Yusril Minta MK Nyatakan Sistem Pemilu Terbuka Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum
ADVERTISEMENT
Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra menyampaikan keterangan sebagai pihak terkait dalam gugatan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 Mahkamah Konstitusi, Rabu (8/3). Gugatan itu terkait uji materi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu soal sistem pemilihan proporsional terbuka.
ADVERTISEMENT
Yusril meminta majelis hakim MK menyatakan bahwa pasal-pasal yang digugat dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka bertentangan dengan hukum.
Berikut pasal-pasal tersebut. Pasal 168 ayat 2, Pasal 342 Ayat 2, Pasal 353 ayat 1 huruf d, Pasal 386 ayat 2 huruf d, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422 dan Pasal 426 UU Nomor 7 Tahun 2017.
"Karena telah nyata sistem proporsional terbuka melemahkan fungsi parpol, kapasitas pemilih dan melemahkan pemilu," kata Yusril.
Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan pihak terkait dari DPP PBB dan pihak terkait Derek Loupatty, dkk. Sidang dipimpin langsung Ketua MK Anwar Usman.
"Maka, beralasan menurut hukum ketentuan pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu terutama Pasal 168 ayat 2, Pasal 342 dan seterusnya layak dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dikembalikan kepada mereka yang benar menurut UUD 1945," tegas Yusril.
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Tata Negara ini menerangkan, sistem proporsional terbuka terbukti telah melemahkan kedudukan dan fungsi partai politik serta melemahkan kapasitas pemilih untuk dapat dengan sadar menguraikan hak pilihnya semaksimal mungkin.
"Selain berdampak pada kedua pihak di atas, tidak ada yang pernah menyangka bahwa sistem proporsional terbuka yang bertujuan memperkuat pemilih ternyata bergeser memperkuat kandidat yang populer dan berkemampuan finansial tinggi," ucap Yusril.
"Sehingga muncul kondisi yang dapat diistilahkan candidate heavy atau keadaan di mana kandidat atau figur-figur tertentu menjadi penentu arah jalannya 1 parpol yang bisa dikontrol oleh partai," lanjut dia.
Empat Kali Jadi Saksi
Yusril menjelaskan, dirinya sudah 4 kali menjadi saksi sistem pemilu terbuka. Hasilnya, sistem pemilu terbuka justru memunculkan gap yang besar antara pemilih dengan kandidat wakil rakyat.
ADVERTISEMENT
"Penyerahan keputusan keterpilihan kepada suara terbanyak dalam 4 kali pemilu telah menampilkan banyak sisi gelap dari sistem proporsional terbuka. Sistem proporsional terbuka yang awalnya bertujuan menghilangkan jarak pemilih dan kandidat wakil rakyat, ternyata memunculkan jarak antara pemilih dan kandidat wakil rakyat," kata Yusril.
"Ternyata memunculkan ekses negatif melemahkan posisi parpol, parpol tidak lagi fokus mengejar fungsi asasinya sebagai sarana penyalur, pendidikan dan partisipasi politik yang berdasar, parpol tidak lagi berupaya meningkatkan kualitas program-programnya yang mencerminkan ideologi partai melainkan sekadar fokus untuk mencari kandidat-kandidat yang dapat menjadi magnet untuk meraih suara terbanyak," lanjut Yusril.
"Di sinilah letak pelemahan parpol itu terjadi secara struktural. Partai tidak lagi fokus membina kader-kader muda secara serius untuk kepentingan jangka panjang ideologi partai, melainkan fokus mencari jalan pintas dengan memburu kader populer, bekemampuan finansial untuk menadani kebutuhan partai," tutur eks Menkum dan Mensesneg ini.
Menurunkan Kualitas Parpol
Lebih lanjut, Yusril menilai akibat menggunakan sistem proporsional terbuka yang mengandalkan suara terbanyak, tidak hanya menurunkan kualitas wakil rakyat yang terpilih nantinya.
ADVERTISEMENT
Sebab kualitas parpol disebut Yusril akan ikut menurun. Sebagai buktinya, hampir seluruh parpol di Indonesia baik parpol besar atau kecil tidak banyak memiliki kader mumpuni.
"Bahkan tidak jarang 1 partai tidak menjagokan kandidatnya sendiri malah menjagokan kandidat yang masih berstatus kader partai lain. Bahkan hari ini, ada banyak kandidat yang diusung partai tenyata berasal dari golongan apartisan atau bukan anggota pengurus parpol," kata Yusril.