Cover To the Point Ledia Hanifa Amaliah

Wawancara Inisiator RUU Ketahanan Keluarga: Bukan Memaksa Perempuan ke Dapur

7 Maret 2020 10:00 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kontroversi seketika menyelimuti RUU Ketahanan Keluarga begitu mencuat ke permukaan. Sejumlah pasal dianggap membuat negara terlalu memasuki ranah privat--hingga ke kamar tidur--rakyatnya.
ADVERTISEMENT
RUU yang masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas ini juga banyak ditentang oleh aktivis perempuan. Karena, dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa istri wajib mengurusi rumah tangga.
Kendati demikian, inisiator RUU Ketahanan Keluarga dari FPKS, Ledia Hanifa Amaliah, memahami dinamika yang saat ini timbul. Karena itu, anggota Komisi X DPR RI ini mengajak seluruh pihak untuk berdiskusi terkait dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial.
“Karena persoalan ini kan bukan harga mati, kayak mau perang saja. Bagian dari yang perlu didiskusikan itu biasa dalam pembahasan undang-undang,” ujar Ledia.
Lantas, masih solid kah para inisiator RUU Ketahanan Keluarga setelah dihantam gelombang kritikan? Seberapa yakin mereka bahwa RUU ini akan lolos? Simak wawancara khusus kumparan dalam program 'To the Point' berikut ini.
Ledia Hanifa Amaliah. Foto: Nugroho Sejati & Anggoro Fajar/kumparan
Sebenarnya apa urgensi dari RUU Ketahanan Keluarga sampai akhirnya masuk prolegnas prioritas?
ADVERTISEMENT
Kita perlu tahu juga prosesnya ya, proses itu ada di DPR yang setiap 5 tahun harus ada program legislasi, daftar program legislasi mana sih yang kami bahas supaya tahu berapa jumlahnya dan apa yang mau dibahas kemudian didiskusikan. Itu didiskusikan, maka jadi program prioritas nasional per tahunnya. Sebetulnya kami juga lihat bahwa problem terbesar keluarga-keluarga di Indonesia ini kan belum memiliki basis dalam pembentukan di dalam kebijakan pembangunan, dan kita tahu bahwa ada banyak problem di dalam persoalan-persoalan keluarga kita. Sementara, presiden mengatakan bahwa kita ingin punya SDM unggul sehingga Indonesia maju. Sementara, pembentukan SDM unggul itu harus dari rumah dan keluarga, enggak bisa juga langsung tiba-tiba ke sekolah karena kami menginginkan membentuk keluarga tangguh. Keluarga tangguh yang memang di dalam seluruh anggota keluarga itu potensi-potensinya bisa kita kembangkan, potensinya bisa kita angkat sehingga mereka punya kemampuan kemandirian.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, kami menginginkan supaya fungsi keluarga itu optimal, fungsi penanaman nilai, fungsi pembentukan karakter, karena kan karakter harus dibentuk di keluarga, baru tahap berikutnya nanti di sekolah. Kemudian juga nilai religius, moral, pendidikan, pengasuhan, dan seterusnya. Kita optimalkan peran pertahanan keluarga ini supaya nanti membentuk ketahanan nasional. Kami yakin betul setiap keluarga itu punya macam-macam tantangan, setiap keluarga pasti beda enggak akan sama, kemudian apakah negara mengintervensi? Enggak, justru negara memberikan fasilitas supaya bisa tercapai.
Ledia Hanifa (kanan), anggota DPR RI Fraksi PKS. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Tidakkah dengan adanya RUU Ketahanan Keluarga membuat keluarga-keluarga di Indonesia diperlakukan secara homogenisasi?
Kalau dilihat enggak begitu, sebelah mananya yang disebut homogenisasi? Misalnya, ada ribut-ribut “Nanti ibu-ibunya ditarik di rumah?” Nah, kalau kita bilang bahwa ibu-ibu di rumah, enggak mungkin dong karena ada satu pasal terkait bagaimana kami mengusahakan 6 bulan cuti ketika melahirkan, kemudian menyediakan tempat menyusui di tempat kerja. Cuti kan buat mereka yang kerja, bukan cuti buat orang yang di rumah.
