KONTEN SPESIAL: Yang Bisu Tuli, Yang Mengaji

Yang Bisu Tuli, Yang Mengaji

23 Mei 2019 13:39 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KONTEN SPESIAL: Yang Bisu Tuli, Yang Mengaji Foto: Argy Pradypta / kumparan
zoom-in-whitePerbesar
KONTEN SPESIAL: Yang Bisu Tuli, Yang Mengaji Foto: Argy Pradypta / kumparan
ADVERTISEMENT
Farida tak bisa menyembunyikan rasa bangganya. Ia bersemangat ketika menceritakan video call terakhir, Minggu (19/5) pekan lalu, dengan putrinya, Aqila Mumtaza (9). "Aqila sudah (hafal) sampai surat Al Humazah," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Bagi Farida, kemampuan putrinya menghafal surat ke 104 di juz 30 Al-Quran itu sebuah prestasi. Aqila berbeda dengan anak kebanyakan. Sejak lahir ia tak bisa mendengar. Farida terkena campak saat mengandung Aqila yang berdampak pada pertumbuhan fisik janin.
Masalah pendengaran Aqila baru diketahui orang tuanya belakangan. Pada saat bersamaan, ia juga mengalami kebocoran jantung. Alhasil, konsentrasi orang tua lebih tercurah pada masalah jantungnya.
Meski Aqila punya keterbatasan pendengaran, orang tuanya tak ingin ia lepas dari pendidikan agama. Sejak kecil, Aqila didorong untuk belajar membaca menghafalkan Al-Quran. Namun karena menimba ilmu di sekolah umum, perkembangan kemampuannya masih saja terbatas.
“Yang sulit bagi kebanyakan anak-anak tunarungu adalah belajar mengeluarkan bunyi huruf hijaiyah sesuai dengan haknya. Bagaimana "kho" "ja" disuarakan,” kenang Farida.
ADVERTISEMENT
Sementara, di sekolah tak ada guru yang bisa secara khusus membimbing anak tuli seperti Aqila. Titik baliknya bermula pada sebuah informasi di media sosial. Farida mengetahui pondok pesantren Rumah ABATA di Temanggung, Jawa Tengah, membuka program khusus untuk tunarungu.
KONTEN SPESIAL: Rumah Abata, Pesantren Tunarungu di Temanggung Foto: Dok. Rumah Abata
Di sana juga menawarkan paket komplet. Selain belajar agama Islam, juga disediakan terapi wicara. Fasilitas lengkap itulah yang tidak didapatkan Aqila saat bersekolah di SD.
Farida dan keluarganya lalu mengambil sebuah kesempatan di sela libur panjang untuk berkunjung ke Rumah ABATA. Singkatnya, Aqila mondok di sana. Periode awal jauh dari rumah tak pernah mudah, apalagi bagi anak seperti Aqila. Hal yang sama dialami orang tuanya.
“Pas kalau video call ya terobati nanti selesai video call anaknya mah baru video call ketemu wajah umminya juga sudah nangis,” kenang Farida. “saya pura-pura tegar aja.”
ADVERTISEMENT
Setelah 3 bulan di Rumah ABATA, Aqila mogok. Ia menolak kembali ke pondok. Orang tuanya sempat memasukannya di sekolah yang lama. Sembilan bulan kemudian, ada momen yang mengubah Aqila. Suatu ketika, ia mengantar kakak sulungnya kembali ke pondok pesantren. “Waktu kita nganter, terceletus aja ‘Úmmi aku mau ke pondok ABATA lagi’,” kata Farida.
Rumah ABATA dengan tangan terbuka menerima kembali Aqila. Setahun lebih belajar di sana, sejak 2017, Aqila menunjukan perkembangan pesat. Ia kini bisa mengucapkan banyak kosakata, baik dalam bahasa Indonesia maupun Arab. Ia juga sedang menuntaskan iqro 5.
"Sejak di ABATA terlihat perkembangan kebiasaan ibadahnya. Setiap mendengar azan, langsung wudu dan salat. Setiap Senin dan Kamis, minta dibangunkan sahur agar bisa puasa sunah dan Qiyamul Lail (salat malam)," Farida bercerita.
ADVERTISEMENT
Besar harapan Farida dan suaminya kelak Aqila bisa menjadi seorang penghafal Al-Quran meski memiliki keterbatasan. Hafalan tersebut yang nantinya diimpikan bisa membawa keluarga mereka ke surga kelak.
