WNI Diaspora Gugat Presidential Threshold ke MK, Bandingkan dengan Pemilu AS

24 Februari 2022 11:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Gedung Mahkamah Konstitusi Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Gedung Mahkamah Konstitusi Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sidang gugatan Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden yang diajukan 27 WNI diaspora masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang sudah masuk dalam perbaikan permohonan.
ADVERTISEMENT
"Kami sudah melakukan perbaikan berdasarkan masukan-masukan dari Majelis Hakim dan tambahan dari kami. Setidaknya ada 11 poin perbaikan yang kami lakukan, di antaranya kami perkuat aspek perbandingan dengan negara-negara lain terkait persyaratan pencalonan sebagai presiden untuk memperkuat dalil-dalil kami," kata Muhamad Raziv Barokah selaku Kuasa Hukum Pemohon dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/2).
Ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut menurut Para Pemohon telah menyalahi Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan memilih maupun dipilih. Selain itu, keberadaan regulasi ambang batas pencalonan presiden tersebut berpotensi menciptakan pemerintahan yang tidak berpihak pada rakyat.
"Hadirnya Pasal 222 UU Pemilu telah mengakibatkan tertutupnya hak rakyat yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden, termasuk di antaranya WNI yang berada di luar negeri atau diaspora. Kebijakan pembatasan tersebut justru melanggengkan oligarki," tegas Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM periode 2011-2014 yang juga Kuasa Hukum Para Pemohon.
Denny Indrayana, pengacara Prabowo-Sandi. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Salah satu poin perbaikan Permohonan, di antaranya adalah perbandingan antara pemilihan presiden di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Para Pemohon menyanggah pernyataan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang mengatakan bahwa di Amerika Serikat hanya ada 2 partai politik, yakni Demokrat (Democrat) dan Republik (Republican) serta calon yang maju melalui jalur independen.
ADVERTISEMENT
“Salah besar apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengatakan Amerika Serikat hanya memiliki 2 partai politik. Justru ada banyak sekali. Bahkan pemilihan presiden tahun 2020 lalu secara resmi terdaftar sebanyak 1,212 kandidat presiden di Federal Election Commission (FEC), semacam KPU di Indonesia,” ungkap Chris Komari, WNI Indonesia yang telah menetap 30 tahun di Amerika Serikat, Aktivis Demokrasi dan Anggota City Council tahun 2002 dan 2008.
Menurut Chris, yang menjadi prinsip dasar dan fundamental dari sistem demokrasi adalah sejauh mana kedaulatan rakyat itu diterjemahkan, dijalankan, dihormati, dan diimplementasikan dalam pemerintahan, pemilihan umum, dan parlemen. Kedaulatan rakyat dipandang merupakan prinsip demokrasi yang tertinggi, bukan kedaulatan pemerintah, bukan kedaulatan presiden, bukan kedaulatan parlemen dan bukan kedaulatan partai politik.
ADVERTISEMENT
Chris menambahkan bahwa tidak ada satu pun negara di dunia yang menerapkan ambang batas pencalonan presiden. Menurut dia, justru, presidential threshold tersebut berdampak pada penurunan kualitas demokrasi di suatu negara.
Ilustrasi pemilu. Foto: SONNY TUMBELAKA/AFP
Chris pun menyinggung perihal indeks demokrasi di Indonesia menurun, yakni setidaknya karena 5 faktor sebagaimana dikemukakan oleh Economist Intelligent Unit, lembaga internasional yang selalu mengadakan survei setiap tahun untuk mengukur kualitas suatu negara. Antara lain: 1) elektoral proses dan pluralisme; 2) fungsi pemerintahan; 3) partisipasi politik; 4) kultur politik; dan 5) kebebasan sipil.
“Presidential threshold jelas akan mengurangi makna pluralisme dalam pilpres, mengedepankan fungsi partai politik daripada fungsi pemerintahan, mengurangi partisipasi politik masyarakat dalam pilpres karena telah dikuasai oleh partai politik, membentuk kultur politik yang berorientasi pada partai politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, dan mengurangi kebebasan sipil karena masyarakat biasa tidak akan pernah bisa menjadi kandidat presiden, terlebih kami WNI diaspora," tutup Chris.
ADVERTISEMENT
Diaspora yang menjadi Pemohon gugatan ini itu tersebar di Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Belanda, Prancis, Swiss, Singapura, Taiwan, Hong Kong, Jepang, Australia, dan Qatar.
Mereka menunjuk Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dan Denny Indrayana menjadi kuasa hukum mereka. Mereka ingin aturan PT 20 persen diubah menjadi 0 persen.