UU Baru KPK, 'Senjata' Nurhadi Gugat Praperadilan

14 Januari 2020 13:22 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Gedung KPK. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Sejak UU baru mulai berlaku, KPK diprediksi akan kebanjiran gugatan praperadilan. Sebab, sejumlah kewenangan KPK diotak-atik dalam UU versi revisi itu.
ADVERTISEMENT
Bak gayung bersambut, dugaan sejumlah pihak akan banyaknya praperadilan tersangka KPK karena Undang-undang 19 Tahun 2019 mulai nampak.
Salah satunya, trio tersangka dugaan mafia peradilan di Mahkamah Agung (MA), yakni mantan Sekretaris MA Nurhadi; menantu Nurhadi, Riezky Herbiyono; dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto menggugat KPK secara praperadilan ke PN Jakarta Selatan.
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman (kiri) berjalan memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan. Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
Ketiganya menggugat praperadilan terkait tidak sahnya penetapan tersangka oleh KPK. Ada beberapa poin yang mendasari Nurhadi dkk mengajukan praperadilan. Sebagian besar argumennya menggunakan UU nomor 19 tahun 2019 atau UU baru KPK sebagai 'senjata'.
Sidang Praperadilan Eks Sekretaris MA, Nurhadi, di PN Jaksel, Senin (13/1). Foto: Darin Atiandina/kumparan
Berikut 2 poin gugatan praperadilan Nurhadi yang dibacakan oleh pengacaranya Maqdir Ismail di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/1):
ADVERTISEMENT
Maqdir menilai penyidikan kasus kliennya oleh penyidik yang tidak sah. Ia merujuk pada UU baru KPK yang sudah diundangkan pada 17 Oktober 2019.
Maqdir berargumen, semua pegawai KPK, termasuk penyelidik dan penyidik, harus berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut Maqdir, hal itu diatur dalam UU baru KPK.
Ilustrasi penyidik KPK. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Ia merujuk Pasal 69B ayat (1) yang berbunyi: "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.”
"Hal tersebut membawa konsekuensi yuridis bahwa penyelidik dan penyidik Termohon (KPK) yang belum berstatus ASN tidak otomatis menjadi ASN dengan berlakunya UU No. 19/2019. Melainkan menunggu untuk diangkat menjadi ASN setelah memenuhi ketentuan perundang-undangan terkait dalam waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya UU No. 19/2019," kata Maqdir.
Kuasa hukum eks Sekretaris MA Nurhadi, Maqdir Ismail, di PN Jaksel, Senin (13/1). Foto: Darin Atiandina/kumparan
Sebagai catatan, Pasal 69 C berbunyi: "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Maqdir menyebut, dalam proses penyidikan kasus ini, ada setidaknya dua penyidik yang menanganinya, Novel dan Rizka Anungnata. Hal itu berdasarkan surat panggilan saksi dan penyitaan bukti yang menyebut kedua penyidik.
Menurut Maqdir, kedua penyidik tidak berstatus ASN dan belum diangkat sebagai ASN.
"Dengan demikian berarti 2 (dua) surat perintah penyidikan, sebagaimana disebut di atas, dijalankan oleh orang yang tidak berwenang melakukan penyidikan, yang oleh karenanya penyidikan dimaksud adalah cacat hukum serta menjadi tidak sah, tidak berdasarkan atas hukum, dan tidak memiliki kekuatan mengikat," kata Maqdir.
Selain itu, Maqdir menilai bahwa surat perintah penyidikan yang dikeluarkan pun cacat hukum. Sebab, surat perintah penyelidikan keluar menggunakan UU KPK lama, sementara surat perintah penyidikan keluar saat UU KPK baru disahkan.
ADVERTISEMENT
Sehingga penyidik haruslah seorang ASN sesuai UU baru, namun kenyataannya dua penyidik tersebut belumlah berstatus ASN. Sebab, UU baru diteken 17 Oktober 2019, sementara Nurhadi cs jadi tersangka pada 6 Desember 2019.
"Penyelidikan yang dijalankan oleh orang yang tidak mempunyai wewenang untuk itu, dan bahkan hasilnya digunakan untuk menaikkan proses perkara ke tingkat penyidikan," ungkapnya.
Maqdir juga mempermasalahkan status pimpinan KPK yang bukan lagi penyidik dan penuntut umum dalam UU yang baru. Lantaran hal itu, pimpinan KPK dinilai tidak punya kewenangan untuk memerintahkan jajaran penyidik di KPK untuk menandatangani surat penetapan seseorang sebagai Tersangka (sprindik), atau memberikan mandat untuk bertindak atas namanya guna menandatangani surat-surat terkait segala tindakan penyidikan.
