Ada 47.373 Kasus Corona di Jerman, Kenapa Tingkat Kematiannya Bisa Rendah?

28 Maret 2020 13:56 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Berlin menggunakan masker untuk menghindari tertular virus corona. Foto: REUTERS / Michele Tantussi
zoom-in-whitePerbesar
Warga Berlin menggunakan masker untuk menghindari tertular virus corona. Foto: REUTERS / Michele Tantussi
ADVERTISEMENT
Jerman menjadi salah satu negara yang punya kasus positif virus corona penyebab penyakit COVID-19 terbanyak di dunia. Hingga Jumat (27/3), negara tersebut telah memiliki 47.373 kasus. Berada di peringkat lima negara dengan kasus COVID-19 terbesar di dunia, setelah Spanyol (64.059 kasus), Italia (80.589 kasus), China (81.340 kasus), dan yang tertinggi sekarang adalah AS (85.762 kasus).
ADVERTISEMENT
Walaupun punya kasus virus corona terbesar ke-5 di seluruh dunia, tingkat kematian pasien COVID-19 di Jerman merupakan salah satu yang terkecil di dunia. Dengan pasien meninggal dunia tercatat 285 orang per Jumat (27/3), Jerman punya tingkat kematiannya sebesar 0,6 persen.
Persentase ini tentu jauh lebih kecil ketimbang Indonesia. Negara kita justru jadi salah satu yang punya tingkat kematian tertinggi akibat COVID-19. Per Jumat (27/3), Indonesia mencatat tingkat kematian sebesar 8,31 persen dengan 87 kematian dari 1.046 kasus.
Pada tahap awal pandemi virus corona, sulit untuk menarik kesimpulan yang pasti mengapa tingkat kematian di Jerman begitu rendah. Menurut Michael Head, peneliti senior bidang kesehatan global di University of Southampton, Inggris, ada kemungkinan Jerman bakal mencatat lonjakan kematian di masa depan.
ADVERTISEMENT
"Kami benar-benar masih pada awal wabah - masih ada banyak waktu untuk segala hal berubah," kata Head, dikutip Wired. "Dan tingkat kenaikan atau penurunan dengan penyakit menular bukan hal yang linear. Kita akan melihat puncak dan palung pada grafik itu saat kita maju."
Meski demikian, ada petunjuk mengenai alasan tingkat kematian pasien COVID-19 di Jerman sangat rendah. kumparan telah merangkum faktor tersebut beserta perbedaannya dengan Indonesia.

Demografi pasien

Salah satu alasan kuat mengapa Jerman memiliki tingkat kematian COVID-19 yang rendah adalah pasien mereka relatif muda. Menurut laporan Wired, rata-rata umur pasien COVID-19 di Jerman adalah 46 tahun.
Angka tersebut jauh lebih rendah ketimbang Italia, negara dengan tingkat kematian akibat virus corona sebesar 10,19 persen, yang punya rata-rata umur pasien 63 tahun. Virus corona sendiri diketahui dapat mematikan bagi mereka yang lanjut usia.
ADVERTISEMENT
Sementara di Indonesia, data demografi dari pasien COVID-19 tidak begitu jelas. Pada pekan awal pengumuman pasien, pemerintah memang mengungkap umur pasien yang baru. Namun, setelah itu mereka tidak mengungkap berapa rata-rata umur pasien virus corona di Indonesia.
Satu-satunya petunjuk terakhir yang dimiliki oleh publik mengenai rata-rata umur korban COVID-19 adalah dari pernyataan juru bicara penanganan COVID-19 Indonesia, Achmad Yurianto, pada 19 Maret 2020. Pada saat itu, ketika kasus kematian akibat virus corona di Indonesia baru berjumlah 25 orang, Yurianto menyebut bahwa rata-rata korban berusia 45-60 tahun.