ADVERTISEMENT
Banyak pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga yang dianggap kontroversial, bagaimana Anda menilainya?
Pertama, kami juga lihat, kami kaji kembali, memberikan konteksnya seperti ini, bisa jadi karena memang belum tersosialisasikan, ini baru tahap awal, kami baru menyampaikan di badan legislasi sebagai pengusul untuk kemudian nanti akan dibahas. Jadi, baru sangat awal makanya pantas kalau kemudian masih banyak masukan-masukan karena juga memang belum duduk benar. Sebenarnya, maunya apa, sudut pandangnya bagaimana, dan keseluruhan isinya tuh mau mengarah ke mana. Kedua, pada setiap pembahasan undang-undang biasa ada pro dan kontra, justru nanti akan memperkaya pembahasan. Coba dicari di undang-undang mana sih yang enggak ada pro dan kontranya? Pasti ada. Cuma masalahnya ada yang mencuat ke publik, ada yang cuma buat para tenaga ahli, atau komoditas-komoditas tertentu. Karenanya, kami juga tetap membuka kesempatan untuk diskusi, Ayo kalau mau, kasih masukan tertulis dong, jadi meskipun sudah berkomentar di media sosial, kasih juga masukannya. Ada juga sih yang bagus, sudah berkomentar di media sosial dengan segenap masukannya, ada banyak yang cocok, tapi ada juga yang cuma komentar, khawatirnya mengomentari tapi belum baca. Itu kemudian yang kami bahas pada tahapan sekarang ini, kami menerima masukan, ayo deh masukin dong secara tertulis kira-kira apa yang mau di masukkan, di situ di sebelah mana sih keberatannya.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada tujuh pasal yang dinilai kontroversial, salah satunya ada di Pasal 25 yang isinya istri wajib urus rumah tangga. Apakah ini tidak malah mengerdilkan peran perempuan?
Jadi begini, pasal ini kenapa masuk, tadinya memang ini masih dalam perdebatan, kami masih bisa diskusikan lebih dalam. Ketika bicara urusan rumah tangga, konteksnya itu bukan nyuci, nyetrika, bukan, urusan rumah tangga itu besar. Mengatur rumah kemudian bagaimana dengan pendidikan anak, bagaimana melakukan pengelolaan terhadap rumah. Ketika istri mengelola urusan ini, dia bisa mendelegasikan, bisa dong sama suaminya sama-sama, misalnya dalam konteks mendidik anak, itu kan kewajiban, tapi ini harus ada manajernya dan itu adalah perempuan. Karena ketika dikatakan bawah ini adalah urusan rumah tangga terjadi pada tataran domestik, akhirnya orang memaknainya seperti itu. Padahal, misalnya contohnya begini, misalnya nanti ibunya kerja, itu bisa didelegasikan ke orang, tapi tetap harus ada manajernya dong. Masak bentuk rumah kita terserah pembantu, gimana maunya pembantu gimana, kan enggak. Kami ingin manajemen itu dipegang ibu, bukan pembantu. Perkara pasal ini masih banyak perdebatan, enggak apa-apa, nanti kita diskusikan, nanti mana yang mau dievaluasi atau yang mau didiskusikan.
Ledia Hanifa, anggota DPR RI Fraksi PKS. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Jadi, pasal ini bukan melarang perempuan untuk bekerja?
ADVERTISEMENT
Oh enggak, justru ini kami menghidupkan urusan rumah tangga, manajernya urusan rumah adalah sang ibu dan manajer tetap bisa diserahkan kepada suami-istri.
Tidak juga memaksa perempuan harus di dapur, kembali ke budaya patriarki?
Enggak seperti itu.
Di media sosial banyak yang menilai RUU Ketahanan Keluarga mengerdilkan peran agama?
Oh ya, sebelah mananya, ya?
Karena selama ini sudah diatur dalam setiap agama dan diyakini oleh pemeluk agama masing-masing sudah memberikan aturan atau ajaran sendiri dalam membangun keluarga...
