Terapi Plasma Darah COVID-19 Masuk Uji Klinis Tahap II, Akan Diuji di 29 RS
ADVERTISEMENT
Terapi plasma konvalesen atau plasma darah menjadi salah satu langkah pemerintah untuk menyembuhkan pasien COVID-19 . Setelah lolos uji klinis tahap pertama, terapi konvalesen akan melalui uji tahap dua di 29 RS.
ADVERTISEMENT
"Setelah uji klinis tahap 1, kita masuk uji klinis tahap 2 dengan lebih banyak rumah sakit, 29 rumah sakit yang diperkirakan akan melakukan uji terhadap terapi plasma konvalesen ini," ujar Bambang dalam konferensi pers terkait pengembangan vaksin, terapi, dan inovasi COVID-19 , Selasa (20/10).
Terapi ini dilakukan dengan memberikan plasma, yaitu bagian dari darah yang mengandung antibodi pasien sembuh. Para penyintas COVID-19 nantinya dapat menjadi pendonor dengan menjalani sejumlah pemeriksaan dan memenuhi persyaratan.
Uji klinis tahap satu dilakukan di RSPAD. Dari uji klinis tersebut, disimpulkan bahwa terapi ini aman digunakan dan diklaim tidak memberikan efek samping berbahaya.
"Sudah melakukan uji klinik fase 1 di RSPAD, di mana salah satu Kesimpulannya adalah terapi ini aman, ya, tidak ada efek samping yang membahayakan," ucap Bambang.
Untuk melihat efek yang ditimbulkan, kata Bambang, uji klinis tahap berikutnya akan dilakukan terhadap pasien positif dengan kondisi sedang.
ADVERTISEMENT
"[Pengujian tahap] kedua akan lebih baik kalau diberikan ketika pasien dalam kondisi sedang, jadi tidak dalam kondisi yang berat," ungkap Bambang.
Bambang menyebut, Lembaga Eijkman tengah mengembangkan sebuah alat yang melengkapi pengembangan terapi konvalesen. Alat itu diklaim dapat mengukur kadar antibodi spesifik terhadap COVID-19 yang ada dalam darah seorang pasien.
Bambang berharap alat itu dapat digunakan tenaga kesehatan untuk memilah kualitas plasma yang baik.
"Utamanya untuk mengukur terutama kualitas dari plasma darah yang diberikan oleh donor, tapi juga nantinya bisa dipergunakan setelah vaksinasi untuk mengecek apakah dari vaksin yang diberikan muncul daya tahan tubuh, ya, immunity yang cukup tinggi dan diperkirakan berapa lama immunity itu bisa bertahan sehingga bisa tentunya mendorong upaya untuk perencanaan vaksin di kemudian hari," kata Bambang.
ADVERTISEMENT