Pelacakan virus corona yang cepat

Salah satu faktor penting lain yang menyebabkan tingkat kematian pasien COVID-19 di Jerman begitu rendah adalah uji diagnosis yang cepat dan masif, menurut laporan Associated Press. Tidak seperti di negara lain, di mana laboratorium milik pemerintah memonopoli pengujian, sistem tes virus corona di Jerman terdistribusi ke berbagai lab independen. Kebijakan itu membantu dokter untuk menentukan dengan cepat apakah kasus yang diduga benar-benar melibatkan virus corona, atau hanya flu biasa yang memiliki gejala serupa.
ADVERTISEMENT
Menurut Christian Drosten, seorang direktur Institute of Virology di Berlin, jaringan laboratorium independen di Jerman telah mendapat persetujuan dan menerima informasi teknis yang diperlukan untuk melakukan tes pada Januari 2020. Kala itu, angka kasus virus corona di Jerman masih satu digit.
"Kami di Jerman berada di garis terdepan dalam hal diagnostik," kata Drosten. "Efek dari kombinasi (kebijakan) tersebut, saya sangat yakin akan hal ini, memberi kami keuntungan ekstrem dalam mengenali epidemi di Jerman."
Drosten menambahkan, birokrasi di negara lain mungkin membutuhkan waktu satu hingga dua bulan untuk menetapkan bahwa lab non-pemerintah dapat melakukan uji virus corona. Padahal, kecepatan dan persebaran lab untuk diagnosis dibutuhkan agar pasien yang terinfeksi dapat ditangani segera.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, Indonesia bisa jadi adalah salah satu negara yang disindir oleh Drosten. Di awal munculnya kasus virus corona di Indonesia, pemerintah bersikeras bahwa pengujian virus hanya bisa dilakukan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Barulah pada pertengahan bulan Maret 2020 pemerintah mengizinkan lab lain menguji virus corona dari orang yang diduga terinfeksi.
Tak hanya urusan birokrasi, Jerman juga dapat menguji virus corona bagi 160.000 orang per minggu, menurut presiden Robert Koch Institute, Lothar Wieler. Angka tersebut menjadikan Jerman sebagai salah satu negara dengan tes virus corona terbanyak selain Korea Selatan. Sebagai perbandingan, laporan terbaru dari Kemenkes menyebut bahwa Indonesia baru memeriksa 4.489 orang terkait virus corona.
ADVERTISEMENT

Kapasitas sarana kesehatan yang mumpuni

Faktor terakhir yang jadi petunjuk kenapa Jerman punya tingkat kematian COVID-19 yang rendah adalah kapasitas sarana kesehatan yang mumpuni.
"Jelas, jika Anda tidak bisa memberikan perawatan intensif kepada yang paling sakit parah, maka itu akan berdampak juga," kata Martin Hibberd, profesor of penyakit menular baru dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.
"Layanan kesehatan Jerman memiliki banyak kapasitas cadangan - lebih dari Inggris atau Italia. Layanan kesehatan mereka (Jerman) belum kewalahan karenanya," sambungnya.
Polisi dan tim medis berjaga di perbatasan Jedrzychowice, antara Polandia dan Jerman untuk mencegah penyebaran virus corona. Foto: AFP/ODD ANDERSEN
Menurut laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Jerman memang menempati peringkat ke-4 sebagai negara yang punya ketersediaan ranjang rumah sakit terbanyak. Jerman mencatatkan 8 ranjang per 1.000 penduduk.
ADVERTISEMENT
Dari 43 negara yang diriset OECD, Indonesia berada di peringkat 41 dalam hal ketersediaan ranjang per 1.000 penduduk. Posisi itu hanya menempatkan Indonesia lebih baik ketimbangIndia dan Kosta Rika.
Data Profil Kesehatan Indonesia 2018 yang dirilis Kemenkes, menunjukkan Indonesia punya 1,2 ranjang tiap 1.000 penduduk. Menurut rujukan tersebut, standar WHO adalah 1 tempat tidur untuk 1.000 penduduk.
Dengan demikian, meskipun masih kalah jauh rasionya dibandingkan negara lain, Indonesia sudah memenuhi standar secara umum. Masalahnya, persebaran tempat tidur yang tersedia tidak merata di seluruh provinsi, dengan 8 provinsi yang rasionya berada di bawah standar WHO yakni Riau (0,98), Kalimantan Tengah (0,91), Sulawesi Barat (0,91), Lampung (0,91), Banten (0,87), Jawa Barat (0,85), NTT (0,81) dan NTB (0,71).
ADVERTISEMENT
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!