Usman Hamid: Pemilu 2024 Jadi Awal 'Pemilu Seremoni' seperti Masa Orde Baru

24 April 2024 19:15 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid di sela-sela aksi di depan KPU DIY, Rabu (24/4/2024). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid di sela-sela aksi di depan KPU DIY, Rabu (24/4/2024). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid juga mengaku kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Pemilu (PHPU) Pilpres 2024.
ADVERTISEMENT
"Ya kami tentu saja sangat kecewa dengan putusan MK, seperti juga banyak disuarakan para guru besar, kami sulit menerima dengan logika hukum bahwa ternyata MK tidak mengakui adanya praktik nepotisme dalam pemilihan umum," kata Usman Hamid di sela-sela aksi di KPU DIY, Rabu (24/4).
Dia menjelaskan kritik terhadap pemilu 2024 berasal dari banyak orang, termasuk yang tidak berafiliasi dengan kelompok yang kalah pada pemilu.
"Bahkan komite HAM PBB di sidang bulan Maret mempertanyakan kepada pemerintah Indonesia mengapa Presiden Joko Widodo mempengaruhi proses pemilu secara tidak semestinya untuk meloloskan anaknya untuk menduduki jabatan yang sangat tinggi. Dalam hal ini Presiden Joko Widodo dan menguntungkan Gibran," katanya.
"Pertanyaan itu tidak dijawab pemerintah dan sayangnya MK tidak juga mempertimbangkan catatan resmi dari Komite HAM PBB tentang pemilihan umum di Indonesia. Mungkin ini pemilu yang saya kira yang bisa jadi yang akan menjadi awal bahwa pemilu-pemilu ke depan hanyalah seremoni seperti di masa orde baru," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, katanya, Indonesia tengah memasuki masa-masa kedaruratan demokrasi yang sangat genting.
"Saya khawatir ini bukanlah yang terburuk, saya khawatir masih ada peristiwa politik yang bukan hanya membuat demokrasi sekarat tapi akhirnya membunuh demokrasi itu sendiri," ungkapnya.
Calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka bersiap mengikuti rapat pleno terbuka penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih Pemilu 2024 di depan Gedung KPU, Rabu (24/4/24). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Lanjutnya, praktik nepotisme itu nyata adanya. Usman Hamid mengatakan jika membaca kamus berita nikah, nepotisme dari kata nepos dari bahasa latin atau nipote pada bahasa Italia yang artinya keponakan atau cucu.
"Lebih jauh dijelaskan apabila ada tindakan pemerintah atau tindakan negara yang menguntungkan kerabatnya, keluarganya, maka itulah praktik nepotisme. Itu yang dahulu dipersoalkan di era reformasi," katanya.
"Dan kamus berita nikah juga memberi contoh Presiden Soeharto yang mengutamakan enam orang anaknya untuk bisa menguasai sumber-sumber negara termasuk BUMN," katanya.
ADVERTISEMENT
Lanjutnya, nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia minimum capres dinyatakan bukan praktik nepotisme oleh hakim MK. Namun, menurut Usman Hamid itu merupakan tindakan yang sangat keliru.
"Oleh karena itu saya menghormati tiga hakim yang justru mengakui adanya nepotisme bahkan mengakui ada kecurangan," katanya.
Usman Hamid mengatakan kecurangan yang terjadi bukan pada kalkulasi hasil pemilu tetapi pada proses sebelum pemilu, dan saat pemilu berlangsung.
"Misalnya perubahan aturan syarat usia capres dan cawapres tidak boleh terjadi ketika pemilu sudah berjalan. Kedua penyalahgunaan sumber daya negara, presiden menggunakan bansos yang seolah itu datang dari dirinya," katanya.