Yang Diam-diam Senang saat Iran Terguncang

5 Januari 2018 10:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kerusuhan di Iran (Foto:  REUTERS/Francois Lenoir)
zoom-in-whitePerbesar
Kerusuhan di Iran (Foto: REUTERS/Francois Lenoir)
ADVERTISEMENT
Pemerintah Iran kalap menemui ratusan ribu orang yang selama satu dekade terakhir diam, tiba-tiba turun ke jalan dan berteriak menggerogoti otoritas mereka. Orang-orang itu rakyat mereka.
ADVERTISEMENT
Sejak Kamis (28/12/2017), ratusan ribuan warga Iran melakukan demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri. Demonstrasi berawal dari Masshad, kota terbesar kedua di Iran, dan dengan cepat merambat ke kota-kota besar macam Tehran, Isfahan, dan ke lebih dari 50 kota lain.
Praktis, aksi demonstrasi tersebut menjadi yang terbesar sejak Green Movement terjadi tahun 2009. Saat itu, ribuan orang yang terfokus di Tehran memprotes hasil pemilihan umum presiden Iran. Mahmoud Ahmadinejad, yang mengalahkan Hossein Mousavi, dinilai menang dari tokoh reformis itu dengan cara curang. Demonstrasi berlangsung selama 16 bulan, dengan 72 warga tewas saat penindakan.
Pemerintah Iran cukup terkejut dengan bergulirnya demonstrasi besar-besaran kali ini. Berbeda dengan demonstrasi di 2009 yang berlatar politik, pergolakan kali ini dilatarbelakangi oleh perkara ekonomi di level akar rumput. Kekagetan pemerintah terlihat dari komentar Eshaq Jahangiri, wakil presiden pertama Iran.
ADVERTISEMENT
“Semua indikator ekonomi di negara ini bagus. Ya, memang ada kenaikan harga produk-produk di pasaran, tapi pemerintah tengah bekerja memperbaiki keadaan tersebut,” ucap Jahangiri, satu dari 12 wakil presiden Iran tersebut, seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (29/12/17).
Khamenei dan pimpinan IRGC (Foto: US Institute for Peace)
zoom-in-whitePerbesar
Khamenei dan pimpinan IRGC (Foto: US Institute for Peace)
Keterkejutan tersebut berubah menjadi kekalapan dengan membesarnya demonstrasi. Pada hari kelima berlangsungnya demonstrasi, Brigjen Esmaeil Kowsari, Wakil Pemimpin Islamic Revolutionary Guard Corps (Korps Garda Revolusi Islam Iran, IRGC) mewanti-wanti agar “keadaan tidak aman di Tehran ini tidak berlarut-larut”.
“Jika kondisi seperti ini berlanjut, pihak berwenang akan mengambil keputusan yang akan memastikan perkara ini selesai sama sekali,” ucap orang nomor dua di pasukan paramiliter cabang angkatan bersenjata Iran tersebut, seperti dilansir The New York Times, Senin (1/1).
ADVERTISEMENT
Dan benar saja. Langkah keras metodis segera diambil untuk memutus koordinasi antara para demonstran, dan antara para demonstran dengan dunia luar.
Yang pertama, akses internet di berbagai kota di Iran diputus oleh Mobile Telecommunication Company of Iran (MTCI), perusahaan telekomunikasi yang menguasai sebagian besar pangsa pasar koneksi internet di Iran (dan “kebetulan” dekat dengan IRGC).
Yang kedua, dan sangat berpengaruh bagi kelangsungan demonstran, adalah pemblokiran pemerintah Iran terhadap Telegram dan Instagram. Kedua media sosial tersebut selama ini menjadi senjata utama para demonstran untuk berkoordinasi dengan sesamanya dan menyebarkan kondisi kacau di Iran kepada dunia internasional.
Tak hanya berhenti di situ. Ancaman yang dikeluarkan IRGC untuk mengeluarkan respons yang lebih keras benar-benar dijalankan di lapangan. Sampai hari ketujuh demonstrasi (3/1), setidaknya 21 orang tewas.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan beberapa media Timur Tengah, demonstran tersebut tewas ditembak IRGC --meski laporan lain menyebut kelompok paramiliter yang sama juga sempat ditembak oleh “penembak jitu” dengan senapan berburu.
Dengan jatuhnya korban --sekaligus dengan adanya upaya menutup-nutupi informasi tersebut, demonstrasi Iran kali ini menjadi sorotan internasional. Beberapa tokoh dunia seperti Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan Kementerian Luar Negeri Kanada langsung melontarkan komentar.
“Rezim opresif tidak akan bertahan selamanya. Dunia terus mengamati!” ucap Trump dalam akun Twitter-nya. Lebih jauh, Trump juga menyebut rezim “brutal dan korup” Iran cuma punya “sedikit makanan, inflasi tinggi, dan tidak punya HAM”.
Komentar yang sama diucapkan oleh Kanada, yang berkata terus mengamati perkembangan demonstrasi di Iran tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara Netanyahu, yang selama ini menganggap keberadaan Iran sebagai iblis yang mengancam mereka, justru menahan diri. Ia mendorong para menteri-menterinya untuk “meminimalisasi” komentar terhadap situasi Iran (Ini beralasan, mengingat, berbeda dengan AS, Israel hanya berada sepelemparan batu dari roket-roket Iran).
Demo di Iran (Foto: AFP/STR)
zoom-in-whitePerbesar
Demo di Iran (Foto: AFP/STR)
Meski begitu, tetap saja Iran lepas tangan dari segala tuduhan kekerasan terhadap warganya. Kematian 21 orang tentu tak seberapa dibanding 72 yang tewas di 2009 --apalagi dibandingkan dengan berkurangnya kuasa dan otoritas Iran di hadapan dunia internasional.
Bahkan, Pemimpin Spiritual Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei menuding, demonstrasi ini didalangi oleh “musuh-musuh Iran” lewat berbagai cara seperti “uang, senjata, politik, dan mata-mata”. Tanpa disebut, tentunya kita semua sudah tahu siapa yang disebut dengan musuh-musuh asing itu: Amerika Serikat, Israel, dan Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
“Ia [Trump] menghabiskan waktunya mengirimkan twit-twit yang menghina dan tak ada gunanya itu. Ia lebih baik mengurusi gembel dan orang-orang kelaparan di negaranya sendiri,” ucap salah satu pejabat Kementerian Luar Negeri Iran, seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (3/1).
Presiden Iran Hassan Rouhani bahkan sempat mengatakan, sudah sepantasnya Iran curiga terhadap musuh-musuhnya macam AS dan Israel.
“Kesuksesan Iran di regional jelas tidak bisa mereka terima. Tidakkah kalian berpikir bahwa mereka akan menuntut balas? Tidakkah kalian pikir bahwa mereka akan memprovokasi orang-orang [Iran]?” ucap Rouhani seperti dilansir Reuters, Senin (1/1).
Presiden Iran Hassan Rouhani (Foto: AP Photo/Vahid Salemi)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Iran Hassan Rouhani (Foto: AP Photo/Vahid Salemi)
Tentu saja, orang macam Netanyahu dan Trump senang dengan perkembangan ini. Mereka secara terbuka mendoakan agar masyarakat Iran yang “pemberani” itu berhasil mendapatkan apa yang mereka mau --syukur-syukur bisa menggulingkan pemerintahan Khamenei.
ADVERTISEMENT
“Saya harap masyarakat Iran sukses dalam perjuangan suci mereka meraih kebebasan,” ucap Netanyahu dalam laman Facebook-nya.
Meski begitu, soal tuduhan yang dialamatkan kepada mereka oleh Rouhani dan Khamenei, keduanya terang menolak. Dubes AS untuk PBB Nikki Haley, misalnya, menyebut protes massa terjadi karena keadaan dalam negeri Iran sendiri.
“Orang-orang Iran berteriak untuk kebebasan. Semua orang yang cinta kebebasan harus berdiri bersama mereka,” ucapnya disadur dari BBC, Selasa (2/1).
Bahkan, Netanyahu lebih lantang lagi menolak tuduhan tersebut.
“[Tuduhan tersebut] tidak hanya salah, namun juga patut ditertawakan,” ucap Netanyahu dikutip dari Reuters, Selasa (2/1).
Trump dan Netanyahu di New York. (Foto: Kobi Gideon/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Trump dan Netanyahu di New York. (Foto: Kobi Gideon/Reuters)
Tuduhan Iran terhadap rival tradisional luar negeri saat keadaan dalam negeri mereka memburuk tentu dapat dimengerti. Pun begitu dengan upaya AS dan Israel yang menolak tuduhan campur tangan sembari memberikan wanti-wanti pada pemerintah Iran agar tak macam-macam pada para pendemo.
ADVERTISEMENT
Namun, apa benar AS dan kolega Barat-nya sama sekali tidak punya andil dalam demonstrasi ini? Jawabannya: tidak juga.
Demonstrasi kali ini diyakini terjadi karena keadaan ekonomi di level akar rumput Iran yang sangat buruk. Biaya hidup sangat tinggi, angka pengangguran tinggi, sementara dugaan korupsi melebar ke segala ini.
Dilaporkan, harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Telur, misalnya, naik sebesar 50 persen usai matinya 17 juta ayam dalam wabah flu burung di 2017 lalu.
Sementara itu, angka pengangguran resmi yang dikeluarkan pemerintah mencapai 12,4 persen. Namun, menurut Wakil Presiden Urusan Dalam Negeri Iran, Abdolreza Rahmani-Fazli, angka tersebut merupakan hitung-hitungan umum. Seperti dikutip dari BBC, Rahmani-Fazli mengungkapkan, di beberapa bagian di Iran, angka pengangguran mencapai 60 persen.
ADVERTISEMENT
Keadaan tersebut mencengangkan, mengingat Iran adalah negara dengan ekonomi terbesar kedua di Timur Tengah.
Demo di Iran (Foto: AFP/STR )
zoom-in-whitePerbesar
Demo di Iran (Foto: AFP/STR )
Keadaan ekonomi yang amburadul itu sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Saat Rouhani mengambil alih kursi kepresidenan pada 2013, ia mewarisi kondisi ekonomi yang runyam akibat kebijakan pemerintah garis keras sebelumnya yang populis dan sanksi rezim internasional yang keras terhadap negaranya.
Di tahun 2013, inflasi yang dialami Iran mencapai 60 persen; pertumbuhan GDP minus 2 persen; angka pengangguran mencapai 23 persen; dan pengeluaran rumah tangga hanya mencapai USD 12.700 per tahun --turun USD 2.200 dibanding enam tahun sebelumnya.
Keadaan ekonomi yang amat buruk di 2013 itu terjadi, kurang lebih, akibat sanksi ekonomi internasional yang sudah berlaku sejak 2006. Saat itu, PBB dan Uni Eropa memberikan sanksi ekonomi kepada Iran karena aktivitas nuklir mereka yang sudah dimulai sejak 2002.
ADVERTISEMENT
Alasannya, “[...] International Atomic Energy Agency (IAEA) tidak dapat membenarkan penegasan Tehran bahwa aktivitas nuklir mereka hanya ditujukan untuk tujuan damai dan tidak digunakan untuk membuat senjata nuklir.”
Setidaknya, ada sembilan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengatur sanksi terhadap Iran. Sampai saat ini, sanksi-sanksi ini menjadi sanksi terkuat yang pernah diberikan oleh PBB kepada satu negara.
Sanksi dari PBB itu, antara lain, adalah:
Sedangkan, Uni Eropa juga memberikan beberapa sanksi seperti:
ADVERTISEMENT
Di balik keputusan PBB dan Uni Eropa itu, tentu saja, AS adalah salah satu pihak yang paling getol dalam mempromosikan dijalankannya sanksi tersebut. Bahkan, AS sudah memberikan sanksi terhadap Iran sejak revolusi mereka di tahun 1979.
Sanksi-sanksi AS itu tidak hanya dilakukan karena aktivitas nuklir Iran, namun juga tuduhan bahwa Iran mendukung terorisme internasional, melanggar HAM di negaranya, dan enggan bekerja sama dengan IAEA.
ADVERTISEMENT
Sanksi Iran tersebut hampir menyangkut segala perdagangan dengan Iran, dengan perkecualian beberapa yang bisa “menguntungkan masyarakat Iran”, seperti obat-obatan dan alat pertanian.
Rudal Houthi buatan Iran (Foto: REUTERS/Jim Bourg)
zoom-in-whitePerbesar
Rudal Houthi buatan Iran (Foto: REUTERS/Jim Bourg)
Akibat dari sanksi tersebut, ekspor minyak Iran (yang menjadi komoditas ekspor utama negara itu) turun menjadi hanya 700 ribu barel/hari pada Mei 2013. Angka tersebut turun drastis ketimbang di 2011, saat setiap harinya Iran mampu mengekspor minyak sebanyak 2,2 juta barel/hari.
Tahun 2013, pemerintah Iran mengakui bahwa gara-gara sanksi tersebut, penurunan ekspor minyak negaranya menyebabkan Iran mengalami kerugian potensial antara USD 4 sampai 8 miliar. Bahkan, di tahun 2012, Iran sudah mengalami penurunan keuntungan sebesar USD 26 miliar apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Menurunnya sumber penghasilan utama itu membuat ekonomi Iran porak poranda. Pada 2008, atau hanya dua tahun setelah sanksi diberikan, pertumbuhan ekonomi Iran turun menjadi 1 persen saja. Padahal, di tahun 2007, pertumbuhan ekonomi Iran mencapai angka 8 persen. Angka tersebut tetap rendah di 2009, sempat meninggi di 2010 dan 2011, namun turun drastis di 2012.
ADVERTISEMENT
Pada 2012, pertumbuhan ekonomi Iran menjadi minus 7 persen. Tahun 2013 minus 2 persen; naik menjadi hampir 3 persen di 2014; dan turun lagi menjadi minus 1,5 persen di 2015.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi ini ditemani dengan inflasi yang selalu tinggi. Pada 2005, inflasi berada di titik 14 persen. Angka tersebut naik menjadi 16 persen di 2006; menjadi 24 persen di 2007; 17 persen di 2008; 10 persen di 2009; 11 persen di 2010; 23 persen di 2011; 25 persen di 2012; 30 persen di 2013; 16 persen di 2014; dan turun menjadi 8 persen di 2015.
Masalah selain itu adalah pengangguran di usia anak-anak muda. Apalagi, dengan fakta bahwa lebih dari 50 persen populasi Iran terdiri dari anak muda berusia di bawah 30 tahun. Estimasi yang dibuat International Labour Organization (ILO), terdapat sebanyak 26,7 persen masyarakat Iran yang berusia antara 15-24 tahun yang menganggur.
Demo menentang pemerintah Iran di London. (Foto: Reuters/Eddie Keogh)
zoom-in-whitePerbesar
Demo menentang pemerintah Iran di London. (Foto: Reuters/Eddie Keogh)
Tahun 2015 membawa kabar baik buat Iran. Berkebalikan dari Ahmadinejad, Rouhani mengambil langkah yang lebih lunak di internasional. Hasilnya, pada 2015 terwujudlah The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
ADVERTISEMENT
JCPOA ini merupakan kesepakatan antara Iran dan enam negara --AS, China, Rusia, Jerman, Prancis, dan Inggris-- agar Iran membatasi dan mengurangi cadangan uranium serta usaha untuk mengembangkannya. Gantinya, sanksi ekonomi terhadap Iran akan dikurangi secara signifikan.
“Sanksi ekonomi akan ditiadakan dan ekonomi akan kembali berkembang setelah ini,” harap Rouhani di 2013. “Ini sangat penting agar negara dan industri dapat kembali beroperasi.”
Harapan tersebut tidaklah berlebihan. Seperti dituliskan BBC di Maret 2015, masyarakat Iran berharap JCPOA ini menjadi jembatan ke keadaan ekonomi Iran yang lebih baik.
Pemerintah berharap keuntungan di bidang energi yang besarannya mencapai 50 persen dari APBN Iran akan kembali. Selain itu, Iran juga berharap mengakhiri isolasi sistem perbankannya dari dunia --yang membuat mata uang mereka (rial) jatuh sebesar 2/3 nilainya terhadap USD.
ADVERTISEMENT
Dampaknya benar-benar terasa. Pertumbuhan ekonomi Iran pada 2016 naik menjadi 12 persen --naik 14 persen ketimbang tahun sebelumnya.
Bisa ditebak, seperti disampaikan Bank Dunia, kenaikan tersebut dipengaruhi besar oleh industri minyak dan gas Iran yang kini mulai bisa bergerak lebih leluasa. Contoh nyata adalah kesepakatan investasi antara Iran, perusahaan minyak asal Prancis Total, dan perusahaan asal China CNPC yang bernilai lebih dari USD 5 miliar.
Ilustrasi kilang di tengah laut. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kilang di tengah laut. (Foto: Thinkstock)
Namun begitu, mengapa demonstrasi kini tetap pecah apabila keadaan ekonomi Iran terus membaik pasca-JCPOA?
Yang jelas, perbaikan ekonomi sejak sanksi dicabut tak secepat yang dibayangkan masyarakat Iran. IMF sempat memperingatkan pada Iran, bahwa angka pertumbuhan yang tinggi tak serta-merta membawa perbaikan ke kondisi hidup masyarakat.
ADVERTISEMENT
Terlebih, tidak cukupnya jumlah pekerjaan yang tersedia akan menyebabkan angka pengangguran tetap tinggi. Ini terjadi karena perkembangan banyak terjadi karena industri minyak, yang tak menyerap jumlah tenaga kerja terlalu banyak.
Namun, selain itu, AS lagi-lagi bermain terhadap keadaan ekonomi Iran yang tak banyak berubah. Seperti dikutip dari BBC, analis menunjukkan bahwa pencabutan sanksi di level teknis tidak terwujud secepat yang diperkirakan. Misalnya saja sanksi terhadap transaksi finansial yang sampai 2017 masih berlaku. Ini membuat perusahaan asing kesulitan untuk berbisnis dengan Iran.
Tindakan AS yang tak sepenuhnya mendukung JCPOA ini juga diakui oleh Mohammad Marandi, profesor politik di Tehran University.
“Seperti yang kita lihat, baik Obama maupun Trump berulang kali melanggar perjanjian JCPOA, seperti memberikan sanksi baru bagi Iran ataupun menahan pengeluaran visa bagi orang-orang Iran,” ucap Marandi seperti dikutip dari Al Jazeera.
ADVERTISEMENT
“Jadi, meski orang-orang Iran marah atas mismanajemen yang dilakukan oleh pemerintah, mereka juga tahu bahwa pemerintah mereka dihalang-halangi saat hendak melakukan apa yang mereka coba lakukan oleh AS dan kroni-kroninya,” tutup Marandi.
=================== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!