Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Teknologi HPAL Harita Nickel Mendorong RI Selangkah Lagi Produksi Baterai EV
31 Mei 2024 13:51 WIB
·
waktu baca 6 menitProduksi nikel sulfat dan kobalt sulfat tadinya hanya angan-angan bagi Indonesia. Kini, bahan baku baterai electric vehicle (EV), termasuk mobil listrik tersebut, berhasil diproduksi di negeri sendiri dengan teknologi high pressure acid leaching atau HPAL.
Ialah PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Nickel ), perusahaan pertambangan dan pemrosesan nikel terintegrasi berkelanjutan di Pulau Obi, Maluku Utara, yang sukses menerapkan HPAL pertama kali di Indonesia, untuk memproduksi bahan baku baterai mobil listrik.
Indonesia mulai menggunakan teknologi HPAL untuk memproduksi nikel sulfat dan kobalt sulfat sejak 2023.
Lewat teknologi ini, Indonesia mampu meningkatkan nilai tambah (added value) bijih nikel berkadar rendah, yakni limonit yang awalnya tak dapat dimanfaatkan (overburden) kini dapat diolah menjadi produk turunan nikel yang bernilai ekonomis.
Lantas, bagaimana teknologi HPAL diterapkan di Indonesia?
Pionir Produsen Bahan Baku Mobil Listrik di Indonesia
Teknologi HPAL telah dipakai di banyak negara, seperti China, Filipina, dan Kuba. Namun, ada juga yang gagal menerapkan teknologi hidrometalurgi yang cukup rumit ini.
Sementara di Indonesia, beberapa pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel mencoba menerapkan teknologi HPAL sejak beberapa tahun lalu, tetapi belum berhasil sampai saat ini. Nah, Harita Nickel menjadi perusahaan pemrosesan nikel yang berhasil menerapkan HPAL pertama kali di Indonesia.
Dengan keberhasilan Harita Nickel menerapkan teknologi HPAL, untuk pertama kalinya bahan baku baterai mobil listrik berhasil diproduksi di Indonesia oleh pabrik pengolahan nikel, PT Halmahera Persada Lygend (HPL) sebagai bagian dari Harita Nickel, pada 2021. Saat itu, baru berupa mixed hydroxide precipitate (MHP).
Namun, tak berhenti di MHP, Pabrik HPAL Harita Nickel juga memproduksi turunan MHP untuk bahan baku baterai mobil listrik sejak 2023, yakni nikel sulfat dan kobalt sulfat. Nikel sulfat bakal jadi bahan prekursor katoda baterai litium, sementara kobalt sulfat jadi material katoda baterai litium.
Deputy Department Head of Nickel Sulphate and Acid Plant Harita Nickel, Roy Martua Sigiro, menerangkan penerapan teknologi HPAL memberi manfaat yang besar karena mampu mengubah nikel kadar rendah (limonit) menjadi lebih bernilai.
“Teknologi HPAL atau High Pressure Acid Leaching adalah teknologi pemurnian nikel kadar rendah ataupun yang sering kita sebut sebagai limonit yang selama ini belum pernah diolah. Selama ini hanya dibuang menjadi overburden dan yang diolah hanyalah nikel kadar tinggi atau pun saprolit,” jelas Roy kepada kumparan di Pabrik HPAL Harita Nickel. Lokasi pabrik ini masih berada di lokasi yang sama dengan area tambang, sehingga menjadikan Harita Nickel sebagai kawasan industri nikel yang terintegrasi.
“Dengan hadirnya teknologi HPAL ini, kita dapat mengolah limonit menjadi MHP ataupun mixed hydroxide precipitate, nikel sulfat, dan kobalt sulfat,” imbuhnya.
Proses Produksi
Secara singkat, proses produksi diawali dengan tahap persiapan yakni mencairkan bijih nikel kadar rendah yang tadinya berbentuk tanah. Kemudian, bahan masuk ke tahap high pressure acid leaching menggunakan asam sulfat dan steam atau uap bertemperatur tinggi.
Roy menjelaskan, pada tahap ini, produk masuk ke dalam tabung bernama autoclave. Setelah itu, nikel masuk ke tahap netralisasi dan sejumlah proses lainnya dengan tujuan untuk membuang bahan-bahan yang tidak diperlukan.
“Dan setelah melalui proses MHP kita akan melalui proses yang namanya solvent extraction untuk menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat. Kemudian larutan nikel sulfat dan kobalt sulfat akan kita proses kembali menggunakan proses kristalisasi sehingga mendapatkan kristal nikel sulfat dan kobalt sulfat seperti yang sudah kita lihat,” kata Roy.
