news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tiga Eks Komisioner KPK Minta Jokowi Tarik Delik Korupsi dari RKUHP

6 Juni 2018 22:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi KPK. (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tiga mantan komisioner KPK mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Surat terbuka itu untuk meminta Jokowi mencabut delik korupsi dari revisi KUHP yang saat ini masih dibahas di DPR.
ADVERTISEMENT
Tiga mantan komisioner itu antara lain Busyro Muqoddas, Haryono Umar, dan Mochammad Jasin. Dalam surat terbuka itu, ketiga mantan komisioner menjelaskan delik korupsi membahayakan kerja-kerja dari KPK yang selama ini memberantas korupsi.
"Selain itu juga akan kontraproduktif dengan semangat pemerintah yang ingin memastikan Indonesia terbebas dari korupsi," tulis surat terbuka tersebut seperti diterima kumparan, Rabu (6/6).
"Dengan hadirnya delik korupsi dalam revisi KUHP ini setidaknya menyisakan empat persoalan yang dapat menghambat upaya pemberantasan korupsi. Pertama, kewenangan KPK dalam hal penindakan kejahatan korupsi akan hilang," lanjutnya.
Busyro Muqoddas. (Foto: Antara/Fanny Octavianus)
zoom-in-whitePerbesar
Busyro Muqoddas. (Foto: Antara/Fanny Octavianus)
Ini dikarenakan dalam UU KPK jelas menyebutkan bahwa setiap penindakan yang dilakukan KPK berpijak pada aturan yang tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Yang selama ini menjadi aturan di luar dari KUHP. Sementara saat ini, delik korupsi masuk dalam RKUHP.
ADVERTISEMENT
Tiga mantan komisioner tersebut menyampaikan sulit untuk dibayangkan jika penindakan KPK tidak lagi berjalan. Maka ke depan lembaga ini hanya akan fokus pada ranah pencegahan tindak pidana korupsi saja.
"Upaya pemberantasan korupsi dipastikan akan kembali berpindah ke jalur lambat jika hanya bisa ditangani oleh lembaga Kepolisian atau Kejaksaan," ucap tiga mantan komisoner itu.
"Lagipun dengan tetap membiarkan UU Tipikor berada di luar KUHP, akan sejalan dengan konsep kejahatan korupsi yang telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)," paparnya.
Tentu dengan istilah tersebut, tiga mantan komisioner KPK mengungkapkan, sudah sewajarnya penanganan perkara korupsi tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang konvensional.
Lalu kedua, revisi KUHP ini juga dinilai akan meniadakan Pengadilan Tipikor. Tiga mantan Komisioner KPK itu menyebut Pengadilan Tipikor pun nantinya hanya memeriksa dan mengadili perkara korupsi dalam rumpun aturan UU Tipikor. Bila DPR dan pemerintah tetap mengakomodir UU Tipikor masuk dalam RUU-HP, maka kewenangan pemeriksaan dan mengadili perkara kembali ke pengadilan negeri.
ADVERTISEMENT
"Kejadian ini akan mengulang potret suram masa lalu, di mana Pengadilan Negeri dikenal sebagai produk kekuasaan kehakiman yang kerap memberikan vonis ringan bahkan tidak jarang membebaskan pelaku korupsi," tegas tiga mantan Komisioner itu.
"Ketiga, revisi KUHP ini lebih banyak berpihak pada pelaku korupsi. Terbukti dari hukuman pidana penjara dan denda yang tertera dalam R-KUHP jauh lebih ringan dibanding UU Tipikor," ungkapnya.
Presiden Jokowi di UHAMKA (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi di UHAMKA (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
Berdasarkan data ICW sepanjang tahun 2017 rata-rata hukuman terdakwa korupsi hanya 2 tahun 2 bulan penjara. Tentu dengan hadirnya revisi KUHP semakin menjauhkan tujuan esensial dari penegakan hukum, yakni pemberian efek jera.
Lalu keempat, revisi KUHP ini ditegaskan tiga mantan komisioner KPK tidak mengakomodir pidana tambahan bagi pelaku korupsi yaitu pembayaran uang pengganti.
ADVERTISEMENT
"Padahal sedari awal persoalan ini telah terjawab dengan hadirnya Pasal 17 dan Pasal 18 UU Tipikor," jelas tiga mantan Komisioner KPK.
Kombinasi antara pidana penjara yang maksimal dengan kewajiban membayar uang pengganti diyakini menjadi formula yang tepat bagi penjeraan pelaku korupsi.
Maka dari itu tiga mantan Komisioner KPK meminta sebaiknya Jokowi segera menarik delik korupsi dalam revisi KUHP. Menurut mereka ini juga sesuai dengan janji Jokowi dalam Nawacita yang secara tegas menolak negara lemah dengan melakukan penegakan hukum yang bebas dari korupsi.
"Akan lebih baik jika Pemerintah lebih fokus untuk memperkuat instrumen hukum pemberantasan korupsi dengan cara mengesahkan RUU tentang Perampasan Aset serta Revisi atas UU Tipikor yang saat ini sangat dibutuhkan oleh penegak hukum," tuturnya.
ADVERTISEMENT