Tolak Pengesahan RKUHP, Masyarakat Didampingi YLBHI Lakukan Aksi di Car Free Day

27 November 2022 12:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
YLBHI lakukan aksi tolak pengesahan RKUHP di Car Free Day Jakarta. Foto: Dok. YLBHI
zoom-in-whitePerbesar
YLBHI lakukan aksi tolak pengesahan RKUHP di Car Free Day Jakarta. Foto: Dok. YLBHI
ADVERTISEMENT
Masyarakat sipil didampingi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan sejumlah LBH lainnya menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dengan menggelar aksi bentang spanduk di Car Free Day Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (27/11).
ADVERTISEMENT
Selain aksi bentang spanduk, sosialisasi bahaya RKUHP dilakukan dengan membagi flyer kepada warga yang berada di area Car Free Day.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur menjelaskan sejumlah pasal berbahaya yang tercantum dalam draft RKUHP dan dinilai dapat merugikan masyarakat.
Pertama, Isnur menyinggung soal pasal hukum yang hidup atau living law. Pasal tersebut dinilai berbahaya karena dianggap menimbulkan dampak kriminalisasi berlebihan.
"Perempuan dan kelompok rentan lainnya merupakan pihak yang berpotensi dirugikan dengan adanya pasal ini, sebab saat ini masih banyak terdapat perda diskriminatif," ujar Isnur melalui pernyataan tertulis, Minggu (27/11).
Pasal yang dinilai berbahaya lainnya adalah terkait pidana mati. Isnur mengatakan, legalisasi pidana mati merupakan bentuk pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Menurut Isnur, hukum ini harus ditiadakan sebab dalam beberapa kasus, pidana mati menimbulkan korban salah eksekusi.
Ada pula pasal terkait perampasan aset untuk denda individu. Menurut Isnur, hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinkan masyarakat miskin dan memperkuat penguasa.
"Metode hukuman kumulatif ini merupakan metode yang sangat kolonial dan hanya menjadi ruang bagi negara untuk memeras rakyat," jelasnya dalam pernyataan tersebut.
Pasal penghinaan presiden dan pasal penghinaan lembaga negara serta pemerintah juga dinilai bermasalah. Pasal ini menunjukkan pemerintah yang antikritik. Sebab, masyarakat yang menyampaikan kritik terhadap presiden dapat dituduh menghina dan berujung pada penjatuhan hukum pidana.
Pasal berikutnya terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan. Aturan ini juga termasuk sebagai pasal antikritik karena masyarakat yang menuntut haknya juga dapat dikriminalisasi.
ADVERTISEMENT
Selain menuntut dihapuskannya pasal-pasal anti kritik, aksi tersebut juga menolak pasal terkait contempt of court.
"Pasal ini menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa. Padahal dalam persidangan, seringkali masyarakat menemui adanya hakim yang memihak," ungkapnya.
"Apabila pasal ini disahkan, ketika bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan dapat dianggap sebagai penyerangan integritas. Pasal ini juga berbahaya bagi lawyer, saksi, dan korban," tegas Isnur.
YLBHI lakukan aksi tolak pengesahan RKUHP di Car Free Day Jakarta. Foto: Dok. YLBHI
YLBHI lakukan aksi tolak pengesahan RKUHP di Car Free Day Jakarta. Foto: Dok. YLBHI
YLBHI lakukan aksi tolak pengesahan RKUHP di Car Free Day Jakarta. Foto: Dok. YLBHI
YLBHI lakukan aksi tolak pengesahan RKUHP di Car Free Day Jakarta. Foto: Dok. YLBHI
RKUHP juga masih memiliki pasal bermasalah lainnya, seperti terkait edukasi kontrasepsi, pasal terkait kesusilaan, pasal terkait tindak pidana agama, hingga pasal terkait penyebaran marxisme dan leninisme yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Selain masih memuat beragam pasal bermasalah, proses pembahasan dari RKUHP juga tidak melibatkan masyarakat dan para ahli, sehingga penyusunannya dinilai tidak transparan dan partisipatif.
ADVERTISEMENT
"Untuk itu masyarakat menyerukan kepada DPR dan Pemerintah untuk tidak mengesahkan RKUHP sebelum masa reses ini dan lebih banyak membuka ruang diskusi bersama masyarakat," ujar Isnur.
"Selain itu, DPR dan pemerintah juga harus mencabut pasal-pasal bermasalah, dalam RKUHP karena tidak jelas parameternya dan berpotensi menjadi pasal karet," tutupnya.
Pada Kamis (24/11), Komisi III DPR bersama pemerintah telah menyepakati pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tingkat I.
Aksi ini menolak pengesahan RKHUP di rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU yang akan dilakukan sebelum masa reses ketiga atau 16 Desember 2022.