SQ Cover Story Penumpang

Ahli Epidemiologi: Relaksasi PSBB Nekat, Gelombang 2 Corona Bisa Lebih Dahsyat

16 Mei 2020 10:46 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jakarta. Tetap ramai meski PSBB. Foto: ANTARA/Nova Wahyudi
zoom-in-whitePerbesar
Jakarta. Tetap ramai meski PSBB. Foto: ANTARA/Nova Wahyudi
Sejumlah ahli epidemiologi menilai relaksasi atau pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang direncanakan pemerintah belum saatnya diterapkan. Hal itu disebabkan, Indonesia belum memenuhi sejumlah indikator epidemiologi untuk melonggarkan pembatasan sosial.
Rencana relaksasi PSBB mengemuka ke publik setelah sejumlah pejabat pemerintah pusat mengklaim terjadinya tren penurunan kasus COVID-19. Pada Jumat (8/5), Menteri Koordinator PMK, Muhadjir Effendy, menyatakan bahwa angka kasus COVID-19 mengalami penurunan meski tidak drastis.
Sementara, pada Senin (4/5), Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo, mengatakan laju kasus infeksi COVID-19 di Indonesia mengalami penurunan sampai 11 persen. Dengan demikian, Doni mengungkapkan, pemerintah berencana mengizinkan warga berumur di bawah 45 tahun untuk kembali bekerja.
“Per 7 Mei, ada kecenderungan angka kasus yang terjadi di Indonesia mengalami penurunan walaupun tidak terlalu drastis. Tingkat kesembuhan juga mengalami kenaikan," ujar Muhadjir Effendy.
Namun, ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, meragukan klaim pemerintah tersebut penurunan kasus virus corona. Menurutnya, klaim itu tidak berbasis data epidemiologi yang memadai.
Sebab, sampai saat ini Indonesia belum memiliki kurva epidemi COVID-19 yang dapat menentukan sumber dan waktu terjadinya penularan serta puncak dan akhir pandemi. Tanpa acuan data epidemiologis yang valid, mereka menilai relaksasi PSBB tidak boleh dilakukan.
Relaksasi PSBB justru dikhawatirkan dapat memicu gelombang kedua COVID-19 dengan jumlah kasus yang lebih besar.
“Sebelum kriteria tersebut dipenuhi, pemerintah tidak dapat memberlakukan relaksasi PSBB. Kecuali pemerintah nekat. Kalau nekat, nanti gelombang kedua infeksi COVID-19 bisa lebih dahsyat," jelas Pandu.
Pendapat serupa dikemukakan peneliti epidemiologi Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), Henry Surendra. Menurutnya, PSBB belum bisa dilonggarkan sebelum dilakukan evaluasi dengan kaidah epidemiologi.
Berdasarkan prinsip epidemiologi, indikator keberhasilan penanggulangan pandemi ditentukan oleh penurunan jumlah kasus baru secara konsisten. Sementara itu, Indonesia belum ada tanda-tanda mengalami tren penurunan kasus COVID-19.
“Tapi dalam seminggu terakhir, tren laporan temuan kasus harian masih fluktuatif. Fluktuasi temuan kasus saat ini belum menggambarkan laju pertumbuhan kasus yang sebenarnya, melainkan kemampuan diagnosa kita,” jelas Henry.
Henry justru memprediksi Indonesia akan mengalami lonjakan jumlah kasus seiring dengan peningkatan tes usap polymerase chain reaction (PCR) dan tes cepat molekuler (TCM) yang akan dilakukan pemerintah pada pekan depan.
Indikator lain yang dapat mengukur keberhasilan PSBB adalah kedisiplinan warga mengurangi mobilitas. Namun, dalam beberapa hari terakhir justru terjadi lonjakan perjalanan dari wilayah PSBB, seperti peningkatan perjalanan menggunakan pesawat terbang di Bandara Soekarno-Hatta.
“Kejadian tersebut tidak hanya mencerminkan gagalnya pengurangan mobilitas, tapi juga ketidakdisiplinan terhadap praktik physical dan social distancing,” imbuhnya.
Sementara menurut Pandu Riono, kebijakan relaksasi PSBB harus lebih dulu memenuhi tiga kriteria, yaitu kriteria berbasis indikator epidemiologi, kesehatan publik, dan kesiapan pelayanan kesehatan. Namun, sejauh ini Indonesia belum mampu memenuhi satupun kriteria tersebut.

