Melihat Fasilitas Riset Bioetanol dari Bahan Non Pangan di Fukushima
3 November 2025 7:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
Melihat Fasilitas Riset Bioetanol dari Bahan Non Pangan di Fukushima
raBit memusatkan risetnya pada pengembangan second-generation bioethanol, yakni etanol berbasis non-edible feedstock atau bahan non-pangan.kumparanOTO

ADVERTISEMENT
Di tepi kawasan yang terdampak gempa dan tsunami besar pada 2011, kini berdiri sebuah simbol kebangkitan baru. Lokasi ini menjadi pusat berdirinya laboratorium riset energi -- Research Association of Biomass Innovation for Next Generation of Renewable Fuels, atau raBit.
ADVERTISEMENT
“Tempat ini sangat istimewa bagi kami.Kawasan ini terus berupaya untuk bangkit dan memulihkan diri” ujar Yasunobu Seki, Chairperson of Steering Committee raBit.
raBit menjadi wujud nyata bagaimana teknologi bisa menjadi bagian dari proses rekonstruksi sebuah wilayah, sekaligus bagian dari realisasi mencapai netral karbon.
Fasilitas ini menjadi pusat riset konsorsium yang terdiri dari sejumlah perusahaan otomotif dan energi Jepang. Di dalamnya tergabung Toyota, Daihatsu, Subaru, Suzuki, Mazda, Eneos, dan Toyota Tsusho, serta didukung oleh perusahaan seperti Denso dan Yamaha.
Pusat riset ini dicipatkan untuk menghasilkan bahan bakar karbon netral generasi baru yang mampu menekan emisi CO₂ tanpa mengorbankan ketahanan pangan atau efisiensi energi.
“Solusi menuju carbon neutrality tidak hanya melalui baterai listrik,” kata Seki.
ADVERTISEMENT
raBit memusatkan risetnya pada pengembangan second-generation bioethanol, yakni etanol berbasis non-edible feedstock atau bahan non-pangan seperti limbah pertanian, jerami, dan ampas tebu.
Pendekatan ini berbeda dengan teknologi generasi pertama di Brasil atau Amerika Serikat yang masih menggunakan bahan pangan seperti gula dan jagung.
“Bahan baku generasi pertama masih tergolong edible feedstock, yang berpotensi menimbulkan isu ketahanan pangan,” jelas Seki.
Karena itu, riset generasi kedua menjadi krusial-- lebih ramah lingkungan, tidak bersaing dengan kebutuhan pangan, namun menuntut teknologi pemrosesan yang jauh lebih kompleks.
Untuk mengubah limbah pertanian menjadi bahan bakar, biomassa harus diurai menjadi tiga komponen utama: selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
Hanya dua komponen pertama yang bisa dikonversi menjadi etanol, sementara lignin yang keras tidak dapat diolah menjadi bahan bakar.
ADVERTISEMENT
Proses tersebut memerlukan teknologi canggih, termasuk penggunaan enzim khusus dan strain ragi unggulan, seperti Toyota Yeast yang dikembangkan untuk efisiensi konversi tinggi.
Menariknya, raBit telah melakukan uji coba bahan bakar campuran E10 -- yakni bensin dengan 10 persen etanol-- yang kini sudah mendapat izin penggunaan di jalan umum Jepang.
Namun Seki mengakui, tantangan masih banyak. Salah satunya adalah biaya produksi dan logistik distribusi limbah padat seperti lignin. Karena itu, raBit bekerja sama dengan mitra seperti Kao Corporation, yang memiliki teknologi enzim, untuk menekan ongkos sekaligus meningkatkan efisiensi produksi.
Target 10 Tahun dan Harapan Global
Sebagai organisasi nirlaba, raBit menargetkan riset dan pengembangan intensif selama tiga tahun ke depan, dengan komersialisasi penuh dalam satu dekade.
ADVERTISEMENT
Visinya bukan hanya untuk Jepang, tapi juga untuk dunia—menghadirkan bahan bakar karbon netral yang terjangkau, efisien, dan berkelanjutan.
“Tujuan akhirnya adalah menjadikan bahan bakar karbon netral sebagai solusi global,” ujar Seki menutup pidatonya.
