Tokoh Anti-Korupsi Bernardo Arévalo Menang Mutlak pada Pilpres Guatemala
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Adapun kemenangan Arévalo sekaligus menghalau kekhawatiran atas kemunduran demokrasi, usai Guatemala mendiskualifikasi kandidat oposisi lain yang menentang korupsi.
Dikutip dari CNN, data Mahkamah Agung Pemilu menunjukkan dari 95 persen total surat suara yang telah dihitung — Arévalo meraih 59,1 persen, sementara Torres tertinggal dengan perolehan 36,1 persen.
Berbicara kepada wartawan tak lama setelah hasil perhitungan suara diumumkan, Arévalo menyatakan keberhasilannya meraih suara mayoritas membuktikan bahwa rakyat Guatemala telah 'bersuara dengan lantang'.
"Apa yang diteriakkan oleh rakyat kepada kami adalah: 'Cukup sudah dengan begitu banyak korupsi' — ini adalah contoh dari perubahan pola pikir yang kita saksikan di Guatemala," tutur Arévalo.
"Rakyat Guatemala saat ini memiliki harapan dan kami merayakan di jalanan atas pulihnya rasa harapan di negara kami," sambung dia.
Politisi berhaluan kiri-tengah ini telah menarik perhatian publik dengan janji-janjinya untuk memberantas korupsi dan kejahatan, mengatasi malnutrisi, dan membawa pertumbuhan ke Guatemala.
ADVERTISEMENT
"Korupsi adalah sebuah fenomena yang telah merasuk ke dalam berbagai institusi masyarakat dan menyusup ke berbagai ruang. Tugas kita adalah memulihkan ruang-ruang itu," jelas Arévalo.
Namun, bukanlah suatu tugas yang mudah bagi Arévalo mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sebab, Kongres masih didominasi oleh partai-partai besar lainnya yang sudah lama eksis di Guatemala dan memiliki agenda politik berbeda dengan Arévalo.
Kemenangan putra dari presiden pertama di Guatemala yang terpilih melalui pemungutan suara ini dipandang luas sebagai sesuatu yang menakjubkan.
Sebab, Arévalo bakal berkuasa melawan arus — ketika para pengamat politik berpendapat aksi 'kejahatan berkerah' seolah sedang menjadi tren.
Mereka mengatakan, praktik memperkaya diri sendiri, korupsi, dan melemahnya supremasi hukum telah memperburuk ketidaksetaraan di negara berpopulasi 17 juta jiwa itu.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan itu, ribuan orang berbondong-bondong pindah ke Amerika Serikat dan negara lain dalam beberapa tahun terakhir.
Situasi semakin memburuk setelah komisi anti-korupsi di Guatemala yang didukung PBB, International Commission against Impunity in Guatemala (CICIG), dibubarkan pada 2019. Padahal, CICIG telah berperan mengungkap ratusan kasus korupsi di negara itu.
"Jaksa dan hakim yang terkait dengan komisi tersebut ditangkap dan diselidiki dan banyak dari mereka yang telah melarikan diri dari negara itu," kata kelompok pembela hak asasi manusia.
Sejak saat itulah, korupsi mulai merajalela tanpa tindakan dari pihak berwenang untuk membuat para pelaku jera. Situasi ini disusul oleh tingginya angka kemiskinan dan kekurangan gizi di kalangan warga miskin.
ADVERTISEMENT