Syarat 1 relaksasi PSBB: Indikator Epidemiologi

Kriteria pertama mensyaratkan penurunan tiga indikator epidemiologis secara konsisten selama dua pekan berturut-turut. Tiga indikator dalam kriteria pertama ini di antaranya: penurunan jumlah kasus, penurunan angka pasien dalam pengawasan (PDP), dan penurunan angka kematian akibat COVID-19.
Masalahnya, dalam dua minggu terakhir laju penambahan kasus positif COVID-19 masih fluktuatif. Pada pekan pertama Mei, jumlah kasus positif yang dilaporkan pemerintah mencapai 2.658 kasus. Pada pekan kedua Mei, jumlah kasus yang dilaporkan meningkat menjadi 3.230 kasus.
Tren angka kematian pasien positif COVID-19 juga masih fluktuatif selama dua pekan terakhir. Pada pekan pertama Mei, terdapat 138 pasien positif meninggal. Sedangkan pada pekan kedua Mei, terdapat 146 angka kematian. Angka tersebut belum termasuk data kematian pasien dalam pengawasan (PDP) maupun orang dalam pengawasan (ODP).
Petugas medis mengambil sampel lendir dari seorang penumpang KRL di Stasiun Bojong Gede, Bogor. Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya

Syarat 2 relaksasi PSBB: Kesehatan Publik

Sementara kriteria kedua berbasis pada indikator kesehatan publik yang mencakup kapasitas penapisan massal lewat metode tes usap PCR serta pelacakan riwayat kontak pasien COVID-19 yang agresif.
Indikator lainnya, terjadi perubahan perilaku masyarakat yakni meningkatnya kesadaran menggunakan masker dan mencuci tangan dengan sabun.
Sejauh ini pemerintah belum mampu memenuhi target tes usap PCR sebanyak 10.000 tes per hari. Dalam sepekan terakhir, pemeriksaan melalui metode tes usap PCR tertinggi berlangsung pada 10 Mei dengan 7.386 pemeriksaan spesimen.
Menurut Henry, peningkatan kapasitas tes terganjal sejumlah masalah. Pertama, masalah manajemen distribusi logistik peralatan tes yang berdampak pada kelangkaan reagen di sejumlah daerah. Akibatnya, pemeriksaan COVID-19 di sejumlah daerah menurun dan membuat penemuan kasus baru tertunda.
Masalah lain adalah antrean dan lamanya waktu tunggu hasil diagnosa tes yang bervariasi di setiap daerah. Keterlambatan pemeriksaan hasil tes usap PCR membuat tanggal pelaporan kasus atau tanggal keluarnya hasil tes usap PCR tidak dapat dijadikan acuan untuk melihat laju pertumbuhan kasus per hari.
Antrean pemeriksaan menyebabkan kasus positif yang baru diumumkan bisa jadi merupakan hasil pemeriksaan spesimen yang dilakukan 1 sampai 2 minggu yang lalu.
“Jadi seharusnya kurva epidemi itu menggambarkan tren kasus baru berdasarkan tanggal pertama kali munculnya gejala, bukan tanggal pelaporan,” kata Henry.
Menurut data yang dihimpun Worldometer, rasio tes COVID-19 di Indonesia juga masih tergolong rendah. Sampai hari ini, Indonesia baru melakukan 654 tes per 1 juta penduduk. Rasio itu lebih rendah dari sejumlah negara Asia lain seperti Bangladesh, Malaysia, Filipina, dan Kamboja.
"Masak negara yang lebih miskin dari kita seperti Bangladesh mampu melakukan tes lebih banyak," ujar Pandu.
Calon penumpang mengantre di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang. Foto: ANTARA/Fauzan

Syarat 3 relaksasi PSBB: Kesiapan Layanan Kesehatan

Sementara kriteria ketiga terkait dengan kesiapan pelayanan kesehatan. Kesiapan ini diukur dari ketersedian alat pelindung diri (APD) untuk tenaga kesehatan mulai dari puskesmas, rumah sakit swasta, dan pemerintah, ketersediaan dokter, ruang perawatan intensif (ICU), dan ketersediaan ventilator.
Terkait kriteria ketiga ini, menurut Pandu, ketersediaan peralatan kesehatan belum merata. Selain itu jumlah rasio ketersediaan ruang perawatan intensif (ICU) di rumah sakit di Indonesia masih tergolong rendah.
Berdasarkan penelitian bertajuk "Critical Care Bed Capacity in Asian Countries and Regions" yang diterbitkan di jurnal Critical Care Medicine, Indonesia hanya memiliki kurang dari tiga tempat tidur ICU per 100 ribu penduduk. Angka itu lebih rendah dari negara Asia Tenggara lain seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Penumpang KRL tetap berdesak-desakan di masa PSBB. Foto: Maulana Saputra/kumparan
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten