Tito: Kalau Ada yang Bilang Jadi Kepala Daerah Tak Bayar, Saya Temui

18 November 2019 15:56 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Dalam Negeri RI Tito karnavian saat melakukan rapat bersama dengan Komite 1 DPD RI. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Dalam Negeri RI Tito karnavian saat melakukan rapat bersama dengan Komite 1 DPD RI. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Mendagri Tito Karnavian kembali mengungkit efek negatif dari Pilkada langsung yang selama ini digelar. Dia kembali menyoroti tingginya biaya politik jika ingin menjadi kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Tito bahkan, menantang jika ada yang mengaku tidak mengeluarkan uang saat menjadi kepala daerah, dia ingin bertemu orang tersebut.
"Kalau ada yang mengatakan enggak bayar (jadi kepala daerah), nol persen, saya pengin ketemu orangnya," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11)
"Ini dari empirik saja, untuk jadi kepala daerah, untuk jadi bupati kalau enggak punya Rp 30 m, enggak berani. Gubernur lebih lagi," sambung mantan Kapolri itu.
Menteri Dalam Negeri RI Tito karnavian saat melakukan rapat bersama dengan Komite 1 DPD RI. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Tito menjelaskan, biaya itu menurutnya pertama untuk kendaraan politik, lalu untuk biaya kampanye, membayar saksi dan lain sebagainya. Sementara dari gaji tentu tak cukup membayar biaya yang sudah dikeluarkan.
Sebab, dalam perkiraan hitungan Tito jika dalam setahun mengandalkan gaji dan tunjangan sebagai kepala daerah hanya mendapatkan Rp 12 miliar, jauh dari biaya yang dikeluarkan Rp 30 miliar.
ADVERTISEMENT
"Mana mau dia tekor. Keluarnya Rp 30 m. Kalau dia mau tekor saya mohon maaf sekali, itu berati betul-betul mengabdi untuk nusa bangsa gitu. Tapi yang apakah ada 1001 mungkin ada, mungkin juga enggak," ujarnya.
Tito juga menyinggung soal potensi konflik yang terjadi akibat Pilkada. Hal itu berkaca dari pengalaman Tito sebagai Kapolda yang banyak menangani konflik akibat perbedaan pilihan politik.
"Beberapa wilayah lain. Potensi konflik karena polarisasi. Polarisasi pilkada membuat masyarakat terbelah. Tapi dalam bahasa saya adalah polarisasi yang dilegalisasi, legal. Tapi dalam ilmu security, perbedaan itu mengandung potensi konflik, namanya juga berbeda," tandasnya.