Xi Jinping Optimistis Hadapi COVID-19: Cahaya Harapan di Depan Kita

1 Januari 2023 13:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Cina Xi Jinping (kedua dari kanan) bersama dengan Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (kiri) dan Gubernur Bali I Wayan Koster (kanan) saat tiba di VVIP Terminal I Bandar
Internasional Bali I Gusti Ngurah Rai, (14/11).  Foto: G20 Indonesia Media Center/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Cina Xi Jinping (kedua dari kanan) bersama dengan Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (kiri) dan Gubernur Bali I Wayan Koster (kanan) saat tiba di VVIP Terminal I Bandar Internasional Bali I Gusti Ngurah Rai, (14/11). Foto: G20 Indonesia Media Center/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Presiden China Xi Jinping mengutarakan optimismenya dalam menghadapi lonjakan kasus infeksi COVID-19 yang menerpa negara itu selama beberapa pekan terakhir.
ADVERTISEMENT
Kasus harian di China bisa bertambah satu juta kasus sehari. Menurut Xi, cahaya harapan masih ada di depan sana dan kondisi yang saat ini kacau, akan membaik.
Hal itu ia sampaikan dalam pidato menjelang Tahun Baru yang disiarkan di televisi, pada Sabtu (31/12). Xi menyampaikan, kali ini pengendalian COVID-19 di China sudah memasuki ‘fase baru’.
“Pencegahan dan pengendalian epidemi memasuki fase baru. Semua orang berusaha dengan tabah, dan cahaya harapan ada di depan kita,” tutur Xi, seperti dikutip dari AFP, Minggu (1/1).
Kesempatan itu merupakan yang kedua kalinya Xi mengomentari kasus infeksi COVID-19 di pekan ini. Sebelumnya, pada Senin (26/12) pemimpin berusia 69 tahun itu menyerukan langkah-langkah cara efektif untuk melindungi kehidupan masyarakat dari wabah corona.
ADVERTISEMENT

Tantangan bagi China

Tindakan pemerintah Partai Komunis China itu sangat kontras dibandingkan yang diterapkan semula sejak kemunculan COVID-19 tiga tahun lalu.
Sebelumnya, pemerintah lebih berfokus pada pencegahan infeksi, sehingga memberlakukan protokol kesehatan ketat nol-Covid.
Namun sekarang, pemerintah justru lebih mengedepankan cara pencegahan kelompok rentan dari gejala COVID-19 yang lebih parah dan perlindungan kesehatan masyarakat itu sendiri.
Petugas jasa pengiriman mengambil pesanan obat di sebuah apotek, di Beijing, China, Selasa (6/12/2022). Foto: Thomas Peter/REUTERS
Dengan kata lain, China sudah berangsur-angsur mulai terbuka dan hidup berdampingan dengan virus corona — seperti aturan yang sudah diberlakukan oleh banyak negara lainnya.
Dalam mewujudkan upaya itu, pemerintah secara mendadak mulai melonggarkan berbagai pembatasan.
Sejak awal Desember 2022, aturan wajib tes antigen harian massal, karantina terpusat bagi mereka yang terinfeksi COVID-19, dan penutupan perbatasan telah dicabut.
ADVERTISEMENT
Namun, pelonggaran pembatasan yang semula sangat ketat lalu dicabut secara tiba-tiba justru membuktikan ketidaksiapan otoritas China menghadapi reformasi itu.
Rumah Sakit di China Kewalahan Rawat Pasien COVID-19. Foto: China Daily via REUTERS
Akibatnya, jumlah kasus infeksi sesungguhnya tidak lagi terdeteksi, berbagai rumah sakit di penjuru China dibanjiri oleh pasien COVID-19 yang sebagian besar berusia lanjut, hingga kekurangan tenaga medis.
Selain itu, pusat krematorium di Beijing juga terpaksa beroperasi 24 jam demi memenuhi permintaan kremasi dan berbagai apotek mengalami keterbatasan obat-obatan pereda demam, seperti parasetamol dan ibuprofen.
Meski demikian, otoritas China tetap melanjutkan reformasi pelonggaran pembatasan COVID-19 itu.
Pertama kalinya dalam tiga tahun, para pelancong asing yang tiba di China sudah tidak lagi diwajibkan melakukan karantina dan warga negaranya diizinkan bepergian ke luar negeri mulai 8 Januari 2023.
ADVERTISEMENT

Tanggapan Dunia dan Organisasi Internasional

Menanggapi kabar tersebut, berbagai negara mulai memberlakukan berbagai aturan. Terdapat negara yang langsung melarang kedatangan turis asal China — terlepas apa pun kewarganegaraannya, seperti Maroko.
Tetapi, ada juga sebagian besar negara yang masih mengizinkan pelancong asal China masuk, dengan syarat harus menyertakan hasil tes negatif COVID-19. Aturan ini diterapkan oleh Prancis, Italia, Malaysia, Korea Selatan, Jepang, Kanada, dan Australia.
Kepala WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus. Foto: AFP/PIERRE ALBOUY
Menyikapi lonjakan kasus COVID-19 di China dan peraturan terbaru yang diberlakukan berbagai negara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) turut berkomentar.
Ketua WHO, Tedros Ghebreyesus, mengatakan langkah-langkah pencegahan yang diambil oleh beberapa negara itu dapat dimaklumi dan wajar dilakukan, mengingat kurangnya informasi transparan tentang angka infeksi COVID-19 sesungguhnya di China.
ADVERTISEMENT
“Dengan tidak adanya informasi yang komprehensif dari China, dapat dimengerti bahwa negara-negara di seluruh dunia bertindak dengan cara yang mereka yakini dapat melindungi populasi mereka,” jelas Ghebreyesus.
Penumpang menggunakan alat pelindung terlihat di Bandara Internasional Tianhe, Wuham Hubei, China, Rabu (8/4). Foto: REUTERS / Aly Song
Selain itu, pada Jumat (30/12) pihak WHO juga mengaku telah bertemu dengan para otoritas China untuk membahas terkait lonjakan kasus COVID-19 di Negeri Tirai Bambu.
“WHO kembali meminta pembagian data spesifik dan real-time secara teratur tentang situasi epidemiologi — termasuk lebih banyak data sekuensing genetik, data tentang dampak penyakit termasuk rawat inap, penerimaan unit perawatan intensif, dan kematian,” demikian pernyataan dari pihak WHO.
WHO juga meminta data transparan dari otoritas China terkait program vaksinasi — khususnya di antara kelompok rentan dan lansia di atas 60 tahun. Namun, Beijing menegaskan kembali bahwa statistik COVID-19 yang mereka himpun telah transparan sejak awal pandemi menerpa.
ADVERTISEMENT