Saya sih enggak nangkap mengerdilkan, justru ini memberikan kesempatan, jadi kita basisnya itu adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan itu mengakui sebagaimana semua yang diatur di dalam agama-agama tentang keluarga. Ketika bicara tentang pembentukan keluarga yang seringkali tidak tersorot yakni soal pasal tentang pengasuhan. Pengasuhan di dalam keluarga, pengasuhan dalam keluarga besar kemudian juga pengasuhan ketika orang tuanya enggak ada, maksudnya misalnya ketika orang tuanya bekerja di luar negeri atau di luar kota dan seterusnya, itu siapa yang akan melakukan pengasuhannya. Itu termasuk yang kami diskusikan di dalamnya bahkan termasuk ketika ada anggota keluarga yang dia tidak berdaya, misalnya penyandang disabilitas atau ada lansia telantar, yang anaknya lebih dulu meninggal atau anaknya pergi karena enggak punya uang, enggak bisa balik lagi, itu sudah sangat banyak di Indonesia dan siapa pengampunya. Nah yang begitu itu tetap ada, dan saya yakin semua agama juga menyetujui dalam pengasuhan, dalam memberikan perlindungan pada orang tua, jadi saya belum ketemu di mana mengerdilkan agama.
Ledia Hanifa, anggota DPR RI Fraksi PKS. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
RUU Ketahanan Keluarga ini juga dikritik karena terlalu masuk ke ranah privat dan sebenarnya sudah ada undang-undang lain yang mengatur misalnya UU PKDRT, bagaimana anda menilai?
ADVERTISEMENT
Kalau terlalu privasi sebenarnya UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga) lebih privat, tetapi kami bukan mau bicara soal itu. Ada yang belum diatur, maka kami perlu atur, makanya kenapa kami membuka ruang diskusi, ada yang dimaknai bahwa ternyata sudah ada di peraturan undang-undang lain, itu bisa didiskusikan lebih dalam. Karena persoalan ini kan bukan harga mati, kayak mau perang saja. Bagian dari yang perlu didiskusikan itu biasa dalam pembahasan undang-undang, makanya kalau misalnya ini sudah diatur, mari kita lihat pengaturan di PKDRT. Di PKDRT itu konteksnya adalah konteks pidana, sementara di RUU Ketahanan Keluarga, jika ada penyimpangan seksual di dalam keluarga, maka anggota keluarganya harus lapor. Kenapa? Kayak misalnya, kasus inses di dalam keluarga enggak ketahuan, misalnya pelakunya orang tua, korbannya anak pertama, kalau enggak dilaporin korban berikutnya bisa adiknya dan itu sudah sudah sangat banyak terjadi.
ADVERTISEMENT
Kalau mau melaporkan pasti malu, karena ini anggota keluarganya, kalau enggak dilaporkan akan timbul korban berikutnya. Kalau di dalam rancangan undang-undang ini justru kalau ada hal-hal yang seperti ini dilaporkan, konteksnya bukan untuk tindak pidana. Pidananya itu dikerjakannya nanti di undang-undang yang lain, tetapi ini untuk direhabilitasi baik si korban atau pelaku. Sebab kalau yang direhabilitasi cuma korban, pelakunya enak dong, nanti melakukan lagi. Kejadian-kejadian kejahatan seksual yang berulang itu karena pelaku tidak direhabilitasi, supaya nanti tidak terjadi pengulangan kejahatan yang sama, mungkin itu kekerasan atau bentuk lain, jadi pendekatan lebih kepada preventif.
Jadi, yang melapor bukan hanya korban, tetapi pelaku juga bisa?
Bisa melapor, misalnya pelaku merasa “Kok, saya jadi begini ya?” Mungkin karena tekanan, mungkin akibat, misalnya, karena dia di PHK, sehingga kemudian dia melakukan tindakan-tindakan seperti itu, dan begitu dia sadar, dia lapor, itu bagus.
ADVERTISEMENT
Apakah nantinya akan ada lembaga-lembaga khusus untuk menerima laporan-laporan dari pihak keluarga?