Sejumlah anak-anak Taman Pendidikan Alquran (TPA) belajar membaca Alquran alam terbuka di taman Masjid Agung Almarkazul Islami Lhokseumawe, Aceh, Sabtu (13/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/Rahmad
Perjuangan seorang tuli untuk membaca Al-Quran tak mudah. Pengasuh Rumah ABATA, Mukhlisin, mengatakan mereka terlebih dulu harus diajarkan membacanya. Di sinilah tantangan terberatnya. Mereka, kata Mukhlisin, tak pernah mendengar input suara.
Jadi, ada kesulitan mengucapkan sesuatu yang tidak pernah didengar. Masalahnya, menurut Mukhlisin, masih jarang metode mengajarkan anak tuli belajar Al-Quran dengan mengucapkan bacaan. Kebanyakan pendekatan yang ada masih menggunakan bahasa isyarat.
Kesulitan menghafal Al-Quran juga dialami Yasin yang tengah berusaha menghafal Al-Quran di SLB Islam Qothrunnada, Yogyakarta, sejak 2015 lalu. Bocah 12 tahun asal Yogyakarta ini terlahir tuli.
ADVERTISEMENT
Di SLBI asuhan Tri Purwanti itu, Yasin menghafal Al-Quran dengan metode Amaba. Yasin melafalkan setiap huruf dalam kata atau surat Al-Quran yang dibacanya sembari melakukan beberapa gerakan isyarat.
Metode tersebut menurut ibunda Yasin, Suryanti, memberi dampak positif bagi sang anak. "Alhamdulillah metode Amaba sebagai terapi wicara juga. Artikulasi alhamdulillah tambah bagus dan jelas," kata Suryanti kepada kumparan.
Saat ini Yasin sudah mengaji di tingkat Iqro 5. Beberapa surat pendek sudah dihafalnya. Semisal, Al Fatihah, An Naas, Al Ikhlas, dan Al Kautsar. Meski menurut Suryanti, Yasin terkadang masih lupa-lupa ingat dengan surat tersebut.
Di samping metode Abata dan Amaba, di Bekasi, Galuh Sukmara juga mengembangkan metode belajar Al-Quran bagi anak-anak tuli. Galuh yang juga tuli sejak usia SD telah mengalami sederet perilaku kurang mengenakkan karena dia tidak bisa mendengar. Dia sempat di-bully, didiskriminasi, serta diperlakukan tidak adil.
ADVERTISEMENT
"Akses pendidikan dibatasi. SD, SMP sampai SMA sering di-bully. Kuliah pun 8-9 tahun S1 baru lulus. Ya karena materinya saja susah ada ujian lisan," kenang Galuh kepada kumparan.
Bunda Galuh dari The Little Hijabi. Foto: Magnifique
Kondisi tersebut membuat Galuh bertekad supaya anak-anak tuli tak mengalami nasib serupa dengannya. Hal itu kemudian dia wujudkan dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak tuli bernama The Little Hijabi (TLH). Hampir seluruh elemen dalam sekolah ini, dari kepala sekolah, guru, murid, hingga petugas kebersihan adalah mereka yang tuli.
Adapun esensi terpenting dari pendidikan tuli, menurut Galuh, adalah bagaimana anak mengenal dan mengesakan Tuhannya. Dia tak ingin anak-anak tuli tersebut menua dan mati tanpa mengenali Tuhan dan esensi penciptaan mereka.
Galuh giat belajar dan mengajarkan Al-Quran ke anak didiknya. Baginya, Al-Quran adalah cara Allah SWT berkomunikasi dengan hambanya. Namun sayang, akses untuk mendapatkan hal tersebut menurut Galuh belum sepenuhnya mudah didapatkan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Sudah puluhan tahun kami menunggu kapan tuli Indonesia mendapatkan akses kajian Islam, akses bagaimana bisa baca Al-Quran, hadis, mendalami ilmu agama dengan baik," papar Galuh.
Oleh karena itu, Galuh dan timnya berupaya sendiri mempelajari Islam, termasuk Al-Quran. Ia mengembangkan metode membaca Al-Quran dalam bahasa isyarat. Metode ini dinamainya sign bilingualism. Ada dua bahasa yang digunakan, yaitu bahasa isyarat sebagai bahasa utama dan bahasa lisan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa isyarat yang diterapkan adalah yang digunakan oleh orang-orang tuli Arab.
"Sumber bahasa Al-Quran kan Bahasa Arab, so we have to learn basic Arabic Sign Language," ujar Galuh.
