Cover To the Point WNI Wuhan di Natuna.

Wawancara WNI yang Dievakuasi dari Wuhan: Diejek Bawa Pulang Virus Corona

21 Februari 2020 14:11 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Nada-nada penolakan terdengar lantang seiring rencana pemerintah untuk memulangkan WNI dari Wuhan menuju Natuna untuk diobservasi. Masyarakat sekitar merasa khawatir daerah mereka nantinya akan terpapar virus corona.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, seiring berjalannya waktu, teriakan lantang itu lama-kelamaan menghilang. Tak ada gangguan kepada para WNI dari Wuhan ketika menjalani observasi di Natuna selama dua pekan.
Salah satu WNI dari Wuhan, Fadil, menyatakan pihaknya memahami penolakan dari masyarakat sekitar. Akan tetapi, persoalan itu sudah usai setelah dilakukan pendekatan oleh pemerintah dan pihak keamanan.
“Kalau saya lihat wajar, tapi setelah ada dialog, belakangan sudah menerima. Bahkan, ketika kepulangan kami kemarin, mereka mengantar ke bandara, saya juga banyak di DM (direct message) sama teman-teman dari Natuna, mereka bilang, ‘Bang, maafin ya, kita sempat nolak di awal’,” ujar Fadil ketika berbincang dengan kumparan.
Fadil juga menceritakan pengalamannya selama menjalani masa observasi. Lantas, aktivitas apa saja yang dilakukan para WNI di Natuna? Bagaimana pula pengalaman mereka ketika terkunci di Wuhan dengan virus corona yang mengintai mereka? Simak wawancara kumparan berikut ini.
Cover To the Point WNI Wuhan di Natuna. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Bisa diceritakan aktivitas selama observasi di Natuna?
ADVERTISEMENT
Fadil: Kegiatannya sangat tertata rapi, karena kami dipantau dari Kementerian Kesehatan dan TNI. Waktu makan, waktu istirahat, waktu main, waktu olahraga, semuanya sudah diatur. Kegiatannya ya have fun saja ya. Kami bangun pagi-pagi lalu sarapan, ada juga waktu kosong, ada dilakukan bersama-sama seperti belajar, karena memang ada teman-teman yang masih S1, S2 bahkan ada yang lagi tesis juga.
Kabarnya, ada kelas-kelas juga yang dibuka di sana?
Fadil: Ya, belajar bareng sesuai kemampuan masing-masing, jadi kami list semua. Yang bisa Bahasa Mandarin siapa, bisa Bahasa Inggris siapa, ada psikolog juga yang buka konseling, bagi yang mau datang silakan, enggak ada paksaan.
Apa ada pantangan khusus selama masa observasi?
Sapriadi: Tidak, tidak ada pantangan.
ADVERTISEMENT
Apakah benar selama masa observasi harus memakai masker?
Fadil: Betul, wajib. Diawal karantina wajib pake masker, sampai hari pelepasan (pulang) baru ketika dari Kementerian Kesehatan sudah bilang ‘oke’, kami boleh buka masker karena kami sudah sehat.
Mahasiswa asal Aceh yang mengikuti observasi virus corona di Natuna, Sapriadi. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ketika teman-teman WNI dari Wuhan datang ke Natuna sempat terjadi penolakan dari warga sekitar, kalian melihatnya seperti apa?
Fadil: Kalau saya pribadi sih lihatnya wajar, kalau saya di posisi mereka mungkin akan seperti itu juga. Karena itu kan ada virus, datangnya tiba-tiba, bahkan enggak ada konfirmasi dari pemerintah pusat (China) langsung, kami tahunya dari media. Kalau saya lihat wajar, tapi setelah ada dialog, belakangan sudah menerima, bahkan ketika kepulangan kemarin mereka mengantar ke bandara, bahkan saya juga banyak di DM (direct message) sama teman-teman dari Natuna, mereka bilang, “Bang, maafin ya, kita sempat nolak di awal”.
ADVERTISEMENT
Sapriadi: Ya, wajar kalau masyarakat sekitar merasa khawatir ya, mungkin juga karena kurangnya komunikasi.
Seiring dengan masifnya berita mengenai virus corona, banyak juga informasi hoaks yang semakin memperparah keadaan. Bagaimana pandangannya?
Fadil: Ya betul, waktu kami masih di Wuhan banyak video orang tumbang di jalan. Kalau saya pribadi saya enggak bisa melihat video itu valid ya, karena bisa jadi itu kejadiannya kapan saya enggak tahu, saya sendiri enggak lihat.