Di negara ini sudah punya badan yang mengurusi keluarga, ada BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Ini tinggal diperpanjang saja tangannya untuk menjadi semacam pusat layanan. Nanti ketika kemudian mereka lapor, mereka bisa difasilitasi sehingga keluarga ini bisa menyelesaikan krisisnya dan bisa masuk pada kemandirian yang lebih baik lagi.
Kontroversi lain adalah Pasal 33 tentang pemisahan kamar orang tua dengan anak. Jika melihat kondisi riil di Indonesia dengan banyaknya rumah-rumah bedeng misalnya, bukankah hal itu sulit dilakukan?
Harusnya baca di pasal berikutnya, ada di Pasal 36. Itu kami mendorong pemerintah untuk memberikan fasilitasi bagi keluarga-keluarga supaya memiliki hunian yang layak huni. Kami menetapkan standar minimal, kalau yang enggak bisa memenuhi gimana? Pemerintah harusnya memfasilitasi, apakah nanti dalam bentuk pinjaman, apakah nanti dengan apa pengurangan DP misalnya, atau membangunkan rumah susun. Kenapa kami memberikan secara spesifik hal-hal seperti ini, karena pada kasus-kasus kejadian inses atau penyimpangan, anak melihat tindakan seksual yang sedang dilakukan oleh orang tuanya. Bayangkan saja kalau zaman sekarang, kerennya studio lah disebutnya, padahal itu kan rumah petak, di banyak tempat satu rumah petak tuh diisi oleh 15 orang dari 3 keluarga yang berbeda. Kalau orang dewasanya kemudian enggak bisa menahan, karena mereka kan juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi, ada banyak orang, mungkin ada anak yang melihat itu, kan anaknya akan terpapar, berikutnya dia akan melakukan hal itu, dan itu sudah banyak kejadian. Karenanya kami mau mereka tumbuh kembang dengan baik dan kami berikan fasilitas.
ADVERTISEMENT
Terus, banyak yang nanya, di rumah-rumah bedeng bagaimana? Justru kami berikan fasilitas. Kalau misalnya mau bikin rusun, kira-kira (standar) rusun yang harus bagaimana. Bisa diberikan juga kemudahan untuk mereka yang lebih memerlukan. Jadi prioritasnya diberikan pada keluarga rentan, karena kan kita juga enggak mungkin mau menuntut mereka sendiri, tapi pemerintah harus hadir. Karena kalau kami tidak mau fasilitasi kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada anak mereka, dan itu kerugian negara, karena mestinya anak-anak ini kan jadi pemimpin di masa yang akan datang.
Menyusuri Rumah Bedeng Di Kalijodo Foto: Wandha Nur/kumparan
Butuh waktu berapa lama untuk pemerintah bisa menyediakan hunian yang layak untuk orang-orang miskin?
Sepanjang pemerintahnya punya niat, pasti bisa, itu perlu waktu yang sangat panjang, tapi kan enggak mesti pemerintah bisa jadi CSR (Corporate Social Responsibility) fokusnya ke arah sana. Kami memberikan dorongan kalau kita mempunyai cita-cita pengin punya SDM yang bagus dan unggul, dari situ mulainya.
ADVERTISEMENT
Jika pasal tersebut masuk dalam undang-undang, apakah orang tua yang tidak mampu memisahkan kamar dengan anaknya akan masuk ke dalam pelanggaran hukum?
Enggak, kami justru ingin memberikan satu standar yang mestinya bisa dicapai. Kalau keluarga yang mampu, silakan cepat, kalau tidak mampu, pemerintah yang bertanggung jawab untuk memenuhi itu, karena makanya bacanya (RUU Ketahanan Keluarga) jangan satu-satu.
Berarti ada pengecualian buat mereka yang tinggal di bedeng-bedeng, tidak apa-apa?
Kalau dibilang enggak apa-apa berarti pemerintah yang salah, berarti enggak memberikan fasilitas. Sebetulnya, kami menginginkan bagaimana supaya bisa membangunkan iklim yang bagus, tentu enggak ada sih undang-undang yang bisa langsung jadi, semua harus pakai proses. Kita tuh sudah punya undang-undang KPR (Kredit Pemilikan Rumah), tetapi buat siapa? Ini ada keluarga rentan, berisiko, dan kita harus meminimalisir risikonya.
