TPN Sindir Anwar Usman yang Coba Jadi Ketua MK Lagi: How Low Can You Go?

27 Maret 2024 15:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menggelar konferensi pers setelah dicopot dari Ketua MK setelah terbukti melakukan pelanggaran etik di gedung MKRI, Jakarta, Rabu (8/11/2023). Foto: Aditia Noviansyah kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menggelar konferensi pers setelah dicopot dari Ketua MK setelah terbukti melakukan pelanggaran etik di gedung MKRI, Jakarta, Rabu (8/11/2023). Foto: Aditia Noviansyah kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tim Hukum Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud menyindir mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang mencoba kembali menjadi pimpinan lembaga tersebut. Sindiran itu disampaikan dalam permohonan gugatan hasil Pilpres 2024 yang dibacakan dalam persidangan di MK, Rabu (27/3).
ADVERTISEMENT
Putusan etik Anwar Usman diungkit Tim Hukum Ganjar-Mahfud karena terkait erat dengan lolosnya Gibran Rakabuming Raka jadi calon presiden lewat putusan 90 yang cacat etik.
Putusan 90 kemudian melahirkan putusan Majelis Kehormatan MK No. 02/MKMK/L/11/2023 itu dianggap Tim Hukum Ganjar-Mahfud sebagai titik perusakan demokrasi. Dinilai, sebagai momentum terkuaknya nepotisme Presiden Joko Widodo.
Dampak dari putusan tersebut, Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK.
“Membaca Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi No. 02/MKMK/L/11/2023 yang menyatakan bahwa semua hakim konstitusi terbukti melanggar etika jelas sangat membuat semua orang marah dan sedih,” kata Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis saat membacakan permohonannya di MK, Rabu (27/3).
Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis menyampaikan pembukaan pokok-pokok permohonan pada sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Secara etika, lanjut dia, seharusnya semua hakim mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi. Tapi mereka tak mundur dari posisi mereka karena berbagai alasan. Todung mengatakan, sulit memahami keengganan para hakim tersebut tidak mundur dari posisi sebagai hakim MK.
ADVERTISEMENT
“Dalam kaitan ini patut ditambahkan pula bahwa hakim konstitusi Anwar Usman yang diberhentikan dari posisinya sebagai ketua MKRI sekarang malah mencoba merebut kembali posisinya sebagai ketua MKRI melalui gugatan tata usaha negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” kata Todung.
“Kita semua hanya bisa mengelus dada sambil berbisik dalam hati: ‘How low can you go?” tambahnya.
Dia mengungkapkan, bahwa kejadian ini sebagai wujud MK terjebak dalam situasi yang sulit karena menjadi bagian dari kekuasaan politik, menjadi alat politik. MK berada dalam situasi yang sangat sulit karena hancurnya reputasi dan kepercayaan publik. Juga demoralisasi yang melanda hati nurani para hakim.
“Keadaan ini membuat mereka malu dan terhina sebagai bengawan hukum yang seharusnya dilihat sebagai ‘the guardian of the constitution’’. Mereka terjebak dalam satu situasi di mana MKRI mengalami intervensi politik, mengalami ‘politicization of judiciary’, bukan ‘judicialization of politics’,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dari kejadian tersebut, Todung berharap MK bangkit lagi. Memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukan karena putusan 90.
Dia berharap MK memperbaiki kepercayaan publik dengan membuat putusan dalam sengketa Pilpres yang lebih luas. Yakni dengan memutus dilakukannya pemungutan suara ulang.
“Tugas MK sekarang adalah merebut kembali wibawa dan harga dirinya setelah dihancurkan oleh kekuasaan dan oleh demoralisasi dalam tubuh para hakim konstitusi. MKRI mesti bangkit, mesti melawan, mesti kembali memanggul konstitusi,” ucap Todung.
Sekaranglah, lanjut Todung, waktu MK merebut kembali wibawa dan harga dirinya yang sirna. Waktunya untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa MK berhasil merebut kembali peran dan reputasinya yang sesungguhnya.
“A truly Constitutional Court, bukan Mahkamah Keluarga, bukan Mahkamah Kalkulator, bukan perpanjangan tangan kekuasaan dan bukan ‘a sham institution’,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Terkait gugatannya di PTUN, Anwar Usman pun beralasan bahwa tak semata berkaitan dengan jabatan. Melainkan, soal harkat, martabat, dan harga dirinya.
"Bukan itu [ingin jadi Ketua MK lagi] tujuannya, jabatan itu tidak ada artinya dibanding harkat, martabat, dan harga diri, begitu," ujar Anwar Usman saat ditemui kumparan usai menjalani sidang etik di kantor MKMK, Senin (18/3).
"Jadi bukan masalah jabatan. Jadi, kan, bukan itu saja yang menjadi permohonan, orang, kan, melihat seolah-olah tuntutan saya yang pertama itu jabatan. [Sebenarnya] Ya itu tadi, harga diri, harkat, dan martabat diri sendiri saya. Harkat martabat keluarga, ya, termasuk harkat martabat Mahkamah Konstitusi," tutur Anwar Usman.