Kristal nikel sulfat dan kobalt sulfat yang dihasilkan akan dijual sesuai ukurannya. Nah, untuk sampai jadi baterai listrik, nikel sulfat harus melewati sejumlah tahap lagi.
“Setelah dari kobalt sulfat dan nikel sulfat akan menuju ke prekursor baterai, setelah itu katoda baterai. Jadi kalau bisa saya bilang produk yang dihasilkan Harita Nickel sudah di setengah jalan untuk mencapai baterai listrik,” jelas dia.
Terkait pasokan bijih nikel, Kepala Teknik Tambang PT Trimegah Bangun Persada Tbk(Harita Nickel) Primus Priyanto mengatakan, pada 2024 ini, direncanakan sekitar 27 juta bijih nikel gabungan kadar tinggi (saprolit) dan kadar rendah (limonit) yang akan disuplai atau dikirim ke semua pabrik pengolahan pemurnian yang telah beroperasi di Site Obi.
“Total inventori bijih yang dimiliki mencapai sekitar 3,9 juta ton untuk bijih saprolit dan sekitar 15 juta ton untuk bijih limonit. Inventori bijih tersebut berasal dari semua stockpile yang ada di Harita Nickel. Jumlah inventori tersebut mampu memastikan ketersediaan pasokan bijih untuk semua pabrik sampai dengan 5 atau 6 bulan ke depan” tambah Primus.
Ia menambahkan, untuk bijih nikel limonit akan disuplai ke Pabrik HPAL yang memiliki kapasitas 8,3 juta ton untuk diolah menjadi MHP dan turunannya.
“Ini kapasitas konsumsi bijih nikel limonitnya sekitar 8,3 juta. Dan output-nya berupa MHP atau mixed hydroxide precipitate itu sekitar 365 ribu ton MHP. Di mana kadar nikelnya sekitar 45% dan kadar kobaltnya sekitar 5%,” papar Primus.
Sementara bijih nikel saprolit dikirim ke dua pabrik peleburan dengan metode rotary kiln-electric furnace (RKEF) untuk menjadi feronikel. Total kapasitas dua pabrik peleburan RKEF, yakni Pabrik PT Megah Surya Pertiwi (MSP) Pabrik PT. Halmahera Jaya Feronikel (HJF), mencapai 11 juta ton per tahun.
Keunggulan Baterai Berbasis Nikel dan Masifnya Permintaan Global
Nikel merupakan material yang bisa diandalkan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari penggunaan bahan sendok-garpu, alat bedah di rumah sakit, velg mobil, dan tentu saja untuk bahan baterai kendaraan listrik.
Baterai berbasis nikel punya keunggulan mampu menyimpan energi listrik yang lebih besar dan tahan lama. Selain itu, baterai berbasis nikel memiliki ketahanan tinggi terhadap perbedaan iklim.
Hal ini membuat mobil yang menggunakan baterai berbasis nikel cocok bagi pengguna yang sering bepergian jarak jauh maupun berada di daerah dengan suhu ekstrem.
Keunggulan ini bikin material nikel sulfat terus jadi incaran sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Pada 2019, para peneliti nikel dari Wood Mazkenzie, perusahaan penyedia data dan analisis global untuk transisi energi, menyebut konsumsi nikel sebagai nikel sulfat meningkat sebesar 28 persen atau 162 kiloton. Konsumsi terbesar berasal dari Tiongkok. Pada 2025 mendatang, konsumsi nikel global untuk bahan baku baterai kendaraan listrik diperkirakan naik jadi 265 kiloton.
Permintaan yang besar untuk industri ini membuat produksi nikel sulfat semakin banyak dilakukan secara global, termasuk Indonesia yang dikenal punya cadangan nikel terbesar di dunia.
Berdasarkan data dari Wood Mazkenzie, produksi nikel kini masih didominasi negara-negara Asia, seperti China, Jepang, Korsel, dan Taiwan. Sementara Indonesia yang ikut memasok produk nikel, jumlah produksinya terus meroket setiap tahun.
Dengan keberhasilan Harita Nickel memproduksi bahan baku baterai mobil listrik dengan teknologi HPAL, Indonesia sudah setengah jalan memproduksi baterai mobil listrik secara mandiri.
Bahkan tak lama lagi, kita akan melihat mobil-mobil dengan merek terkenal memakai baterai listrik produksi Indonesia dan bukan tidak mungkin Indonesia bisa memproduksi mobil listrik sendiri.