5 Cara Terapkan Gaya Hidup Nol Sampah

25 Desember 2019 14:03 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sedotan rumput liar, sebagai pengganti sedotan plastik. Foto: Dok. ỐNG HÚT CỎ
zoom-in-whitePerbesar
Sedotan rumput liar, sebagai pengganti sedotan plastik. Foto: Dok. ỐNG HÚT CỎ
ADVERTISEMENT
Sebagai founder Zero Waste ID (ZWI), sebuah platform digital yang memperkenalkan gaya hidup nol sampah kepada masyarakat Indonesia, Maurilla Imron mengaku tak punya latar belakang pendidikan di bidang lingkungan. Tekatnya menciptakan online platform one-stop-solution demi mendukung gaya hidup tersebut agar mudah diterapkan oleh masyarakat, berangkat dari keprihatinannya mengetahui fakta bahwa Indonesia merupakan negara penyumbang sampah terbesar di dunia yang dibuang ke lautan.
ADVERTISEMENT
Perhatian Maurilla pada isu lingkungan juga didorong oleh keinginan kuatnya berbuat sesuatu untuk Bumi. Melalui ZWI, Maurilla berambisi agar gaya hidup nol sampah tak hanya bisa dimiliki oleh kaum elit.
“Isu lingkungan biasa dibawa dengan berat, saya ingin isu ini dibawa dengan simpel dan siapa pun bisa mengaksesnya,” jelasnya kepada kumparanSAINS beberapa waktu lalu.
Gaya hidup zero waste atau nol sampah menekankan pada bagaimana manusia meminimalisasi, memilah, serta mengelola sampah yang mereka hasilkan sehari-hari. Semenjak gaya hidup ini diperkenalkan melalui platform ZWI setahun silam, Maurilla tak menampik tanggapan masyarakat Indonesia menjadi terpolarisasi. Ada yang menganggapnya sebagai tren belaka, tetapi tak sedikit pula yang kemudian benar-benar menerapkannya sebagai gaya hidup sehari-hari.
Ilustrasi sampah rumah tangga. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan
“Banyak yang semangat di Instagram story dengan mention ZWID mengenai hal-hal zero waste yang mereka lakukan dalam kesehariannya,” kisah Maurilla.
ADVERTISEMENT
Lantas, seperti apa manifestasi gaya hidup zero waste yang bisa dilakukan masyarakat sehari-hari? Berikut penjelasannya.
Zero Waste terdiri dari 5R, yakni refuse (menolak), reuse (menggunakan kembali), reduce (mengurangi), recycle (memisah dan daur ulang) dan terakhir adalah rot (kompos).
Menolak penggunaan plastik sekali pakai atau single use plastic, seperti sedotan plastik dan kantong plastik. Dengan berkomitmen menolak penggunaan plastik sekali pakai, setiap individu telah berkontribusi mengurangi konsumsi plastik di dunia.
com-Ilustrasi sedotan plastik. Foto: Shutterstock
Gunakan kembali barang-barang yang mereka miliki sebagai pengganti dari single use stuff. Tanpa disadari, banyak hal yang telah kita miliki yang bisa digunakan kembali, seperti tas kain yang didapat dari acara seminar, botol-botol, tepak makan, sapu tangan dan lain-lain.
Konsumsi dengan sadar, dan kurangi yang tidak dibutuhkan. Habiskan makanan, gunakan listrik dan air dengan hemat. Upayakan untuk selalu menggunakan transportasi publik, bersepeda, atau jalan kaki.
ADVERTISEMENT
Pilah sampah dan distribusikan ke bank sampah atau dropbox terdekat.
Kompos bahan-bahan organik di rumah. Indonesia merupakan negara kedua yang menghasilkan sampah makanan terbesar di dunia. Dan dengan mengompos, maka kita berkontribusi membantu permasalahan sampah di Indonesia sebanyak lebih dari 50 persen.
Ilustrasi pupuk kompos. Foto: pixabay
Maurilla mengaku, meski respons masyarakat Indonesia terhadap gaya hidup nol sampah terbilang positif, bukan berarti untuk menerapkannya dalam keseharian adalah perkara yang mudah. Ia menjelaskan, bahwa selalu ada pandangan sinis dari orang-orang yang belum memiliki alasan kuat untuk menerapkan gaya hidup nol sampah terhadap orang-orang yang sudah berhasil melakukannya.
Tak sedikit pula yang saling menyalahkan satu dan lain pihak, seperti menyalahkan pemerintah dan industri perihal masalah lingkungan yang tercemar. Hal ini, kata Maurilla, justru akan menghalangi seseorang untuk bisa berkontribusi secara personal. Padahal, menurut dia, kendali berada di tangan masing-masing individu sebagai konsumen.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya merasa powerless dan membuat kita sebagai konsumen justru tidak melakukan apa-apa,” imbuhnya.
Kendala lain yang dituturkan Maurilla adalah tentang belum adanya sistem sampah terpilah. Dengan kata lain, masyarakat harus benar-benar memilah sendiri sampah dan memutar otak untuk mencari tempat mendistribusikan sampah-sampah yang dihasilkan selain ke tempat pembuangan akhir (TPA).