YLBHI: Polisi Paling Sering Melanggar Kebebasan Berpendapat

27 Oktober 2019 18:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua YLBHI Asfinawati (kiri) M isnur (tengah) dalam konferensi pers Penyampaian Laporan YLBHI dan LBH Indonesia. Foto:  Adhim Mugni Mubaroq/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua YLBHI Asfinawati (kiri) M isnur (tengah) dalam konferensi pers Penyampaian Laporan YLBHI dan LBH Indonesia. Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan
ADVERTISEMENT
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) beserta 16 LBH se-Indonesia mencatat telah terjadi 78 kasus pelanggaran dalam menyatakan kebebasan berpendapat di muka umum sepanjang Januari hingga Oktober 2019.
ADVERTISEMENT
YLBHI mencatat pelanggaran itu dilakukan oleh institusi Polri sebanyak 69 persen, TNI sebanyak 7 persen, Satpol PP sebanyak 2 persen, pihak kampus atau universitas sebanyak 8 persen. Kemudian, Pemerintah Pusat sebanyak 2 persen, Ormas sebanyak 5 persen, sekolah sebanyak 4 persen, Pemprov, Pemkot dan Babinsa sebanyak 1 persen.
"Aktor atau pelaku yang sering melakukan pelanggaran, 64 persen itu paling tinggi kepolisian di lapangan," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur, saat konpers di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (27/10).
Isnur mengatakan institusi Kepolisian yang melakukan pelanggaran itu dari tingkat Polsek hingga Mabes Polri. TNI juga melakukan pelanggaran dari tingkat Koramil hingga Mabes TNI.
Menurut Isnur, tahun ini institusi pendidikan juga menjadi aktor kedua terbanyak dalam pelanggaran menyampaikan pendapat di muka umum, baik tingkat sekolah hingga universitas. Hal ini terjadi pada saat aksi demonstrasi mahasiswa tolak pengesahan UU KPK September lalu.
ADVERTISEMENT
"Yang menarik adalah tahun ini cukup marak institusi pendidikan juga aktor yang menjadi pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat, baik itu sebelum turun aksi, atau pada saat aksi. Caranya dengan menghalang-halangi, membuat edaran, atau mengancam, memberikan saksi dan lainnya," tuturnya.
Selanjutnya, Satpol PP dan Pemerintah Pusat tercatat 2 kali menjadi aktor pelanggar, sedangkan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota/Kabupaten, Babinsa dan Rumah Sakit tercatat masing-masing 1 kal menjadi aktor pelanggar. Sementara itu, dari unsur sipil, sebanyak 5 kali dari ormas menjadi pelanggaran
Sementara jenis pelanggaran yang dilakukan yaitu kriminalisasi terdapat 95 kejadian, tindakan kekerasan sebanyak 68 kejadian, penghalangan pendampingan hukum sebanyak 6 kejadian. Kemudian, perburuan dan penculikan sebanyak 17 kejadian, pembubaran tidak sah sebanyak 57 kejadian, tindakan berkaitan dengan alat atau data pribadi sebanyak 6 kejadian dan penghalangan dan atau pembatasan aksi sebanyak 32 kejadian.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ketua YLBHI, Asfinawati, menilai pelanggaran itu karena telah terjadi pergeseran cara pandang pemerintah khususnya aparat penegak hukum. Asfina menyebut Pemerintah dan aparat keamanan tidak menyadari arti yang sebenarnya dari aksi demonstrasi, dari sebuah hak yang dilindungi Konstitusi dan UU.
Ketua YLBHI Asfinawati (kiri) M isnur (tengah) dalam konferensi pers Penyampaian Laporan YLBHI dan LBH Indonesia. Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan
Menurutnya, hai ini ditandai dengan munculnya kebijakan yang membatasi hak menyampaikan pendapat di muka umum. Penghalang-halangan, perburuan hingga penangkapan tidak beralasan setelah aksi, menunjukkan aparat menganggap sifat dasar demonstrasi adalah melanggar hukum.
Dari 78 kasus pelanggaran itu menimbulkan 6.128 korban, di antaranya sebanyak 51 orang meninggal, 44 di antaranya meninggal tanpa penyebab yang jelas.
Menurut Asfinawati, negara khususnya pemerintah tidak menjalankan akuntabilitas terhadap peristiwa pelanggaran hak kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Mulai dari memberikan informasi sejelas-jelasnya atas penyebab jatuhnya korban hingga penegakan hukum terhadap pelaku khususnya yang berasal dari penegak hukum.
ADVERTISEMENT
"Korban yang terjadi akibat pergeseran cara pandang tersebut tidak mendapatkan pemulihan yang sesuai, termasuk pemulihan harkat dan martabatnya," ucapnya.
Asfinawati pun meminta agar negara dalam hal ini Komnas HAM, Ombudsman, Kapolri, Presiden, dan DPR khususnya Komisi III, mendorong penegak hukum melindungi hak-hak warga negara dalam berpendapat.
"Evaluasi menyeluruh terhadap aparat perlu dilakukan termasuk terhadap sistem pendidikan," ujarnya.