Sekolah The Little Hijabi Foto: Dok. Galuh Sukmara
Galuh menerangkan, dengan metode tersebut, anak dengan ketulian parah, dalam artian tidak bisa mendengar dan berbicara, dimodifikasi cara belajarnya. Untuk membaca Al-Quran digunakan ejaan jari atau isyarat Arabnya. Sementara, untuk memahami makna atau arti Al-Quran Galuh menggunakan interpretasi dalam isyarat Bisindo.
ADVERTISEMENT
Metode tersebut disambut dengan antusias oleh anak-anak yang bersekolah di The Little Hijabi. Mereka perlahan mulai menghafalkannya dalam bahasa isyarat.
"Senang rasanya melihat anak-anak tuli yang 'membesarkan' nama-Nya melalui isyarat-isyarat cinta-Nya," kata Galuh.
Berkembangnya ragam cara belajar Al-Quran ditanggapi positif oleh anggota Komisi Fatwa MUI, Abdul Muiz Ali. Menurutnya, fenomena itu merupakan wujud kreativitas untuk menjembatani orang berkebutuhan khusus dalam membaca Al-Quran. Islam pun tidak melarang hal tersebut.
"Sebagai wasilah (media) untuk mengenalkan mereka bisa baca Al-Quran itu boleh. Tapi yang perlu digarisbawahi, kata peraga itu bukan termasuk bacaan," terang Muiz saat dihubungi kumparan.
Anggota Komisi Fatwa MUI, Abdul Muiz Ali. Foto: Dok. Abdul Muiz
Muiz menekankan pentingnya membedakan bacaan dan isyarat. Yang dimaksud membaca Al-Quran sudah pasti menggunakan suara yang standarnya bisa didengar. Bila mulut bergerak tapi tidak ada suara yang keluar bukan dikategorikan membaca, tapi memberikan isyarat. Adapun batas minimun bisa dikatakan membaca adalah ada suara, baik keras (jahr) atau pelan (sir) . Batasan pelan dalam membaca yaitu setidaknya bisa didengar sendiri, seperti ketika membaca Al-Fatihah dalam salat fardu yang tidak diharuskan membaca dengan keras.
ADVERTISEMENT
"Jadi orang disebut membaca itu kalau bisa mengeluarkan suara dari huruf, misal bismillah kedengaran. Bukan mulut bergerak tapi enggak ada huruf," imbuh dia.
Di dalam Al-Quran sendiri terdapat 28 huruf Hijaiyah yang tiap-tiapnya memiliki karakter. Cara melafalkan setiap karakternya pun harus benar, juga setelah ditambahi harakat dan tanda-tanda lainnya. Kesalahan membaca bisa berakibat mengubah makna kata. Ia berharap semakin banyak lembaga maupun perorangan yang memberi perhatian kepada kaum tuli untuk bisa membaca Al-Quran.
“Harus kita berikan fasilitas kita dorong sesuai dengan porsinya. Termasuk dengan tunarungu. Jadi bagaimana kita tidak boleh membeda-bedakan,” katanya.
Di sisi lain, Kepala Lajnah Pentasihan Al-Quran Balitbang-Diklat Kemenag RI, Muchlis Hanafi, mengaku saat ini lembaganya memang belum punya pola pembelajaran Al-Quran khusus untuk komunitas tuli. Sebab, Kemenag belum mendapatkan informasi detail dari komunitas tuli yang ada di Indonesia.
Seorang pria tunanetra membaca Alquran dengan huruf braille di Medan, provinsi Sumatera Utara. Foto: AFP/FATIMA ELKAREEM
Hal itu kontras dengan komunitas tunanetra yang selama ini sudah difasilitasi Kemenag dalam mempelajari Al-Quran. Contohnya dengan eksistensi mushaf Al-Quran braile yang telah disahkan Kemenag pada 1984 lewat Keputusan Menteri Agama No. 25.
ADVERTISEMENT
"Kalau yang tunanetra ini kan banyak komunitasnya. Bahkan di Indonesia sendiri untuk perhatian terhadap baca tulis Al-Quran di kalangan tunanetra itu sudah sejak tahun 60-an," ungkap Muchlis.
Berangkat dari kondisi tersebut, Muchlis menyebut siap memfasilitasi komunitas tuli untuk membaca Al-Quran yang tersandardisasi oleh Kemenag. “Insyallah kita akan fasilitasi. Selama itu terkait dengan Al-Quran yang menjadi tugas dan fungsi kami kita siap memfasilitasi.” ujarnya.
Simak cerita selengkapnya di topik Yang Bisu Tuli Yang Mengaji.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten