2 Kendala Utama Penerapan Kendaraan Listrik di Indonesia

6 Juni 2018 14:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Ilustrasi Mobil Listrik (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi Mobil Listrik (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), disebutkan bahwa pada 2025 Indonesia sudah bisa memproduksi mobil listrik atau hybrid sebanyak 2.200 unit dan 2,1 juta sepeda motor listrik.
ADVERTISEMENT
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan punya target bahwa mulai tahun 2040, penjualan mobil dengan mesin pembakaran internal (combustion engine) dilarang. Sebagai gantinya, masyarakat diminta untuk menggunakan kendaraan berbasis listrik.
Upaya itu merupakan langkah untuk menjawab dua isu, yakni cadangan bahan bakar minyak yang semakin menipis dan polusi udara. Soal pencemaran udara, Indonesia sudah berkomitmen memangkas 29 persen emisi CO2 pada 2030, sebagaimana hasil dari Konferensi Perubahan Iklim Paris yang digelar pada tahun 2015 atau yang dikenal dengan COP21.
Pengamat Energi, Komaidi Notonegoro beranggapan, bila pemerintah langsung menuju mobil listrik tidaklah tepat. Sebab, untuk menuju ke kendaraan listrik perlu persiapan yang matang, khususnya dari segi infrastruktur.
“Kalau saya lihat optimisme pemerintah ini terlalu jauh. Sedangkan untuk langkah awal saja belum terlihat kesiapannya, persiapannya masih nol,” kata Komaidi saat dihubungi kumparan.
ADVERTISEMENT
Lagipula untuk saat ini, pasar mobil listrik sendiri masih sangat kecil, pun di negara-negara maju yang ada di Eropa.
“Di seluruh dunia itu paling hanya ada sekitar 2 persen, berarti kan sekitar 98 persennya itu kendaraan konvensional. Nah dengan target di tahun 2025 apa bisa menuju ke sana dengan zero preparation saat ini?” paparnya.
Menurut dia, kendaraan listrik bisa saja diaplikasikan namun sifatnya sebagai pelengkap dan jangan dijadikan pilihan utama. “Kalau mau dikembangkan, itu bagus. Tapi jangan punya ekspektasi kalau listrik bisa menggantikan yang lama (konvensional),” kata Komaidi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan ESDM, Andy Noorsaman Sommen, menganggap bahwa soal penyediaan infrastruktur tidak memerlukan waktu yang lama. Apalagi, alatnya juga bersifat plug and play dan bisa dipasang di berbagai tempat.
ADVERTISEMENT
“Ada juga mungkin nanti ke depan ada alat yang bisa ditaruh di rumah yang bisa menghasilkan dan mempercepat pengisian, kan cuma itu aja sebenernya,” katanya.
Hingga pertengahan September 2017, jumlah Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) di wilayah DKI Jakarta telah mencapai 578 unit dan ditargetkan menjadi 1.000 unit rampung pada akhir tahun lalu.
Mobil listrik (bukan) satu-satunya solusi
Selain stasiun pengisian baterai, penerapan kendaraan listrik juga harus diimbangi dengan peningkatan jumlah pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Sebab, selama pembangkitnya menggunakan batu bara, artinya hanya memindahkan masalah polusi dari jalan raya ke pembangkit-pembangkit.
SPLU di Kantor Kementerian ESDM. (Foto: Selfy Sandra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
SPLU di Kantor Kementerian ESDM. (Foto: Selfy Sandra/kumparan)
“Kalau kita belum sukses mengembangkan energi terbarukan khususnya listriknya itu, maka tidak akan banyak efek positif untuk mengurangi emisi,” kata Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Sonny Keraf saat dihubungi kumparan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Peraturan Presiden tentang Program Percepatan Kendaraan Listrik Nasional hingga kini belum diteken. Perpres itu nantinya akan menjadi payung untuk turunan regulasi yang diturunkan oleh beberapa kementerian termasuk Kemenperin, ESDM, Kemenkeu, dan Kementerial Lingkungan Hidup (KLH).