Sapriadi: Ya, kami juga enggak pernah lihat langsung kejadian seperti itu.
Mahasiswa asal Aceh yang mengikuti observasi virus corona di Natuna, Fadil. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Kalian kan beda kampus, bagaimana ceritanya bisa saling kenal?
Fadil: Pertama kenal Sapriadi di Wuhan. Ini lucu ceritanya, Sapriadi lagi liburan ke Wuhan akhir Desember kemarin. Saya tanya ke dia, ‘Yakin mau ke Wuhan? Lagi virus lho’. Dia jawab enggak apa-apa karena sudah janjian sama teman-temannya. Setelah itu datanglah dia ke Wuhan. Harusnya tanggal 24 Januari sudah balik ke Beijing, tapi tanggal 23 sudah lockdown. Akhirnya, mereka terkurung di Wuhan.
ADVERTISEMENT
Sapriadi: Iya, tanggal 24 Januari saya sudah siap-siap balik sebetulnya, tapi tanggal 23 Januari enggak bisa ke mana-mana.
Ketika sudah lockdown, alhasil kamu tidak bisa pulang ke Beijing, bagaimana kamu menghadapinya ketika itu?
Sapriadi: Waktu itu masih tenang, karena ada Bang Fadil, ada teman-teman lain, cuma harus nunggu saja enggak tahu sampai kapan.
Benarkah kondisi di Kota Wuhan sangat sepi ketika virus corona menyebar?
Fadil: Ya, sepi sekali, saya awalnya melihatnya karena ini libur kuliah ya, terus perayaan Imlek. Tapi, biasanya setelah Imlek kembali seperti biasanya, cuma saat itu masih sepi saja, mungkin karena corona. Bahkan, tanggal 1 Februari saat evakuasi menuju bandara jalanannya sepi sekali.
Apakah sempat kesulitan cara bahan makanan ketika itu?
ADVERTISEMENT
Fadil: Beberapa item iya, kami sempat kehabisan beras, tapi beberapa hari kemudian kami balik (ke toko) sudah ada lagi. Ada beberapa kampus yang kebijakannya mengantar makanan ke mahasiswanya seperti Wuhan University, kampus saya juga diantarin makanan setelah kami dievakuasi enggak boleh keluar kamar lagi, tapi kalau kampus lain setelah di-lockdown memang langsung dikirimi makanan.
Warga Negara Indonesia (WNI) swafoto usai menjalani masa observasi di Hanggar Pangkalan Udara TNI AU Raden Sadjad, Natuna, Riau. Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Bagaimana respons teman-teman WNI di Wuhan begitu mendengar pemerintah akan melakukan evakuasi?
Sapriadi: Kami telat tahunya, pas sudah mau berangkat. Walaupun begitu, kami sangat bahagia tahu mau dievakuasi.
Fadil: Kalau evakuasi, kan sudah gembar-gembor di media bahwa kami ingin dievakuasi, setiap hari intens komunikasi dengan perkumpulan pelajar Indonesia di Wuhan, dengan KBRI, dengan Kemenlu, kami paham ada tahapan-tahapan dalam evakuasi. Tanggal 31 Januari, pihak KBRI datang ke Wuhan ada 5 orang, datang ke kampus-kampus, kami di-briefing soal apa saja yang harus disiapkan. Pastinya, kami senang dong karena memang ini yang ditunggu-tunggu, kami ingin pulang, orang tua juga pasti senang.
ADVERTISEMENT
Ketika di Bandara, ada beberapa orang yang tertahan karena dinyatakan tidak sehat. Bisa diceritakan soal itu?
Sapriadi: Itu yang kami sangat menyayangkan, padahal kami berharap bisa pulang semua, tapi ada tiga orang yang nyangkut di bandara. Tapi, ada empat orang yang secara sadar, mereka enggak mau pulang, mereka mau tinggal di Wuhan.
Fadil: Memang, untuk tiga teman saya yang kebetulan teman satu kampus saya di CCNU, jadi semuanya bisa saya bilang kita pada saat itu dalam keadaan yang kurang sehat karena sudah lama di asrama, tertekan, dengan kabar yang masih belum tahu kapan pulang. Jadi wajar saja saya rasa kami sakit batuk dan pilek, pada saat itu saya juga merasakan hal yang sama. Tapi pada saat di bandara masuk ke imigrasi dengan pengecekan suhu, dua orang teman yang dimaksud punya suhu tinggi, di atas 36 derajat dan 1 teman yang satu kampus sama saya memang kebetulan lagi batuk, makanya bertahan. Ketika sudah tahu, pihak KBRI juga sudah mencoba komunikasi dengan otoritas bandara, minta tolong bahwa ini bukan virus, tapi memang lagi batuk, kecapekan saja. Tapi, saat itu memang pihak bandara juga enggak mengizinkan mereka pulang dan memang harus tinggal.
