Waspada Klaster Sekolah, Ahli Sebut Tes Corona RI Masuk yang Terburuk di Dunia

20 September 2021 13:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Epidemiolog Unair Windhu Purnomo. Foto:  Dok: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Epidemiolog Unair Windhu Purnomo. Foto: Dok: Pribadi
ADVERTISEMENT
Tren penurunan kasus konfirmasi COVID-19 yang telah terjadi di Indonesia dalam beberapa minggu terakhir ini diikuti dengan sejumlah kebijakan pelonggaran kegiatan masyarakat, salah satunya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolah.
ADVERTISEMENT
Walau kasus memang telah membaik, epidemiolog dari Unair, Windhu Purnomo, mengingatkan bahwa bukan berarti virus di daerah yang telah menerapkan PTM tersebut telah sepenuhnya bebas dari ancaman virus corona.
"Kita tahu di daerah yang PTM-nya sudah diaktifkan itu tidak sepenuhnya tidak ada virus di luaran. Dan kita memang harus akui, lho, ya, memang ada tren penurunan kasus dan kita makin membaik," kata Windhu kepada kumparan, Senin (20/9).
Untuk itu, ia meminta agar masyarakat khususnya siswa dan guru di sekolah agar tetap berhati-hati terhadap ancaman penularan. Sebab, sampai saat ini tracing dan testing di Indonesia masih dikatakan lemah.
"Jadi kita harus bersyukur tapi harus hati-hati. Pertama apa, sampai hari ini surveillance epidemiologi kita ini belum bagus. Artinya apa, kasus-kasus yang positif belum semua terdeteksi. Karena testing tracing kita sampai hari ini meski sudah membaik, tetapi masih lemah," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Penjaga sekolah membersihkan area SMAN 81 Jakarta Timur jelang penambahan sekolah yang menggelar pembelajar tatap muka (PTM) pada Senin, (13/9). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Testing dan tracing di Indonesia memang sudah lebih baik dari beberapa waktu sebelum lonjakan kasus pada Juni lalu ini. Akan tetapi, Windhu mengatakan bahwa itu bukan berarti masuk kategori yang sudah baik karena jumlah rata-rata testing masih ada di peringkat terbawah.
"Membaik itu bukan arti sudah baik, lho, ya. Ini masih lemah. Jadi artinya kita testing masih nomor ke-154 dari 210 negara. Jadi 25 persen terburuk, masuk ke 25 persen golongan negara-negara yang terburuk testingnya," tambah Windhu.
Menurut data Worldometers yang dihimpun kumparan, per Minggu (19/9), jumlah testing yang dilakukan di Indonesia baru mencapai 131.441 orang per 1 juta penduduk. Ini membuat Indonesia berada di peringkat 152 dari 223 negara yang tercatat.
ADVERTISEMENT
Windhu turut membandingkan capaian testing tersebut dengan negara lain yang masuk testing tertinggi di dunia seperti India dan Turki. Hanya 13% penduduk Indonesia yang dites swab PCR sebagai tes diagnostik. Sehingga, kasus yang dilaporkan sebenarnya ini masih belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya.
"Kita masih belum sampai 13% dari penduduk yang dites. Bandingkan dengan India yang sudah 39% lebih. UK 400% lebih, bayangkan jadi 1 orang pernah dites 4 kali untuk diagnostik, lho, bukan perjalanan. Kalau perjalanan kita bolak balik dites tapi ini diagnostik kita ini nomor 154," katanya.
"Jadi jelek. Artinya apa, kasus yang dilaporkan itu masih kecil, puncak dari gunung es, jadi di bawah permukaan laut masih banyak yang belum terdeteksi dan masih jalan-jalan di luar," pungkas Windhu.
ADVERTISEMENT