news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ahli Anggap Perpres Bahasa Indonesia Tidak akan Efektif

31 Oktober 2019 8:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Huruf-huruf dalam keyboard Foto: Klaralaumen
zoom-in-whitePerbesar
Huruf-huruf dalam keyboard Foto: Klaralaumen
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Jokowi meneken Perpres ini pada 30 September 2019.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal menarik yang termaktub dalam Perpres tersebut. Salah satunya soal kewajiban para pejabat RI menggunakan Bahasa Indonesia dalam pidatonya di berbagai forum baik nasional maupun internasional, seperti di forum PBB.
Surahmat, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia sekaligus peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir di Universitas Negeri Semarang, menyebut Perpres baru itu tampaknya dikeluarkan untuk meningkatkan pamor bahasa Indonesia. Ia menambahkan bahwa Perpres itu juga sebagai penegasan dari Undang-Undang sebelumnya tentang penggunaan Bahasa Indonesia bagi pejabat dan masyarakat.
Kantor Subbidang Kosakata Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Rawamangun, Jakarta Timur. Foto: Sabar Artiyono/kumparan
Surahmat mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan bahasa Indonesia mulai kehilangan pamornya. Menurutnya, ini akibat dari pengaruh global, di mana bahasa asing, terutama bahasa Inggris, lebih sering digunakan ketimbang bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Sebagai peneliti bahasa, saya menilai penerbitan Perpres tersebut adalah langkah baik dari pemerintah untuk mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia,” papar Surahmat dalam tulisannya di The Conversation.
“Namun, saya kira pelaksanaannya tidak akan efektif karena pilihan berbahasa seseorang dipengaruhi oleh setidaknya dua faktor: faktor personal dan kultural,” sambung dia.
Dalam faktor personal, Surahmat menjelaskan, pilihan bahasa dapat dipengaruhi oleh tiga aspek, yakni aspek kognitif, afektif, dan konatif. Sedangkan peraturan formal adalah unsur kecil dalam hubungan dari ketiganya.
Aspek kognitif sendiri adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan seseorang tentang bahasanya. Aspek afektif berkaitan dengan perasaan ketika seseorang menggunakan bahasa. Sedangkan aspek konatif berkaitan dengan keputusan akhir ketika seseorang menghadapi situasi konkret di masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Tiga ranah berbahasa tersebut menunjukkan bahwa perilaku berbahasa masyarakat berkaitan erat dengan kondisi mental dan sosial penuturnya. Peraturan formal seperti Perpres hanya akan dilakukan jika tercipta situasi mental dan sosial yang memungkinkannya. Tanpa keduanya, peraturan itu bisa dengan sangat mudah diabaikan,” tulis Surahmat.
Sejumlah anak belajar mengenal huruf abjad di Taman Baca Kolong fly over Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (13/8/2018). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Lebih lanjut, faktor kultural juga sangat menentukan bagaimana bahasa bisa eksis di kalangan masyarakat. Secara kognitif, mayoritas pengguna bahasa Indonesia sebenarnya sudah memahami aturan berbahasa Indonesia. Namun, menurut Surahmat, paham saja tidak cukup, karena penutur juga harus merasa bangga dan nyaman saat menggunakannya.
Adapun rasa bangga tidak hanya ditentukan oleh faktor internal kebahasaan. Menurut Surahmat, faktor politik, ekonomi, dan budaya punya peran yang lebih dominan. Hal ini tercermin dalam penggunaan bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Dominasi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional tak lain karena imperialisme Inggris ke negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika. Kemenangan negara-negara sekutu dalam perang dunia II, yang sebagian besar berbahasa Inggris, turut mengukuhkannya.
Setelah Perang Dunia II, negara-negara itu secara faktual juga menjadi pemimpin dalam bidang ekonomi dan pengembangan teknologi. Ini membuat daya tawar sosial ekonomi dari bahasa Inggris menjadi yang paling kuat.
Dalam dunia kerja dan kehidupan di masyarakat, kemampuan bahasa Inggris memiliki implikasi positif yang lebih besar. Ada penghargaan lebih bagi pribadi yang menguasai bahasa Inggris. Kondisi itu menciptakan efek domino yang membuat orang terdorong merasa lebih perlu belajar bahasa Inggris. Seseorang juga merasa lebih nyaman dan bangga jika diketahui bisa berbahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Surahmat mengatakan bahwa hal itu sebenarnya sangat wajar dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Dalam masyarakat diglostik, yaitu masyarakat yang memiliki beberapa bahasa untuk setiap peran yang berbeda, masyarakat memiliki kebebasan menggunakan bahasa sesuai tujuan spesifiknya.
“Oleh karena itu, usaha memuliakan bahasa Indonesia harus dilakukan dalam satu paket dengan usaha membangun kebanggaan dan wibawa Indonesia sebagai bangsa dan negara,” papar Surahmat.
“Kalau negara ini masih menjadi negara berkembang, pengimpor teknologi, pembebek dalam kebudayaan, dan apalagi korup, kebanggaan terhadap Bahasa Indonesia tetap akan menghadapi tantangan serius.”