Wacana Presiden Dua Periode Boleh Jadi Cawapres Dinilai Inkonstitusional

18 September 2022 11:27 WIB
·
waktu baca 2 menit
Presiden Joko Widodo pimpin rapat terbatas pengelolaan produk turunan kelapa sawit di Istana Merdeka, Jakarta (18/7/2022). Foto: Lukas/Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo pimpin rapat terbatas pengelolaan produk turunan kelapa sawit di Istana Merdeka, Jakarta (18/7/2022). Foto: Lukas/Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Wacana presiden yang sudah menjabat 2 periode bisa maju menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendapat kecaman dari publik. Isu itu mencuat dari pernyataan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono.
ADVERTISEMENT
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, mengungkap bahwa UUD 1945 menutup kemungkinan bagi presiden yang telah menjabat selama 2 periode untuk maju sebagai Cawapres di pemilihan selanjutnya.
Menurutnya, pernyataan Fajar Laksono tidak melihat esensi Pasal 7 UUD 1945 secara utuh.
“Saya yakin dia (Fajar) hanya membaca undang-undangan tersebut secara parsial. Dia tidak baca Pasal 8 UUD 1945, yang jadi masalah adalah apabila Presiden berhenti, atau diberhentikan, dan Wakil Presidennya telah menjabat sebagai presiden 2 periode maka pasal 8 tidak bisa dilaksanakan," ungkap Fadil dalam diskusi publik "Ngopi Dari Sebrang Istana" dengan tajuk “2024 Panggung Sandiwara atau Perubahan?” di Jakarta Pusat, Sabtu (17/9).
Sementara itu, Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melihat wacana tersebut menyalahi kewajaran dan dapat menuai konsekuensi.
ADVERTISEMENT
“Siapa pun yang berbeda atau melawan kepatutan, akan dilawan oleh keseimbangan alam,” tegas Sudirman.
Penulis buku 'Berpihak Pada Kewajaran' tersebut juga menjelaskan, semakin tinggi posisi seseorang maka ukuran hidupnya sudah mencapai tahap patut - tidak patut, etis dan tidak etis.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono saat ditemui di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (23/5/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
"Artinya adalah sesuatu yang tidak wajar apabila mereka yang berada di paling atas namun sikap hidupnya masih terbatas di legalistik," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi II DPR RI sekaligus Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera. Menurutnya, wacana yang tidak wajar harus dilawan agar tidak merusak demokrasi rakyat.
"Perubahan terjadi dengan cara direbut. Maka segala wacana yang tidak wajar, harus dilawan. Agar yang muncul adalah perubahan natural, bahwa rakyat dapat menikmati demokrasi substansial bukan prosedural. Maka kita perlu pemimpin yang berstandar etik bukan cuma legalistik," tutur Mardani.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Pakar Gestur dan Personal Branding Dewi Haroen menilai sikap Presiden Jokowi tidak secara gamblang menolak wacana perpanjangan masa jabatan.
Secara verbal, ungkapnya, Jokowi membiarkan wacana itu terus berkembang di tengah masyarakat. Ia bahkan menyimpulkan, Jokowi tidak menolak untuk terus didukung agar mendapat jabatan yang lebih lama.
"Artinya secara verbal dia firm membolehkan wacana itu bergulir. Begitu juga dengan vokal dan gesturnya, Jokowi masih saja melakukan kampanye di tahun-tahun terakhir dirinya menjabat. Secara teori komunikasi maka Jokowi jelas ingin (perpanjangan masa jabatan)," pungkasnya.