World Bank Ungkap Indonesia Tak Bisa Ekspor Kendaraan Listrik, Kenapa?

26 September 2019 18:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rombongan Jambore Kendaraan Listrik Nasional tiba di PLN Disjaya Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rombongan Jambore Kendaraan Listrik Nasional tiba di PLN Disjaya Jakarta, Selasa (3/9). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Industri otomotif nasional sempat heboh terkait dengan laporan Bank Dunia, yang terbit pada September 2019 berjudul 'Global Economic Risk and Implication for Indonesia'.
ADVERTISEMENT
Pada halaman 12 tertulis kalau Indonesia tidak bisa mengekspor kendaraan listrik, karena bukan bagian dari rantai pasok industri otomotif global.
Masih di halaman yang sama, terpampang gambar mobil listrik Tesla asal negeri Paman Sam, di mana komponennya tak ada satupun yang berasal dari Indonesia. Informasi seolah jadi petir di siang bolong.
Laporan World Bank menyebut Indonesia tak bisa ekspor kendaraan listrik. Foto: Istimewa
Bagaimana tidak, pasalnya Indonesia saat ini sedang dalam semangat membangun industri otomotif berbasis listrik. Ditandai dengan terbitnya Perpres Nomor 55 Tahun 2019.
Setidaknya ada beberapa alasan yang membuat Bank Dunia mengeluarkan penilaian kalau Indonesia terputus dari global supply chain tersebut.
Mulai dari importasi bahan baku produk yang berorientasi ekspor disebut mahal, memakan waktu lama dan tergantung pada diskresi kebijakan Non-Tarif. Bank Dunia mengamati soal pre-shipment inspection di pelabuhan, untuk impor bahan baku seperti kawat dan baut, untuk sistem pengereman, steel piston dan ban.
Laporan World Bank menyebut Indonesia tak bisa ekspor kendaraan listrik. Foto: Istimewa
Begitu juga terkait dengan perizinan impor dan surat rekomendasi yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian, yang keputusannya berdasarkan diskresi. Dan verifikasi pihak ketiga soal SNI.
ADVERTISEMENT
Bank Dunia menyebut ekspor dari Indonesia juga tak kompetitif lantaran pajak impor yang tinggi, seperti 15 persen dikenakan buat ban, 10 persen untuk kabel, mesin bensin dan girboks. Lalu 15 persen buat kawat dan baut.
Lalu disebut juga Indonesia tak memiliki cukup Sumber Daya Manusia (SDM), seperti Production Engineers, Process Engineers dan Design Managers, serta Production Planning dan Inventory Control, juga HRD.

Respons Kementerian Perindustrian dan Toyota Indonesia

Menanggapi hal tersebut, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto nampaknya tak mau ambil pusing. Dirinya merespons pernyataan Bank Dunia, dengan data ekspor otomotif Indonesia yang terus melejit.
Kendaraan Listrik di Bandara Soetta. Foto: Dok. PT Angkasa Pura II
Dirinya menyebut target ekspor mobil Indonesia di luar komponen mencapai 400 ribu unit pada 2019. Sementara pada 2025 1 juta unit.
ADVERTISEMENT
Lalu ekspor komponen sampai dengan bulan Juni, yang masuk global value chain hingga 48,9 juta komponen.
"Itu hanya komponen Tesla. Mobil listrik dan mobil bahan bakar, ban, velg, kaca, lampu, shock absorber, baja, body, shock breaker dan bumper sama. Indonesia sudah ekspor otomotif ke 80 negara, tapi Washington/World Bank tidak termasuk di dalamnya," ucapnya kepada kumparan, Rabu (25/9).
Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Iya bila menafsirkan bebas, Airlangga coba menyampaikan bahwa industri otomotif Indonesia sudah terintegerasi pada supply chain dunia. Sementara yang disajikan Bank Dunia hanya sebatas Tesla saja.
Ikut memberikan responsnya, Teguh Trihono General Manager External Affairs Division PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Indonesia (TMMIN) hanya berkata normatif. Dirinya menyebut kunci utama ekspor adalah daya saing, sehingga bersama-sama kita harus menanggulangi tantangan-tantangan yang mempengaruhinya.
ADVERTISEMENT
"Termasuk memperkuat struktur industri berupa kedalaman industri, rantai suplai, SDM, standardisasi, dan sertifikasi untuk menyebut beberapa diantaranya," ucap Teguh.