ADVERTISEMENT
Masih komunikasi dengan mereka sampai sekarang?
Fadil: Masih, yang paling bisa kami lakukan sekarang kasih dukungan, tanya gimana kabarnya, mereka juga cerita sekarang makanan diantar ke asrama karena di sana memang sudah enggak bisa keluar lagi, enggak bisa keluar kamar. Kalau dulu, kami sebelum evakuasi masih bisa beli makanan sendiri, sekarang kondisinya mereka di kamar, enggak bisa kemana-mana. Kita doakan semoga teman-teman disana kuat ya.
Hingga saat ini, belum ditemukan penderita corona di Indonesia, punya pandangan soal ini?
Fadil: Kalau lihat dari berita dibilang bahwa Indonesia tidak punya alat pendeteksi virus, cuma kalau menurut saya pribadi sih, ini mungkin suatu kuasa Tuhan, kenapa Indonesia sampai saat ini tidak ada virus, kalau dari saya sih ini kuasa Tuhan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Anda melihat peran pemerintah terhadap para WNI?
Fadil: Saya salut juga saat di Wuhan, selain pemerintah pusat, keterlibatan pemerintah daerah juga cukup andil. Bisa saya bilang bahwa Provinsi Aceh jadi salah satu provinsi yang pertama memberikan bantuan langsung kepada masyarakat Aceh di sana. Kami juga terus komunikasi dengan pihak Pemerintah Aceh, jadi saya mewakili mahasiswa berterima kasih ke pemerintah, saya juga berterima kasih ke Pemerintah Aceh, kami dijemput lalu difasilitasi tempat tinggal, sampai tiket pesawat diberikan semua.
Warga Negara Indonesia (WNI) dari Wuhan beraktivitas di di tempat observasi, di hanggar Lanud Raden Sajad, Natuna. Foto: Twitter/@kemenkesri
Ketika kembali ke keluarga, adakah kekhawatiran mereka menerima informasi yang tidak lengkap terkait dengan hasil observasi yang telah dilakukan?
Sapriadi: Kalau saya sudah yakin saya sehat, karena dari Kemenkes sudah menginformasikan saya sudah sehat. Mungkin ada satu-dua orang kawan kami sekadar bercanda, kami juga sudah ada sertifikat.
ADVERTISEMENT
Fadil: Di sosmed kami juga di bercandain ‘Wah, Fadil mau bawa virus nih’. Ya, saya coba santai saja, kan dari Kemenkes sudah ada surat sehat konfirmasi sehat semuanya. Yang ingin saya sampaikan, tidak semuanya bisa seperti saya menghadapi semua ini, ada teman-teman yang di satu sisi mungkin menganggapnya semuanya candaan tapi bagi mereka tidak begitu. Ini bisa menurunkan psikis, kami sudah konfirmasi kalau kami sehat, yakin kami sehat, jangan ada lagilah bercanda ‘kamu bawa virus’, yang kami butuhkan dukungan, kalau enggak pulang ke Indonesia terus kami ke mana dong, ini kan rumah kami.
Bagaimana kelanjutan kuliah kalian berdua di China?
Sapriadi: Setelah saya libur, hampir setiap hari ada komunikasi dengan dosen, pokoknya setiap hari ada komunikasi, kalau masalah kampus kami untuk sementara memang disarankan untuk tidak balik ke kampus, malah tiket pesawat kalau mau beli jangan dulu, untuk sekarang kalau masalah kuliah kami lanjut, tapi secara online.
ADVERTISEMENT
Fadil: Pihak kampus memberitahu saya jangan balik dulu, suruh tinggal di rumah dulu.
Warga Negara Indonesia (WNI) bersiap meninggalkan ruang observasi di Hanggar Pangkalan Udara TNI AU Raden Sadjad, Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (15/2). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Setelah observasi selesai, semua kembali ke rumah masing-masing, adakah rasa kehilangan?
Fadil: Di satu sisi, kami pengin kembali ke rumah, tapi di sisi lain kami sudah merasa seperti keluarga di Natuna. Tapi, mau gimana, namanya hidup pasti ada pertemuan dan perpisahan.
Sapriadi: Yang jelas ada senang, ada sedihnya, tapi banyak senangnya, bisa sama-sama dengan kawan baru yang sekarang. Dapat banyak pengalaman, mulai makan sama-sama, belajar sama-sama.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten