Yang Berubah Setelah Pandemi Corona Ditetapkan Jadi Bencana Nasional

15 April 2020 7:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pekerja medis yang mengenakan pakaian pelindung menggunakan telepon genggam yang dibungkus dengan plastik. Foto: REUTERS / Willy Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pekerja medis yang mengenakan pakaian pelindung menggunakan telepon genggam yang dibungkus dengan plastik. Foto: REUTERS / Willy Kurniawan
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menetapkan pandemi virus corona sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, banyak pihak yang menilai Keppres itu terlambat. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai Keppres seharusnya keluar sejak awal penanganan virus corona. Sebab penting menggunakan konteks kedaruratan untuk mengambil kebijakan di luar 'kelaziman' karena harus dilakukan dengan cepat.
"Bencana, menurut UU Penanggulangan Bencana, dimaknai juga sebagai kondisi yang membutuhkan kecepatan tanggap darurat," kata Bivitri saat dihubungi, Senin (13/4) malam.
Presiden Joko Widodo mengikuti KTT ASEAN Plus Three secara virtual dari Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (14/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Biro Pers - Lukas
Dengan adanya kondisi kedaruratan bencana, maka tindakan melanggar kelaziman dalam hukum tata negara sah dilakukan. Apalagi dengan wewenang Presiden sebagai kepala pemerintahan, misalnya pengalihan anggaran APBN dan APBD.
"Padahal sangat mungkin ada kebutuhan dana ekstra yang harus sesegera mungkin direlokasikan dari APBN atau APBD," tuturnya.
Kritik lainnya adalah potensi tumpang tindih antara Keppres yang telah dikeluarkan Jokowi. Sebelumnya, Jokowi juga telah mengeluarkan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Jalur kedua adalah Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non-alam. Dua jalur ini berpotensi tumpang tindih pengalokasian anggaran dan koordinasi. Dan tentunya juga kebingungan masyarakat," jelasnya.
Petugas melakukan imbauan kepada pengendara motor untuk dapat mematuhi penerapan PSBB di jalan cempaka putih raya, Cempaka Putih, Jakarta (11/4). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Di sisi lain, dengan penetapan bencana nasional ini maka kewenangan penanganan corona sepenuhnya berada di bawah komando Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Letjen Doni Monardo. Sehingga pemerintah daerah diminta patuh terhadap segala kebijakan dan keputusan pemerintah pusat.
"Pemerintah daerah harus menjadi supporting system dalam menuntaskan penanganan COVID-19. Dengan adanya Keppres 12/2020 ini, pemerintah daerah harus patuh. Tidak hanya pada saat pengajuan status PSBB, tetapi ketika diminta menggunakan seluruh resources yang ada di daerah," ujar anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay.
ADVERTISEMENT
Meski posisi Doni diperkuat dengan adanya status bencana nasional, masih ada catatan yang harus diperhatikan oleh Kepala BNPB itu.
"Jadi antara Keppres tentang gugus tugas dan Keppres tentang penetapan bencana nasional sebetulnya saling mendukung. Cuma cara mengkoordinasikannya, kami dari Komisi VIII melihat Pak Doni masih kurang powerful sebagai ketua," kata Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Foto: ANTARA FOTO/Dewanto Samodro
Meski demikian, Marwan menilai Keppres Nomor 9 tentang Perubahan atas Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dianggap kurang menguatkan Doni Monardo dalam memimpin gugus tugas. Sehingga kewenangan Gugus Tugas kembali ditegaskan dalam Keppres tentang penetapan corona menjadi bencana nasional.
"Mungkin di dalam Keppres tentang Gugus Tugas, kita melihat masih kurang kuat Keppresnya sehingga Pak Doni sebagai Ketua Gugus Tugas agak kewalahan mengkoordinasikan antarlembaga yang sebagai pelaksana tugas di dalamnya," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Kita tahu bahwa sebagian urusan ada di Kemenkes, sebagian tugas tentang penanganan sosial ada di Kemensos. Kemudian di pengangguran, tentang kartu prakerja kemudian ada pemulihan ekonomi dan lainnya," lanjut Marwan.
Di sisi lain, penetapan wabah virus corona sebagai bencana nasional memiliki dampak. Di antaranya membuka pintu bantuan, khususnya bantuan internasional, untuk penanggulangan corona di Indonesia.
Selain itu, status ini juga menegaskan posisi Gugus Tugas Penanganan COVID-19 yang dipimpin Kepala BNPB Doni Monardo, yang mengkoordinir penanganan corona.
"Oleh karena itu, gubernur, bupati, wali kota, akan memerankan sebagai Kepala Gugus Tugas COVID-19 di daerah masing-masing dan punya wewenang menetapkan kebijakan di daerah masing-masing dengan memperhatikan kebijakan pusat," ucap juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto.
ADVERTISEMENT
Penetapan bencana nasional itu juga berdampak pada sejumlah sektor, termasuk ekonomi dan industri keuangan. Salah satunya, status bencana nasional dinilai bisa menjadi dasar status force majeure atau overmacht, yang disebut sebagai keadaan memaksa (keadaan kahar).
Status force majeure itu dinilai bisa menjadi dasar memberi dispensasi atas kontrak-kontrak yang mandek lantaran wabah virus corona.
Namun, menurut Menkopolhukam Mahfud MD, status bencana nasional itu tak bisa dijadikan sebagai alasan force majeure.
"Tidak dapat dijadikan dasar sebagai force majeure untuk membatalkan kontrak," kata Mahfud MD, dikutip dari media sosialnya.
==========
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!