Tetap Bebaskan Napi Meski Dikritik, Kemenkumham Dinilai Anggap Enteng Masalah

14 April 2020 8:36 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang napi meninggalkan penjara setelah dibebaskan untuk mencegah penyebaran virus corona COVID-19 di Lhoknga, Banda Aceh. Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN
zoom-in-whitePerbesar
Seorang napi meninggalkan penjara setelah dibebaskan untuk mencegah penyebaran virus corona COVID-19 di Lhoknga, Banda Aceh. Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, telah meneken Peraturan Menteri (Permen) dan Keputusan Menteri (Kepmen) mengenai pembebasan napi demi mencegah corona di penjara pada 30 Maret lalu.
ADVERTISEMENT
Sejak aturan tersebut diteken hingga Sabtu (11/4) lalu, napi tindak pidana umum yang dibebaskan sudah mencapai 36.554 orang, lebih tinggi dari target awal 30 ribu. Bahkan jumlah itu berpotensi terus bertambah, lantaran Permenkumham menyatakan program pembebasan itu hingga status darurat COVID-19 dinyatakan berakhir oleh pemerintah.
Padahal pembebasan itu menuai kritik, lantaran terdapat napi yang kembali berbuat kejahatan tak lama setelah dibebaskan. Masyarakat pun dibuat resah terhadap kebijakan ini, terlebih saat ini keadaan ekonomi tengah sulit.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Hibnu Nugroho, menilai langkah Kemenkumham yang tetap membebaskan tersebut seperti menganggap enteng masalah. Seharusnya, kata dia, Kemenkumham menyetop sementara pembebasan dan mengevaluasi sistem kontrol terhadap para napi yang bebas, agar tak lagi berulah.
Petugas memberikan arahan seusai menyerahkan surat pembebasan kepada warga binaan di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A, Banda Aceh, Aceh, Kamis (2/4). Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa
"Iya (seperti anggap enteng masalah). Ada sesuatu yang salah karena dia (napi) lakukan kejahatan lagi," ujar Hibnu saat dihubungi, Senin (13/4).
ADVERTISEMENT
"Ada yang salah itu harus dievaluasi. Oleh karena itu (sistem kontrol) asimilasi di rumah harus dibangun. Kalau belum jangan dibebaskan dulu, disetop sementara dalam angka membangun konsep asimilasi di wilayahnya," lanjutnya.
Kemenkumham, kata Hibnu, lebih baik mengevaluasi sistem kontrol terhadap napi yang sudah dibebaskan, apakah efektif atau tidak. Hal itu penting lantaran meski Kemenkumham menyatakan para napi harus asimilasi di rumah, kenyataannya terdapat napi yang berkeliaran dan berulah lagi.
Untuk itu, sebaiknya Kemenkumham memperbaiki sistem kontrol dengan menggandeng tokoh masyarakat setempat dan Pemda di masing-masing napi berasal.
"Harus dievaluasi konsep asimilasi di rumah seperti apa. Harus libatkan keluarga, tokoh masyarakat, pemuda, pemerintah setempat. Itu harus diperkuat karena kelihatannya lepas, belum ada koordinasi yang mantap antara Kemenkumham dan Pemda setempat. Karena jangan sampai (napi yang bebas) jadi residivis," ucapnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/2). Foto: Helmi Afandi/kumparan
Sementara itu, Yasonna menanggapi santai kritikan terhadap program pembebasan napi tersebut. Yasonna menilai kebijakan yang dikeluarkannya itu bukan merupakan produk gagal.
ADVERTISEMENT
Politikus PDIP itu berpendapat, tertangkapnya para napi yang kembali berulah itu berdasarkan koordinasi yang baik dari pihak Lapas dengan aparat penegak hukum lain. Menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa program pembebasan napi bukan produk gagal.
"Ada yang bilang program ini gagal dan mengancam keamanan nasional. Saya rasa sebaliknya. Ini bukti koordinasi pengawasan berjalan baik," kata Yasonna dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin (13/4).
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!