ADVERTISEMENT
Anda bilang cukup banyak kejadian inses, sebenarnya apakah sudah ada kajian ilmiah atau riset terkait gejala ini?
Ada jelas, dan itu sudah bukan kajian lagi, sudah jelas. Kita tahu itu kan terpapar secara visual dan kami sudah menemukan banyak kasus di lapangan yang sampai sekarang enggak teratasi. karena kita tidak melakukan rehabilitasi terhadap orang tua. Orang tua mungkin merasa bersalah juga. Rehabilitasi itu bukan berarti kayak narkoba, bukan cuma itu. Rehabilitasi itu pertama memberikan kesadaran, kemudian memberikan dorongan untuk memperbaiki perilaku, sambil si anak ini juga dilakukan rehabilitasi, supaya mereka juga bisa tetap tumbuh berkembang, tidak ada trauma dan segala macam. Nah, hal yang berikutnya nanti diselesaikan adalah dengan undang-undang Perlindungan anak misalnya.
ADVERTISEMENT
Dengan gelombang protes terhadap RUU Ketahanan Keluarga, apakah para inisiator masih solid mengingat dari fraksi-fraksi juga merasa kecolongan kader mereka menginisiasi...
Jadi kalau secara undang-undang kita harus paham bahwa pengusulan undang-undang itu bisa melalui anggota, usulan dari masyarakat, lewat anggota boleh, lewat pemerintah bisa, atau badan legislasi bisa. Kalau usulan individu, ya, memang menjadi haknya individu, haknya anggota, dan ketika kemudian anggotanya bersikap, belum tentu fraksi memberikan dukungan, dan itu dinamika di dalam politik, biasa saja. Yang kedua, apakah kemudian jadi mundur? Enggak, justru kita pengin ngajak semua yang memberikan komentar, yang memberikan sikap kontra, ayo dong kita ngumpul, ayo kita diskusi, sebenarnya di sebelah mana sih masalahnya. Yang kayak gitu biasa dalam pembahasan undang-undang, tinggal yuk kita duduk bareng.
ADVERTISEMENT
Termasuk pemerintah yang juga nadanya terkesan tidak setuju?
Ini belum bahas dengan pemerintah, baru internal. Statement mah terserah saja. Sama kayak Omnibus Law belum sampai ke kita, tapi sudah ramai.
Ledia Hanifa, anggota DPR RI Fraksi PKS. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Apa langkah strategis yang dilakukan ke depannya?
Langkah awalnya sebenarnya kami minta masukan lebih banyak. Kita harus menyadari betul bahwa keluarga itu adalah struktur terkecil dalam strata sosial yang akan menjadi cikal bakal membangun negara, kalau ketahanan keluarga ini baik, maka ketahanan nasional baik. Di dalam UUD pasal 28 jelas diberikan hak untuk berkeluarga, terus berkeluarga yang seperti apa, tentu negara juga harus memberikan perlindungan dan kesempatan untuk mereka bertumbuh kembang dengan baik. Karena itu, kita sama-sama sepakat bahwa keluarga itu adalah cikal bakal tulang punggungnya sebuah negara, bisa berkembang karena SDM-nya nanti akan disumbang dan didukung oleh keluarga. Yuk, kita duduk bareng, apa sih sebenarnya yang mau kita capai, terus gimana kita mencapainya, apa yang perlu diperbaiki, kan gitu enak ngomongnya.
ADVERTISEMENT
Seberapa yakin Anda RUU Ketahanan Keluarga ini akan lolos?
Ini kan berproses, proses kan bukan menang-menangan, proses itu ayo kita jalanin, ayo kita mengajak sebanyak mungkin komponen untuk terlibat, yuk kita diskusikan, kita bahas sama-sama, apa sih yang bisa diperbaiki, apa yang dianggap salah. Kemudian masing-masing pasti punya argumentasi, yuk kita perbaiki, nanti prosesnya akan berjalan dengan sendirinya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten