WHO Pastikan Kabar COVID-19 Tak Ada dan Kematian Akibat Bakteri Sepenuhnya Hoaks

5 Mei 2021 17:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga yang menggunakan masker melintasi mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di kawasan Tebet, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Warga yang menggunakan masker melintasi mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di kawasan Tebet, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
ADVERTISEMENT
Hoaks soal COVID-19 masih terus beredar luas di dunia maya, termasuk kabar yang menyatakan bahwa penyakit COVID-19 itu tidak pernah ada.
ADVERTISEMENT
Menurut kantor berita Reuters, ada sebuah artikel yang diunggah di media sosial yang menyatakan bahwa autopsi jenazah COVID-19 di Rusia membuktikan tidak adanya COVID-19, dan selama ini orang-orang menderita penyakit pembekuan darah akibat bakteri.
Artikel tersebut berjudul “Rusia adalah negara pertama di dunia yang membedah jenazah COVID-19 (melanggar aturan WHO soal tidak diperbolehkannya autopsi untuk kematian akibat covid), dan setelah berlangsungnya investigasi menyeluruh, ditentukan bahwa COVID-19 tak pernah ada sebagai sebuah virus”.
Kabar tersebut adalah hoaks. Sebelumnya, klaim-klaim seperti ini sudah pernah beredar pada bulan Mei 2020 di Italia. Klaim dan hoaks yang dipaparkan oleh artikel tersebut berhasil dibantah dengan fakta-fakta.
Staf medis menggunakan alat pelindung diri (APD) melihat perawatan pasien terinfeksi virus corona di Istana Es Krylatskoye, Moskow, Rusia. Foto: Maxim Shemetov/REUTERS

Hoaks soal Autopsi Jenazah COVID-19

WHO tidak pernah melarang adanya autopsi terhadap jenazah COVID-19. Bahkan, pada September 2020, mereka merilis pedoman untuk prosedur keselamatan autopsi jenazah yang terinfeksi virus corona.
ADVERTISEMENT
Rusia bergantung pada analisis post-mortem (pasca-kematian) pasien untuk menentukan apakah kematian pasien terinfeksi virus corona itu disebabkan oleh COVID-19 atau tidak.
"Kami melaksanakan autopsi pada 100% kasus di penjuru Rusia, kecuali dengan alasan-alasan keagamaan. Dalam kasus penyakit menular, dan virus corona ini dianggap sebagai penyakit yang sangat menular, kami melakukan autopsi di 100% kasus," kata Deputi Perdana Menteri Rusia, Tatyana Golikova, pada Desember 2020.
Rusia juga bukan satu-satunya negara yang melakukan autopsi jenazah COVID-19. AS, Italia, Jerman, dan Inggris Raya juga melakukan prosedur yang sama.
Partikel virus SARS-CoV-2. Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS

Hoaks: Penyebab Kematian Adalah Bakteri

Artikel tersebut mengeklaim bahwa bakteri adalah penyebab kematian dan memicu pembentukan pembekuan darah dalam vena dan saraf. Selain itu, mereka menyebut bahwa virus penyebab COVID-19 itu tak pernah ada.
ADVERTISEMENT
WHO membantah klaim tersebut. Dikutip dari laman resmi WHO, virus penyebab COVID-19, yaitu SARS-CoV-2, adalah virus yang masuk ke dalam keluarga virus Coronaviridae. Kemudian, menurut WHO, orang yang terinfeksi COVID-19 dapat berkomplikasi dan terkena infeksi bakteri.
Pasien COVID-19 yang akut bisa mengidap pembekuan darah (koagulasi) abnormal, tetapi bukan berarti pasien tersebut mengalami kesalahan diagnosis atau perawatan.
Jurnal Kedokteran Inggris (BMJ) menyatakan, dokter-dokter menemukan pembekuan darah pada pasien COVID-19 akut, karena penyakit tersebut meningkatkan produksi faktor koagulasi pada hati yang menyebabkan lengketnya darah pasien.
Meski begitu, pembekuan atau penggumpalan darah hanyalah satu dari berbagai efek COVID-19, sehingga disimpulkan bahwa COVID-19 tidak sama dengan trombosis.
Ilustrasi Pria Fokus Menggunakan Handphone Foto: Shutterstock

Hoaks: Penyakit Disebabkan oleh Bakteri dan 5G

Artikel tersebut menyatakan bahwa para pasien mengalami kejadian di mana bakteri terpapar sinar 5G. Radiasi tersebut, menurutnya, dapat menyebabkan peradangan dan hipoksia, atau rendahnya kadar oksigen darah.
ADVERTISEMENT
WHO membantah klaim tersebut dengan menyatakan, dalam situs resminya, bahwa hingga saat ini penelitian-penelitian tidak menemukan adanya efek buruk pada kesehatan yang bisa dikaitkan dengan paparan teknologi nirkabel.
Paparan sinar 5G tetap berada di bawah pedoman internasional, sehingga tetap aman dan tidak akan berdampak buruk pada kesehatan.
Polemik obat corona. Foto: Indra Fauzi/kumparan

Klaim soal Obat-obatan Pasien COVID-19

Artikel tersebut menyebut, pasien yang mengidap penyakit tersebut dapat dengan mudah dirawat dengan meminum tablet antibiotik, anti-peradangan, dan anti-koagulan (obat pengencer darah).
Reuters telah membuktikan bahwa memang benar tablet anti-peradangan dan anti-koagulan dapat digunakan sebagai perawatan terhadap pasien COVID-19. Tetapi, antibiotik tidak digunakan dan tidak akan efektif untuk melawan infeksi virus.
Antibiotik hanya direkomendasikan kepada pasien COVID-19 yang juga mengidap infeksi bakteri. WHO dalam situs resminya menyatakan bahwa antibiotik tidak bekerja terhadap virus.
ADVERTISEMENT
Kemudian, beberapa obat anti-peradangan seperti deksametason dan ibuprofen untuk dua gejala COVID-19 yang berbeda. Deksametason, menurut Badan Pengawas Obat-obatan Eropa (EMA) mengatakan bahwa pasien COVID-19 yang mengalami kesulitan bernapas dapat menggunakan obat tersebut.
Sementara menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC), ibuprofen digunakan untuk meringankan gejala-gejala yang berkaitan dengan COVID-19, seperti demam.
Untuk pengencer darah, CDC mengizinkan penggunaan obat tersebut untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit dengan kondisi parah, tergantung dari komplikasi yang dideritanya.
Dari seluruh penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit COVID-19 itu ada dan disebabkan oleh virus, yaitu SARS-CoV-2, dan bukan karena bakteri maupun bakteri yang terpapar sinar 5G.
Kemudian, pembekuan darah (koagulasi) adalah salah satu dari banyak efek yang bisa terjadi pada tubuh pasien COVID-19, sehingga COVID-19 tidak sama dengan trombosis atau koagulasi.
ADVERTISEMENT
Lalu, obat-obatan anti-peradangan serta pengencer darah dapat digunakan pada situasi tertentu dan dalam pengawasan dokter. Sementara, obat-obatan antibiotik tidak akan bekerja melawan virus, sehingga tidak akan efektif digunakan oleh orang yang terpapar COVID-19, kecuali pasien yang juga terinfeksi bakteri.
****
Saksikan video menarik di bawah ini: