secara psikologis dan fisik.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.