Lipsus, Ilustrasi Mahkamah Konstitusi

UU KPK Hasil Revisi Digugat ke MK

18 September 2019 19:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebanyak 18 pemohon yang berlatar belakang mahasiswa, politisi, dan wiraswasta mengajukan permohonan uji materi atau judicial review (JR) terhadap revisi UU KPK yang baru disahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Pengajuan ini dilakukan setelah pemerintah dan DPR mengesahkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada Selasa (18/9) kemarin.
"Sudah (ada pengajuan JR UU KPK). Banyak pemohonnya, silakan dibuka permohonannya," kata juru bicara MK Fajar Laksono, saat dihubungi, Rabu (18/9).
Dalam berkas permohonan JR yang kumparan terima, tercatat ada 18 pemohon yang tercantum di dalamnya. Mereka adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Muhammad Raditio Jati Utomo, mahasiswa FH Universitas Kristen Indonesia (UKI) Deddy Rizaldy Arwin Gummo, mahasiswa FH Universitas Padjajaran Putrida Sihombing, mahasiswa FH Universitas Tarumanegara Kexia Goutama.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Selain itu ada mahasiswa FH Universitas Pelita Harapan Jovin Kurniawan, mahasiswa FH UI Muhammad Agun Pratama, mahasiswa FH UI Naomi Rehulina Barus, mahasiswa FH UI Agustin Rarahere Noach, mahasiswa FH Atmajaya Yogyakarta Elisabeth, mahasiswa Atmajaya Yogyakarta Tommy, mahasiswa Atmajaya Yogyakarta Yehezkiel Obey.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya ada mahasiswa FH Atmajaya Yogyakarta Zenson Franstumora, mahasiswa FH UPN Jawa Timur Adam Ilyas, mahasiswa FH Tarumanegara Dylan Aldianza, politisi Timothy Ivan, Wiraswasta Suhanto dan William Yangjaya, serta mahasiswa FH UKI Eliadi Hulu.
Dalam gugatan tersebut, kuasa hukum pemohon, Zico Leonard, menjelaskan ada dua gugatan yang dilakukan. Pertama formil dan kedua materiil.
Untuk gugatan formil, Zico menyebut dalam proses revisi UU KPK tidak menerapkan asas keterbukaan. Begitu juga tidak adanya pelibatan publik dalam proses pembahasan saat masih berstatus draf revisi undang-undang.
Selain itu, pihaknya menilai ada kejanggalan dalam pengambilan suara saat pengesahan undang-undang dalam rapat paripurna. Dalam hitungan manual, paripurna tersebut hanya diikuti oleh 80 orang. Sementara dalam catatan DPR yang menghadiri sebanyak 289 anggota.
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
"Pembentukan undang-undang a quo --UU KPK-- sebagai proses pembentukan undang-undang yang baik tidak dipenuhi. Sehingga timbul kerugian yang seharusnya dapat dicegah jika asas pembentukan undang-undang yang baik dipenuhi," sebagaimana isi dalam gugatan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk gugatan materiil, ia menyasar pada adanya kekosongan norma dalam Pasal 29 UU KPK. Menurut pemohon, tidak ada satu pasal atau upaya hukum yang bisa dilakukan untuk memperkarakan pelanggaran dalam pasal tersebut.
Hal itulah, kata Zico, yang memunculkan perdebatan terkait status Ketua KPK terpilih Irjen Firli Bahuri. Firli dianggap tak memenuhi syarat seperti dalam pasal tersebut.
"Terlepas benar tidaknya segala permasalahan yang diatributkan kepada Firli, seharusnya ada upaya hukum atau mekanisme peradilan yang membuat terang hal tersebut," lanjutnya.
Adapun Pasal 29 yang dimaksud oleh Zico ada pada ayat 9 yakni: Melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pegawai KPK bersama Masyarakat Koalisi Anti Korupsi Membawa poster slogan KPK yang diubah. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Hal itu juga tertuang dalam petitum di gugatan tersebut. Penggugat meminta MK mengeluarkan putusan provisi atau pembacaan putusan, sebelum putusan akhir mengikat terhadap pimpinan KPK baru.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena perkara a quo merupakan perkara yang erat kaitannya dengan pemilihan ketua KPK terpilih, maka para pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memerintahkan DPR dan Presiden untuk memberhentikan pelantikan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi," sebagaimana bunyi petitum.
"(Kami) meminta (MK) menyatakan inkonstitusional bersyarat (terhadap petitum itu)," lanjutnya.
Sebelumnya, sejumlah aktivis dan LSM menyatakan revisi UU KPK dinilai sebagai produk cacat hukum. Selain tidak masuk dalam prolegnas prioritas 2019, rapat paripurna DPR saat pengesahan juga dianggap tak memenuhi kuorum. Sehingga mereka akan mengajukan JR ke MK.
"Pasti pasti, berbagai elemen organisasi, memang belum diutarakan secara langsung, tapi pasti akan melakukan judicial review (JR) ke MK," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhan saat dikonfirmasi, Selasa (17/9).
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten