Yasonna soal Banyak Napi Koruptor Bebas Bersyarat: Memang Aturan Undang-undang

10 September 2022 17:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menkumham Yasonna Laoly saat di kunjungan kerja ke Lapas Kelas IIA Yogyakarta, Sabtu (10/9/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menkumham Yasonna Laoly saat di kunjungan kerja ke Lapas Kelas IIA Yogyakarta, Sabtu (10/9/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejumlah terpidana korupsi secara serentak bebas dari lapas pada Selasa (6/9). Mereka keluar dari lapas setelah mendapatkan Pembebasan Bersyarat.
ADVERTISEMENT
Para narapidana koruptor yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat itu di antaranya adalah Suryadharma Ali, Zumi Zola, Ratu Atut, hingga mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Pembebasan Bersyarat narapidana koruptor itu menimbulkan polemik di masyarakat. Banyak yang menyayangkan kenapa para narapidana koruptor itu bisa lebih cepat bebas.
Menkumham Yasonna Laoly pun menjawab pertanyaan itu. Dia mengatakan Pembebasan Bersyarat para napi korupsi itu sudah sesuai aturan.
"Ya memang aturan undang-undangnya begitu," kata Yasonna ditemui saat kunjungan kerja ke Lapas Kelas IIA Yogyakarta, Sabtu (10/9/)
Yasonna menjelaskan bahwa sudah ada judicial review pada PP Nomor 99 Tahun 2012. Selain itu, juga ada keputusan Mahkamah Konsitusi bahwa warga binaan mempunyai hak untuk mendapat remisi pembebasan bersyarat.
ADVERTISEMENT
"Ada judicial review PP 99, sebelumnya ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MA; red) bahwa warga binaan itu mempunyai hak untuk mendapat remisi dapat pembebasan bersyarat," katanya.
Lanjutnya dengan adanya judicial review pada PP 99, maka tanpa lagi menjadi justice collaborator, terpidana koruptor tetap bisa mendapatkan remisi.
"Dengan itu dalam Undang-Undang Permasyarakatan karena sudah di judicial review ketentuannya (PP 99) bahwa setiap orang itu tanpa lagi justice collaborator tanpa ini, nah sekarang mereka sudah dapat (remisi)," katanya.
"Ada yang sudah (menjalani hukuman) 6 tahun, 7 tahun, 8 tahun, 9 tahun, ada yang 4 tahun sudah sampai pada kebebasan bersyarat, ya kita kasih. Ya itu undang-undang," kata dia.
Sebelumnya, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi atau Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan bahwa Pembebasan Bersyarat Pinangki dan terpidana koruptor lain menjadi bukti bahwa korupsi tak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa di negara ini.
ADVERTISEMENT
"Dengan pembebasan bersyarat Pinangki ini menunjukkan bahwa korupsi tidak dianggap lagi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Karena seorang terpidana korupsi cukup sebentar saja menjalani pidana kemudian sudah dapat pembebasan bersyarat. Karena mendapatkan banyak remisi," kata Zaenur dihubungi, Selasa (6/9/2022).
Dia mengatakan bahwa apa yang terjadi saat ini lantaran pada 2021 silam, Mahkamah Agung telah membatalkan PP 99 Tahun 2012 yang memberikan batasan pemberian remisi kepada terpidana korupsi.
"PP 99 tahun 2012 itu ada 2 syarat utama seorang terpidana korupsi mendapatkan remisi. Yang pertama itu menjadi justice collaborator atau menjadi pelaku yang bekerjasama membongkar kasus korupsi yang dilakukan. Yang kedua itu sudah membayar lunas denda dan uang pengganti," katanya.
Dibatalkannya PP tersebut maka membuat terpidana korupsi berhak mendapatkan remisi. Remisi pun bisa diberikan banyak sehingga terpidana korupsi bisa mendapatkan pembebasan bersyarat dan kemudian menghirup udara bebas.
ADVERTISEMENT
"Nah saya melihat ini dengan contoh kasus Pinangki ini pemidanaan yang sekarang dengan ridak adanya pembatasan pemberian remisi gitu ya, menunjukkan bahwa itu sekali lagi korupsi itu bukan lagi extraordinary crime ya bukan lagi kejahatan luar biasa ya," ujarnya.
Dijelaskan Zaenur, remisi sendiri merupakan instrumen dalam pemasyarakatan. Negara juga tidak melanggar hak asasi jika tidak memberikan remisi kepada terpidana.