ADVERTISEMENT
Hal itu tak terlepas dari sprindik Nurhadi tertanggal 6 Desember 2019 yang ditandatangani oleh Direktur Penyidikan R. Z. Panca Putra S. Tertulis juga dalam Sprindik itu:
"a.n. Pimpinan
Deputi Bidang Penindakan
u.b. Direktur Penyidikan,
Selaku Penyidik
R.Z. Panca Putra S"
"Bahwa hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pimpinan termohon seolah merasa bahwa dirinya masih memiliki status penyidik yang melekat dalam dalam jabatannya (atributif), padahal status itu telah dihapus oleh UU No.19/2019," kata Maqdir.
Selain dua hal itu, poin lain yang juga dipersoalkan ialah bukti yang tak relevan serta tidak adanya pemeriksaan terhadap Nurhadi sebelumnya.
Banjir Gugatan Praperadilan
Indonesian Corruption Watch (ICW) sebelumnya sempat memprediksi akan banyaknya gugatan praperadilan akibat berlakunya UU 19 Tahun 2019. Dan hal ini terbukti dengan adanya beberapa praperadilan yang ditunjukkan ke KPK dengan beramunisikan UU baru.
ADVERTISEMENT
"ICW meyakini KPK ke depan akan menghadapi banyak gugatan praperadilan yang mempersoalkan proses penindakan karena hadirnya UU KPK baru," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Rabu (8/1).
Selain Nurhadi cs, ada satu perkara yang menggugat praperadilan dengan UU baru terhadap KPK, sementara satunya lagi disinggung dalam persidangan Tipikor. Mereka yang mempersoalkan ialah mantan Menpora Imam Nahrawi dan Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Pertama, Imam Nahrawi yang dijerat sebagai tersangka dalam dua kasus yakni suap penyaluran dana hibah dari Kemenpora kepada KONI serta gratifikasi terkait jabatan Imam sebagai Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan jabatannya selaku Menpora.
Imam yang dijerat bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum, menerima uang total mencapai Rp 26,5 miliar.
ADVERTISEMENT
Atas status tersangkanya tersebut, politikus PKB itu mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mantan Menpora Imam Nahrawi di KPK. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dalam persidangan praperadilan, Imam menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Bhayangkara, Solehudin. Salah satu yang disinggung adalah mengenai pasal 70 C UU KPK baru, yang berbunyi:
'Pada saat Undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini'.
Menurut Solehudin, berlakunya UU KPK yang baru membuat surat perintah penyidikan (sprindik) dan surat perintah penahanan (sprinhan) yang ditandatangani pimpinan KPK tidak berlaku. Sebab UU KPK yang baru menghapus kewenangan pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum.
Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan menjalani sidang dengan agenda putusan sela di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (5/12). Foto: kumparan
Kedua, Wawan yang sempat terjerat kasus dugaan korupsi alat kesehatan dan juga pencucian uang. Bukan dalam praperadilan, namun dalam sidang eksepsi atau nota keberatannya di sidangnya beberapa waktu lalu, Wawan turut menyinggung soal UU KPK baru.
ADVERTISEMENT
Ia menyinggung perubahan kapasitas pimpinan KPK yang tak lagi memiliki kewenangan melakukan penuntutan.
Tim kuasa hukum Wawan menyebut ada aturan pembatasan kewenangan bagi pimpinan KPK dalam UU baru.
Batasan ini kemudian dianggap oleh tim Wawan membuat izin yang diberikan pimpinan KPK dalam menangani perkara ini tidak sah.
Perubahan ketentuan itu tercantum dalam Pasal 21 ayat (3) UU KPK baru. Pasal itu mengatur kedudukan pimpinan KPK sebagai pejabat negara yang tak memiliki kewenangan di tingkat penuntutan.
Dengan begitu kewenangan penuntutan tak lagi melekat pada pimpinan KPK. Sehingga, menurut tim kuasa hukum Wawan, hanya pihak kejaksaan yang miliki kewenangan di tingkat penuntutan.
Tim kuasa hukum meyakini pimpinan KPK tak lagi mengantongi kewenangan sebagai penuntut umum terhitung sejak UU itu berlaku sejak tanggal 17 Oktober 2019.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana nasib praperadilan Imam? Jawabannya: kalah.
Gugatan Imam ditolak hakim Elfian. Hakim menilai penetapan tersangka terhadap Imam itu tetap sah karena bukti dikumpulkan sebelum UU KPK baru diberlakukan.
Sementara untuk Wawan, eksepsinya ditolak hakim. Menurut hakim, kewenangan soal penuntutan itu tidak masuk ruang lingkup eksepsi. Sehingga hakim tidak mempertimbangkan dalil eksepsi tersebut.
Praperadilan Nurhadi kini masih berjalan. Sementara, gugatan Wawan dan Imam Nahrawi sudah ditolak hakim.
Lalu, apakah masih akan ada gugatan terhadap KPK dengan menggunakan UU versi revisi sebagai 'senjata'?
Warga memotret tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra